Pendidikan

Sekolah Islam Shafta Surabaya Lestarikan Tradisi Megengan

Selasa, 21 Maret 2023 - 20:09 | 75.85k
Siswa Sekolah Islam Shafta Surabaya makan bersama sebagai salah satu bentuk tradisi megengan menyambut Ramadan, Selasa (21/3/2023).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Siswa Sekolah Islam Shafta Surabaya makan bersama sebagai salah satu bentuk tradisi megengan menyambut Ramadan, Selasa (21/3/2023).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYASekolah Islam Shafta Surabaya melakukan ziarah ke makam pendiri yayasan bertepatan dengan tradisi megengan menyambut datangnya bulan suci Ramadan.

Para guru dan siswa melakukan tahlil dan tabur bunga di makam almaghfurullah KH Abdul Mu'id. Makam tersebut berada di Kawasan Lontar, Surabaya. 

Advertisement

Selain ziarah, tradisi megengan ini juga dilanjutkan dengan istighotsah serta makan bersama di halaman sekolah. 

Kepala Sekolah SMP Islam Shafta Surabaya, Nur Azizah mengatakan, tradisi ziarah dan megengan telah menjadi rutinitas dari tahun ke tahun setiap menjelang Ramadan. 

"Sekolah Islam Shafta Surabaya ingin turut serta melestarikan budaya leluhur. Kami ingin agar anak-anak bisa teredukasi bahwa megengan ini merupakan tradisi bagi umat Islam di Jawa untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan," ungkap Nur Azizah diamini oleh Kabag SDM SMA Islam Shafta Surabaya, Kholib Sampoerno, Selasa (21/3/2023) sore. 

Bagi umat Islam di Jawa, megengan menjadi tradisi dan budaya leluhur dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Tradisi tersebut terus dilestarikan kepada generasi milenial agar tetap eksis di tengah perkembangan zaman. 

Megengan Membangun Piramida Religius

Setiap jelang Ramadan, masyarakat Jawa lekat dengan Tradisi Megengan. Islam di Pulau Jawa memang memiliki sekian banyak tradisi dalam memaknai hari-hari besar. 

Tradisi ini merupakan tradisi indigenius atau khas,  yang tidak dimiliki oleh Islam di tempat lain. Ditandai dengan upacara selamatan ala kadarnya untuk menandai masuknya bulan puasa. 

Megengan secara lughawi berarti menahan. Misalnya dalam ungkapan megeng napas, artinya menahan napas. Megeng hawa nafsu artinya menahan hawa nafsu dan sebagainya. Di dalam konteks puasa, maka yang dimaksud adalah menahan hawa nafsu selama bulan puasa. 

Secara simbolik, bahwa upacara megengan berarti menjadi penanda bahwa manusia akan memasuki bulan puasa sehingga harus menahan hawa nafsu, baik yang terkait dengan makan, minum dan nafsu lainnya. 

Dengan demikian, megeng berarti suatu penanda bagi orang Islam untuk melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat disucikan di dalam Islam. 

Para Wali Songo memang mengajarkan Islam kepada masyarakat dengan berbagai simbol-simbol. Dan untuk itu maka dibuatlah tradisi untuk menandainya, yang kebanyakan adalah menggunakan medium slametan meskipun namanya sangat bervariasi.

Sejarah awal megengan telah dimulai sejak masa Kerajaan Majapahit pada saat generasi Wali Songo pertama dan kedua. Islam pada masa tersebut banyak mengakomodasi dari tradisi 'Kapitayang' yang ada di Majapahit. 

Alkisah, di sebuah Kampung Jati Nom Klaten, Jawa Tengah sedang mengalami masa pagebluk panjang. Tidak ada yang bisa menyelamatkan bencana tersebut. Orang-orang pintar dan ahli tirakat dari Majapahit sudah berusaha mengatasi persoalan itu tapi tidak berhasil. 

Hingga akhirnya seorang ulama bernama Syekh Maulana Al Maghrobi meruwat penduduk desa yang sengsara duka lara. Ruwatan itu kini dikenal sebagai Bulan Ruwah. 

Mereka dikumpulkan agar bersedekah dan gotong royong sesuai kemampuan masing-masing. Karena sedang dalam keadaan kekurangan, tidak ada yang mampu bersedekah.

Akhirnya,  diputuskan gotong royong. Penduduk ada yang membawa kelapa, tiwul, juga bermacam lainnya dikumpulkan, diolah menjadi satu hingga menjadi kue apem. 

Kue apem disusun menjadi gunungan, dilengkapi tumpeng dan bermacam lainnya. Secara simbolik, bermakna kembali pada Tuhan dengan pondasi kerukunan, kebersamaan, dan tolong menolong. 

Gunungan apem itu kemudian dipikul, berhenti di tiap rumah sambil meruwat warga. Selepas peristiwa besar yang kala itu disebut Grebegan, diambil dari nama panggilan Syekh Al Maghrobi sebagai Ki Ageng Gribi, pagebluk tadi langsung hilang. 

Kemudian tradisi ini menyebar ke seluruh tanah Jawa, secara masif disebarkan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.

Semua simbol baik gunungan apem ataupun tumpeng berbentuk piramida pun juga memiliki nilai esensi. Piramida sebagai simbol antropologi ke-Tuhanan yang sangat kuat. Hubungan antar manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam. 

Dalam sejarah, Megengan tidak hanya diberikan kepada penduduk. Tetapi bahkan ke pojok-pojok desa serta area persawahan yang dianggap sebagai penunggu desa. Ini adalah esensi membangun hubungan manusia dengan alam.

Megengan telah membangun piramida religius bernilai tinggi. Oleh karena itulah, Sekolah Islam Shafta Surabaya melestarikan tradisi megengan kepada para siswa.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES