Pendidikan

Indonesia Hadapi Krisis Serum Anti Bisa Ular, Universitas Brawijaya Kembangkan Antibisa Lokal

Senin, 26 Mei 2025 - 19:52 | 10.49k
Ahli ular dari Universitas Brawijaya, Prof Nia Kurniawan. (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)
Ahli ular dari Universitas Brawijaya, Prof Nia Kurniawan. (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Indonesia saat ini menghadapi krisis tersembunyi dalam dunia kesehatan, yakni keterbatasan pasokan serum anti bisa ular atau antivenom. Serum ini sangat sulit ditemukan di banyak rumah sakit, dan jika ada pun sering kali sudah melewati masa kedaluwarsa. Hal ini diungkapkan oleh ahli ular dari Universitas Brawijaya (UB), Prof. Nia Kurniawan.

Dari puluhan jenis ular berbisa yang ada di nusantara, hanya tiga jenis serum anti bisa yang tersedia secara komersial, yakni untuk ular kobra, ular belang, dan ular tanah. Padahal, Indonesia memiliki sekitar 77 spesies ular berbisa, termasuk ular laut yang dikenal sangat mematikan.

Advertisement

Minimnya produksi dalam negeri menjadi salah satu penyebab utama kelangkaan serum tersebut. Saat ini, hanya satu produsen yang aktif memproduksi dan menjual serum antibisa, yaitu Bio Farma. Kondisi ini membuka celah besar dalam sistem penanganan kasus gigitan ular berbisa yang dalam beberapa kasus bisa mengancam nyawa dalam hitungan menit.

Menjawab tantangan tersebut, Universitas Brawijaya melalui tim penelitinya tengah mengembangkan program antibisa lokal. Fokus awal dari penelitian ini adalah pemodelan insiliko, yakni pendekatan berbasis komputer untuk memetakan struktur racun ular dan menentukan kandidat molekul antibisa yang paling cocok.

“Pendekatan ini dipilih karena lebih efisien secara biaya dibandingkan riset laboratorium langsung,” jelas Prof. Nia.

Tantangan penelitian ini sangat besar mengingat variasi spesies dan karakter racun ular di Indonesia yang sangat tinggi. Bahkan, untuk satu jenis ular seperti kobra saja, racunnya bisa berbeda-beda berdasarkan daerah. Di Jawa Timur, kobra ditemukan dengan warna hitam, cokelat, kuning, hingga perak, yang masing-masing memiliki racun unik.

“Ini baru di Jawa, belum di Sumatera, belum lagi di daerah Papua dan Nusa Tenggara Timur,” tambah Prof. Nia.

Ia juga menegaskan bahwa ketergantungan pada impor serum antibisa bukan solusi jangka panjang yang ideal. Karena itu, pengembangan antibisa lokal dengan memanfaatkan database racun yang sudah ada menjadi langkah krusial.

Saat ini, penelitian di UB sudah memasuki tahap karakterisasi protein sebagai langkah awal sebelum pembuatan antibisa yang lebih spesifik dan efektif.

“Harapannya, antibisa lokal ini dapat menjadi terobosan penting dalam menyelamatkan nyawa korban gigitan ular, terutama di daerah terpencil yang sulit mengakses fasilitas medis lengkap,” pungkas Prof. Nia.

Dengan pengembangan ini, diharapkan angka kematian akibat gigitan ular berbisa dapat diminimalkan, mengingat waktu penanganan yang sangat krusial, kadang hanya dalam hitungan menit hingga jam.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES