Pendidikan

28 Persen Mahasiswa Kecanduan Gunakan AI untuk Kerjakan Tugas

Kamis, 07 Maret 2024 - 16:08 | 347.82k
Prof Daniel Ginting saat memberikan pidato ilmiah dalam pengukuhan guru besar, Kamis (7/3/2024). (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)
Prof Daniel Ginting saat memberikan pidato ilmiah dalam pengukuhan guru besar, Kamis (7/3/2024). (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Ada data menarik yang disampaikan oleh Prof. Dr. Daniel Ginting, S.S., M.Pd mengenai penggunaan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Hal itu dia sampaikan pada orasi ilmiah pengukuhan guru besarnya sebagai Profesor Bidang Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Ma Chung, Kamis (7/3/2024).

Dalam pidato ilmiah berjudul "Transformasi Pendidikan Dalam Era Kecerdasan Buatan: Tantangan Dan Peluang" itu, dia banyak menjelentrehkan tentang potensi AI dalam mendukung pembelajaran bahasa asing. Selain itu, dia juga memaparkan beberapa kecurangan yang dilakukan siswa atau mahasiswa dengan adanya AI.

Advertisement

Pria kelahiran Malang Jawa Timur itu mengatakan, pihaknya telah melakukan survey terhadap 464 mahasiswa yang tersebar di sembilan Universitas. Di mana tujuh diantaranya yakni perguruan tinggi negeri dan swasta yang ada di Indonesia, dan dua lainnya berada di Malaysia.

"Mayoritas, atau sekitar 60 persen pernah mahasiswa pernah menggunakan AI. alat yang sering digunakan adalah laptop/desktop. Di mana ebih dari 70 persen adalah mahasiswa perempuan," ucapnya.

Dari situ, dia memetakan lebih jauh, dengan membagi para mahasiswa tersebut menjadi 3 kelompok pengguna AI. Yang pertama adalah mereka yang candu terhadap AI atau AI Enthusiast. Kedua mereka yang mau beradaptasi dan menggunakan AI atau AI Adapters. Dan yang ketiga adalah kelompok yang tidak percaya atau anti terhadap AI atau AI Skeptics.

"Mayoritas mahasiswa (71%) tergolong dalam kategori AI Adapters. Mereka menunjukkan sikap seimbang dan dapat beradaptasi terhadap chatbot yang didukung AI dalam pembelajaran bahasa," terangnya.

Pria yang mendapat gelar Doktor di Universitas Negeri Malang (UM) itu menyebut, AI Adapter memiliki sikap kritis dan independen terhadap informasi yang diberikan AI. Tetapi juga tidak memandang sebelah mata kelebihankelebihan yang dimiliki AI.

"Namun disisi lain, kita tidak bisa mengabaikan kelompok AI enthusiast yang ternyata memiliki ketergantungan terhadap AI dalam pengerjaan tugasnya. Terakhir, sedikit sekali mahasiswa yang apatis dengan AI," kata dia.

Dalam data yang dia paparkan, mahasiswa yang tergolong dalam kelompok AI Enthusiast ini sebanyak 28 persen. Sedangkan mereka yang tergolong AI Skeptics hanya 1 persen saja.

"Tentu ada beberapa keterbatasan penelitian ini baik dari sisi jumlah sampel, metode pengumpulan data dan lainya. Namun demikian, hasil penelitian ini diharapkan memberikan kita gambaran sikap dan pandangan mahasiswa secara umum tentang kecerdasan buatan selama studi mereka di perguruan tinggi," tuturnya.

Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang dia ajukan kepada mahasiswa yang di survey. Seperti tentang seberapa puas mahasiswa terhadap layanan AI dalam belajar bahasa, apakah CHATGPT lebih baik dari seorang dosen/guru?, keterampilan Bahasa seperti apa yang dapat difasilitasi oleh AI?, dan terkahir pertanyaan tentang apakah mahasiswa akan menggunakan Chat GPT untuk mempelajari Bahasa Inggris di masa depan?.

Dari semua pertanyaan tersebut, pria yang juga dikenal sebagai presiden Indonesian English Lecturers Association itu dapat menyimpulkan, bahwa enggunakan kecerdasan buatan perlu dilakukan dengan hati-hati sambil terus mempertimbangkan dan mengevaluasi risikonya.

Baginya, penting untuk tetap melibatkan elemen manusia dalam proses ini, memastikan bahwa keahlian dan kebutuhan guru senantiasa menjadi prioritas utama dalam membuat keputusan terkait kecerdasan buatan dalam konteks pendidikan. Keterlibatan siswa dalam diskusi tentang integritas akademik dan tujuan pendidikan secara lebih luas merupakan langkah kunci untuk menyesuaikan pengajaran di era kecerdasan buatan.

"Dengan memfokuskan pada peran kecerdasan buatan sebagai alat digital tambahan, pendidikan dapat mengarah pada penguatan kompetensi digital dan keterampilan berpikir kritis siswa yang menyiapkan mereka untuk menghadapi era kecerdasan buatan di masa depan," pungkas Prof Ginting. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES