Pendidikan

Istirochah Pujiwati, Guru Besar Unisma yang Dorong Kemandirian Kedelai Nasional

Rabu, 14 Mei 2025 - 10:02 | 13.42k
Prof. Dr. Ir. Hj. Istirochah Pujiwati MP.  (Dok Pribadi for TIMES Indonesia)
Prof. Dr. Ir. Hj. Istirochah Pujiwati MP. (Dok Pribadi for TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Dorongan untuk memajukan pertanian Indonesia, khususnya dalam swasembada kedelai, telah menjadi napas perjuangan akademik Prof. Dr. Ir. Hj. Istirochah Pujiwati MP. Konsistensi dalam riset dan pengabdian akademik ini akhirnya mengantarkanya meraih gelar Guru Besar di bidang Fisiologi Tumbuhan Universitas Islam Malang (Unisma). Sesuai Surat Keputusan (SK) dari Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Nomor 675/Μ/ΚΡΤ.ΚΡ/2025 Tentang Kenaikan Jabatan Akademik Dosen, terhitung mulai 1 April 2025.

“Track record penelitian saya berangkat dari keprihatinan terhadap produksi kedelai Indonesia yang masih bergantung pada impor hingga 70 persen. Artinya petani domestik hanya bisa memenuhi 30 persen kebutuhan dalam negeri,” ujarnya saat diwawancarai TIMES Indonesia.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, volume impor kedelai Indonesia dalam tiga tahun terakhir masih tinggi. Mencapai  2,489 juta ton pada 2021, 2,324 juta ton pada 2022, sebanyak 2,274 juta ton pada 2023, dan 2,676 juta ton pada 2024. Sumber utama impor adalah Amerika Serikat.

Tentu hal ini bukan hal yang bagus, mengingat  Presiden AS Donald Trump akan menerapkan tarif resiprokal terhadap Indonesia sebesar 32 persen, meski kemudian diturunkan menjadi 10 persen dalam periode 90 hari.

“Ini menjadi alarm bagi kita, bahwa ketahanan pangan tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada impor. Karena itu saya concern mengembangkan teknologi yang bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas kedelai lokal,” jelas Prof Isti.

Sejak 2011, Prof Isti meneliti teknologi sonic bloom, metode inovatif yang menggabungkan pemaparan tanaman dengan gelombang suara pada frekuensi 3.500–5.000 Hz, lalu dilanjutkan dengan pemberian pupuk daun. Tujuannya untuk membuka stomata tanaman agar penyerapan nutrisi lebih maksimal.

Hasilnya terbukti. Dalam riset terakhir yang dipublikasikan tahun 2023, varietas kedelai Anjasmoro yang biasanya berproduksi 2,3 ton per hektare, mampu ditingkatkan menjadi 3,93 ton per hektare. Artinya ada kenaikan produktivitas sebesar 70,87 persen. Bahkan, tidak hanya kuantitas yang meningkat, tapi juga kandungan protein dalam biji kedelai.

“Ini menunjukkan bahwa teknologi tepat guna berbasis lokal bisa menjadi solusi konkret bagi kemandirian pangan nasional,” ujarnya yakin.

Meski begitu, Prof Isti juga menyoroti masih adanya kesenjangan antara dunia akademik dan para petani di lapangan. Oleh karena itu, ia mendorong pendekatan kolaboratif yang melibatkan pemerintah kabupaten/kota, provinsi, atau kementrian, agar inovasi pertanian dapat terserap dan dimanfaatkan langsung oleh para petani.

“Kita butuh pendekatan kolaboratif. Pemerintah daerah bisa jadi jembatan agar teknologi dari kampus bisa dimanfaatkan di lapangan,” jelasnya.

Kontribusi Besar Prof Isti Untuk Unisma dan Dunia

Sepanjang karier akademiknya di Unisma, ia pernah menjabat sebagai Wakil Rektor IV yang membidangi Kelembagaan, Publikasi, dan Teknologi Informasi. Di posisi itu,prestasi membanggakan yang dilakukan adalah menjadi penanggungjawab dalam perolehan Akreditasi Unisma menjadi UNGGUL, 7 prodi meraih akreditasi internasional ASIIN dan FIBAA (Jerman), pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), pendirian beberapa program studi baru dan memperkuat reputasi Unisma tingkat nasional dan internasional

Tak hanya produktif meneliti, Prof Isti juga aktif menulis buku. Beberapa buku karyanya seperti Pengantar Ilmu Gulma (2017), Biologi Tumbuhan (2017). Kedua buku itu telah resmi mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Selain itu masih ada beberapa buku karyanya yang lain seperti Pengantar Fisiologi Tumbuhan (2019), Stop Impor Kedelai, Gunakan Teknologi Sonic Bloom (2023), dan lainya.

Menjadi guru besar bukanlah perkara mudah, apalagi bagi perempuan akademisi yang harus menavigasi dunia akademik dengan disiplin dan konsistensi tinggi. Namun bagi Prof Isti, proses pengajuanya menjadi guru besar disebut berjalan sangat cepat. Dan keberhasilan itu tak lepas dari kekuatan doa.

“Pengajuan saya dimulai Juni 2024. Lalu sempat satu kali revisi karena jurnal yang saya gunakan ternyata terindikasi discontinued. Setelah saya perbaiki, prosesnya berjalan sangat cepat,” kisahnya.

“Alhamdulillah, satu kali revisi, langsung keluar sertifikat kompetensi pada 26 Maret 2025. Lalu SK diterbitkan 1 April, dan diumumkan resmi oleh LLDIKTI pada 6 Mei,” lanjutnya mengenang.

Sebagai Guru Besar kelima di Fakultas Pertanian Unisma, Prof Isti ingin memberi pesan bahwa perempuan juga bisa bersinar di dunia akademik. Ia melihat tren positif di Unisma, di mana dalam beberapa tahun terakhir banyak dosen perempuan yang berhasil mencapai jenjang tertinggi dalam karier akademik.

“Mungkin perempuan lebih telaten ya. Karena proses pengusulan guru besar itu sangat administratif, terutama terkait jurnal. Tapi semua bisa kalau dijalani dengan sabar dan tekun,” ujarnya.

Bagi Prof Isti, statusnya sebagai Guru Besar menjadi awal untuk berkontribusi lebih besar dalam dunia riset, pendidikan, dan pembangunan pertanian Indonesia. Ia berharap lebih banyak anak muda, terutama perempuan, yang mau terjun di bidang pertanian, membawa inovasi dan semangat kemandirian pangan ke masa depan.

Advertisement

Pesan Prof Isti Untuk Anak Muda

Di tengah tantangan pangan global dan ketergantungan impor bahan pangan seperti kedelai, eksistensi pendidikan pertanian semakin strategis Prof Isti menekankan pentingnya peran generasi muda dalam mendorong kemandirian pangan melalui pendekatan teknologi dan inovasi. Dia mengungkapkan keprihatinannya terhadap minimnya minat anak muda terhadap sektor pertanian, akibat stigma bahwa menjadi sarjana pertanian berarti harus menjadi petani yang berkotor-kotor di sawah. Padahal, menurutnya, paradigma itu sudah ketinggalan zaman.

“Saya mendorong para mahasiswa, mindset bahwa lulusan pertanian harus ke sawah itu harus diubah. Sekarang sudah era digital. Kita sudah harus bergerak ke pertanian berbasis Internet of Things (IoT),” ujar Prof Isti.

Sebagai contoh, Fakultas Pertanian Unisma saat ini telah mengembangkan sistem budidaya melon berbasis IoT, mulai dari sistem irigasi hingga pemberian nutrisi tanaman yang dikendalikan secara digital. Menurutnya, pertanian kini bisa dilakukan secara presisi, efisien, dan bahkan di ruang indoor, sebagaimana yang banyak diterapkan di negara-negara maju seperti Jepang.

Tak hanya di sektor produksi, Prof Isti menekankan bahwa lulusan pertanian memiliki peluang karier yang luas, termasuk di dunia perbankan dan lembaga keuangan. Keahlian mereka dalam menganalisis produktivitas dan kemampuan finansial petani sangat dibutuhkan.

“Banyak alumni pertanian yang di-hire oleh perbankan, khususnya yang memberikan kredit kepada petani, seperti BRI. Mereka dibutuhkan untuk melakukan asesmen kemampuan bayar petani, luas lahan, potensi hasil dan sebagainya,” pungkasnya.

Prof Isti optimis bahwa sektor pertanian akan mendapat porsi strategis. Ia berharap jurusan pertanian di berbagai kampus mampu menjawab kebutuhan zaman dengan kurikulum dan riset yang adaptif terhadap perkembangan teknologi. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES