Pendidikan

Tradisi Unik Santri Luhurian, Terbitkan Buku untuk Kado Hilang Tahun Pesantren

Rabu, 15 Desember 2021 - 19:46 | 71.72k
Santri Luhurian memamerkan buku yang diterbitkan dalam perayaan hilang tahun Pesantren Luhur Baitul Hikmah, Kepanjen, Malang. (foto: dok Pesantren Luhut Baitul Hikmah for TIMES Indonesia)
Santri Luhurian memamerkan buku yang diterbitkan dalam perayaan hilang tahun Pesantren Luhur Baitul Hikmah, Kepanjen, Malang. (foto: dok Pesantren Luhut Baitul Hikmah for TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Upacara tahunan santri Pesantren Luhur Baitul Hikmah, Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur begitu menarik dan unik. Ini karena santri yang bermukim di pondok ini diwajibkan mengarang buku sebagai kado hari hilang tahun (ulang tahun) yang diselenggarakan setiap tahunnya.

Seperti yang terlihat pada hari Sabtu, 11 Desember 2021 lalu. Para santri Luhurian, sebutan untuk santri Pesantren Luhur Baitul Hikmah, telah memajang pigura berisikan 7 buku sebagai karya mereka.

Advertisement

Biasanya, acara hilang tahun (ulang tahun) diperingati dengan tiup lilin, mengundang kerabat dan teman serta potong tumpeng. Namun, berbeda dari perayaan Pesantren Filsafat yang memang berafiliasi dengan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al-Farabi tersebut. Tidak ada perayaan hari hilang tahun apabila di antara santri tidak satu pun menerbitkan buku sebagai hadiah tahunan.

"Alhamdulillah. Sekarang, di hari hilang tahun ke 10, kita para santri Luhurian bisa menerbitkan 7 buku. Tentu saja ini menjadi tantangan bagi para santri untuk agenda hilang tahun ke 11 akan datang. Sebab, sejak perayaan hilang tahun ke 7 hingga 10, buku yang diterbitkan selalu meningkat. Jika tidak, maka ada penurunan kuantitas," tegas Ach Yani el-Rusyd ketika memberikan sambutannya sebagai Lurah Pondok.

Santri Luhurian a

Yani, santri yang berasal dari Pontianak menceritakan tradisi perayaan tahunan dengan karya tulis itu dimulai sejak hilang tahun ke 7. Lurah kedua, Ach Khoiron Nafis pada waktu itu menghadiahi hilang tahun dengan buku terjemah al-Munqidz min al-Dhalal. Lalu, perayaan ke 8 ada dua buku, terjemah kitab manthiq (logika), Sullam al-Munawraq dengan judul Mari menjadi Waras, lalu pengasuh pesantren Luhur Baitul Hikmah, kiai Ach Dhofir Zuhry juga ikut serta memberikan hadiah berupa kumpulan cerpennya yang berjudul, Mari Menjadi Gila,"

Beranjak ke hari hilang tahun ke 9, hadiah karya tulis bertambah, beliau yang akrab dipanggil gus Dhofir telah menerbitkan buku Nabi Muhammad bukan Orang Arab?di Gramedia, dan santri Luhurian menerbitkan tiga karya; Sederhana itu tidak Sederhana itu, Seni Belajar Logika secara Sederhana dan Cinta di atas Kursi terjemah Tafsir Ayat Kursi.

Hilang Tahun ke 10 santri Luhurian menerbitkan tujuh karya yang beragam, di antaranya; Menyibak Tirai Al-Qur'an ditulis Hasani Mubarak, Mahasiswa Agen Perubahan oleh Alsaba S. Igobula, Tanpa Logika Loe Gila terjemah Iqbalul Muid, Sederhana itu tidak Sederhana itu jilid 2 oleh Ach Khoiron Nafis, Heri Zanqy dan Difan, Secangkir Kopi Filsafat oleh Herlianto A, dan Modal Dasar Baca Kitab serta Aku dan Seluruh Musim yang Terluka oleh Ach Yani el-Rusyd. Akhirnya, terdokumentasi karya pengasuh pesantren beserta santri Luhurian diperayaan tersebut sekitar 41 karya keseluruhannya.

Keistimewaan menerbitkan 7 buku sebagai kado perayaan hilang tahun adalah proses menulis Luhurian yang berbarengan dengan masa pembangunan pesantren dan mushalla selama setahun tersebut. Membabat alas dan membangun saat itu dimulai pada bulan November 2020.

"Hilang tahun ke 10 sebenarnya perayaan santri bukan pesantren. Sebab tahun pertama hingga ke sembilan santri tanpa pesantren atau tempat belajar yang dimiliki pengasuh pada waktu itu masih berstatus tempat kontrakan baik rumah ataupun gedung. Sehingga, angka 10 apabila dibaca dari kanan termasuk perayaan hilang tahun pesantren yang pertama. Dengan demikian, perayaan ke 10 itu sebenarnya untuk santri Luhurian dan perayaan 01 untuk pesantren yang telah dibangun sejak setahun lalu," ujar Yani yang mengaku tukang sapu dan pencuci piring pondok.

Tak lupa, ketua panitia, ustadz Adnan Faqih menyampaikan ungkapan filosofis mengenai “hilang tahun” untuk acara perayaan tahunan pesantren itu. Menurutnya, sebutan tersebut karena dalam setiap peringatan tahunan yang terjadi adalah umur yang berkurang.

Santri Luhurian bPerayaan hilang tahun di Pesantren Luhur Baitul Hikmah Kepanjen Malang.  (foto: dok Pesantren Luhut Baitul Hikmah for TIMES Indonesia)

“Waktu ini kan linear dan tidak bisa diulang, jadi dalam ulang tahun berarti ada waktu yang hilang,” paparnya.

Menurut ustaz Adnan, harusnya hari hilang tahun dilaksanakan 21 September. Mengingat beberapa aktivitas cukup padat, sembari membangun pesantren, juga menunggu beberapa buku-buku yang diterbitkan itu tercetak semua.

“Mestinya, ulang tahun ini pada akhir bulan September 2021 lalu, tetapi karena masih ada beberapa buku yang dalam proses cetak, kita putuskan untuk diundur   ke Desember 2021. Memang saat ini kami semua sambil menjadi tukang untuk pembangunan pesantren,” kata dia.

Mengenai tema "Doakan Kerjamu, Kerjakan Doamu," ustaz Adnan sebagai santri senior mewartakan bahwa doa dan kerja harus seimbang dan sama-sama ditunaikan.

"Bekerja tanpa doa termasuk perkejaan sia-sia. Sebab, berefek pada akhirat. Bekerja tanpa niat lillah. Demikian, berdoa tanpa kerja termasuk omong kosong dan modal kata-kata saja" sambil tertawa ketika sambutan.

Pendiri pesantren Luhur Baitul Hikmah, kiai Ach Dhofir Zuhry pada sesi menyampaikan sambutan acara hilang tahun dengan mengapresiasi karya santri. Sebab, ilmu yang dihasilkan dari belajar, diskusi baik di pesantren ataupun di kampus perlu ditulis agar diabdikan dalam sejarah.

“Selamat dan Saya turut berbahagia atas terbitnya 7 buku ini. Belum banyak pesantren yang mentradisikan aktivitas produktif tersebut, bekerja untuk keabadian,” demikian dalam sambutannya.

Alumni Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo tersebut juga mengisahkan perjalanan pesantren Luhur Baitul Hikmah yang kegiatannya sudah ada sejak tahun 2009. Mulanya, hanya diskusi filsafat dan bertukar pengetahuan tanpa ada niatan membangun pesantren.

“Pada tahun 2009 bisa dikatakan ngaji pertama, dan tidak ada niatan membangun pesantren. Oleh karena, saya tidak mau dipanggil kiai apalagi ustaz. Kami tidak pernah menyebar pamflet atau buka pengumuman menerima santri. Sebab waktu itu, rumah kami masih kontrakan. Hanya saja, beberapa orang datang ingin belajar,” paparnya.

Selain itu, alumni STF Driyarkara tersebut menceritakan bertemu pemuda yang notabenenya mahasiswa dari Malang kota dan beberapa dari kabupaten di Kepanjen, lalu ngaji bersama. Di antara kitab-kitab yang dikaji saat itu, syair-syaik Burdah al-Busyri, metode belajar ta'lim al-muta'alim al-Zarnuji, Penguatan keimanan Qomi' al-Tughyan al-Nawawi, tasawuf minhaj al-'abidin al-Gazali dst.

“Pada generasi pertama ini, kita tidak hanya ngaji di satu rumah saja. Biasanya, kita ngaji keliling dari rumah ke rumah, dari kampus ke kampus,” kenangnya.

Pada tahun 2010, mereka menggelar diskusi secara intens setiap minggu di sebuah kontrakan di Tawang, Kepanjen. Mengkaji pemikiran para filosof yang dimulai dari filsafat Yunani Klasik. Pada saat itu pula, bersamaan dengan didirikannya Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al-Farabi.

"Lalu, datang seorang bapak bersama anaknya, memasrahkan anaknya untuk nyantri," tutur sosok yang juga penulis buku tersebut.

Akhirnya, pada tahun 2011, pesantren itu diberi nama Luhur Baitul Hikmah. Sebuah tempat untuk mewadahi pemuda yang ingin nyantri dan bagi para mahasiswa yang hendak mondok. Lalu, ikut serta dalam kajian kepesantrenan yang memadukan filsafat, teologi dan tasawuf.

Hilang tahun tersebut juga dimeriahkan oleh para alumni yang datang dari beberapa daerah, seperti Surabaya, pulau Ra'as dan Lamongan. Juga tamu undangan Pemimpin Redaksi TIMES Indonesia, Yatimul Ainun, mahasiswa STF Al-Farabi dan mahasiswi beserta Santri pesantren Assalam, Bantur. Kemudian, acara ditutup dengan kesan dan pesan dari para alumni. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES