Pendidikan

Ayo Mondok dan Pendidikan Islam Modern Unggul ala Pesantren

Jumat, 30 Mei 2025 - 17:16 | 16.93k
Oleh: Dr. H. Ahmad Hakim Jayli, M.Si., sekretaris Gerakan Nasional Ayo Mondok, CEO TV9 Nusantara
Oleh: Dr. H. Ahmad Hakim Jayli, M.Si., sekretaris Gerakan Nasional Ayo Mondok, CEO TV9 Nusantara
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Seusai perhelatan Silaturahim Nasional (Silatnas) Gerakan Nasional Ayo Mondok di Taman Chandra Wikwatikta, Pandaan, 13-15 Mei 2016, saya berkesempatan sowan dan meminta nasehat pada Kiai tempat saya ngangsu ilmu dan laku selama di Pesantren. Beliau adalah Kiai Abdurrahman Yahya (wafat 2022), Pengasuh PP. Miftahul Huda, Gadingkasri, Kota Malang. 

Bagi saya ini penting. KAarena gagasan gerakan Ayo Mondok didedikasikan bagi branding promotion kepada khalayak muslim kota, kelas menengah, dan anak muda tentang cita rasa pendidikan pesantren. 

Advertisement

Bermula dari ide dan inisiatif sejumlah gus dan penggerak pesantren, khususnya yang tergabung dalam asosiasi pesantren Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Gerakan ini dirilis di Lantai-8 Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 1 Juni 2015, bertepatan malam nisfu sya'ban oleh Ketua Umum PBNU saat itu, Prof KH Said Aqil Siroj. 

Kala itu, didampingi Ketua PP RMI Dr. Amin Haedari dan Sekjen Dr. Miftah Fakih. Tanggal itu, cukup bersejarah, karena beberapa jam setelah launching, tagar #AyoMondok menjadi trending topik nasional di jagat twitter (kini X) selama beberapa jam hingga dini hari. Bahkan masih menjadi perbincangan hangat di keesokan harinya.

Yang didapuk menjadi Ketua atau 'Panglima' GAM (demikian kami membuat akronim Gerakan Ayo Mondok) adalah Gus Lukman Harits Dimyathi Tremas, yang sebulan sebelumnya, medio Rajab 1436 bersama Ketua-ketua RMI NU wilayah kala itu. 

Mereka adalah para gus keren. Ada Gus Reza Lirboyo (Jatim, sekarang Katib PBNU), Gus Rozin Kajen (Jateng, sekarang Ketua PWNU Jateng), dan Habib Syakur (Yogyakarta) serta belasan lainnya. 

Kami membincang visi, postur, fokus, hingga logo gerakan ini, di Gedung NU Raya Darmo Surabaya, yakni Kantor TV9 Nusantara. 

Sebagai sebuah orkestrasi gerakan, Ayo Mondok berawal dari fakta minimnya literasi orang kota (urban muslim) tentang pesantren. Stigma pesantren sebatas 'barak' menampung anak-anak nakal, plus kekumuhan hingga pandangan merendahkan bahwa pendidikan pesantren tidak menjanjikan masa depan adalah sederet 'bau amis' yang segera harus diantisipasi dan dicarikan jalan keluarnya oleh orang-orang pesantren sendiri. 

Belum lagi, akses informasi layanan pendidikan ini di jagat internet (10 tahun lalu) jauh dari kata tersedia. Apalagi dibandingkan layanan pendidikan lainnya yang sudah internet friendly.

Maka Ayo Mondok pun menjadi solusi bersama, angin segar dan harapan perubahan. Bukan hanya bagi publik yang mulai merasakan kemudahan mengakses informasi pesantren berdasarkan kota dan jenis pendidikan. Tapi juga bagi para kiai dan pengelola pesantren yang (kala itu) menangkap tanda-tanda pesantren mulai tersisih dari persaingan layanan pendidikan khususnya di masyarakat modern kota dan anak muda generasi Y dan Z kala itu.

Sebagai sebuah gerakan sosial-marketing, yang oleh Prof. Rhenald Kasali disebut sebagai 'mobilisasi dan orkestrasi', Ayo Mondok terus bergerak. Mendapat dukungan lebih luas dari institusi dan komunitas pesantren, menjelma efek bola salju yang indah dan kolosal, hingga kini pesantren sudah mulai menjadi buah bibir di ruang makan dan ruang tidur orang tua. Bahkan diobrolkan anak-anak di kelas atau ruang santai sekolah. 

Walau belum menjadi top of mind, tapi brand pesantren sudah mulai 'saba kota'. Masuk dalam radar logika pragmatis-rasional kaum urban, menjadi alternatif di tengah kontestasi lembaga dan layanan pendidikan unggulan-modern. 

Di bawah kepengurusan PP RMI NU era Gus Rozin atau KH. Abdul Ghoffar Rozin, orkestrasi Ayo Mondok memainkan simfoni yang lebih beragam. Menggalang pesantren bersih dan sehat hingga kompetisi sepakbola antar pesantren; LSN. Liga Santri Nasional!

"Zaman akhir, pondok pesantren kian dibutuhkan!" Kiai memulai nasehat. 

Dengan setengah menunduk, saya lihat wajah Kiai begitu cerah, berhias senyum. Sorot matanya menerawang. "Kanjeng Nabi menerima wahyu pertama kali dari Allah melalui Malaikat Jibril, dan itu tentang pendidikan. Dengan prinsip ini pendiidikan pesantren dijalankan." 

Suaranya lirih. Saya kian memasang telinga saat Kiai membacakan Lima ayat pertama dari surat Al Alaq. Cara Kiai memaknai ayat demi ayat, cukup mengenyangkan, konseptual dan kontekstual dengan isu utama yang sedang saya coba ketengahkan. 

Iqra', bismi rabbikal-ladzi khalaq. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Menjadikan. 

Bagi Kiai ini, soal pendidikan Iman hal pertama yang harus ditanamkan para pengasuh pesantren pada santrinya sebelum yang lain-lain. 

Khalaqal Insana Min 'Alaq. (Tuhan) menciptakan manusia dari Segumpal Darah. Allah menyebut asal-usul penciptaan, agar manusia tidak lupa daratan, tahu diri, dari apa dia berasal. Sel sperma dan ovum yang berkelindan menjadi darah. 

Ini pesan tentang pendidikan akhlaq. Kesempurnaan akhlaq adalah misi nabi dari Allah. Karena itu, akhlaq adalah hal utama setelah iman. Akhlaq adalah karakter, hal kedua yang ditanamkan Pesantren pada santri.

Saya mulai berpikir tentang posisi Ilmu. Iqro', wa rabbukal akrom, alladzi 'allama bil qalam. Bacalah. Dan Tuhan-Mu lah yang Lebih Unggul, Memberi Ilmu dengan Qolam. Iman, Akhlaq baru Ilmu. 

Allah mendasarkan pentingnya ilmu pada keunggulan Dzat-Nya yang berkuasa menebar ilmu melalui sistem pendidikan berupa Qolam alam semesta yang luas tak bertepi. Ada penegasan tentang pentingnya Ilmu melalui ayat ini. Tapi posisinya setelah iman dan akhlak.

Belum sempurna rasanya saya merenung dan mencerna, Badan terasa menghangat tak sabar menunggu apa berikutnya. 'Allamal Insana Ma lam ya'lam. (Tuhanmu) yang mendidik manusia ilmu yang belum mereka kuasai ketahui.

Ilmu bukan hanya untuk diraih dan dikejar, tapi lebih dari itu, untuk diamalkan, diajarkan. Ilmu tanpa amal, ibarat pohon tanpa buah. Di pesantren ada terminologi Ilmu Manfaat, ilmu yang bisa diamalkan, diajarkan, memberi manfaat kepada sesama.

Terminologi ini diinspirasi sabda 'Khairunnas Anfa'uhum Linnas'. Manusia Terhebat, adalah yang paling banyak beri manfaat pada sesama. Santri terbaik adalah santri yang bisa mempraktikkan ilmunya. Begitu kira-kira.

Ini tentu pesan keren dari Bilik Pesantren tentang pendidikan di era modern. Tatkala orang tua mulai khawatir tentang moralitas dan daya tahan generasi mereka di era turbulensi global, pesantren konsisten dengan konsep dan substansi pendidikannya. 

Tetralogi Iman-Akhlaq-Ilmu-Amal sudah menjadi trade mark, merek dagang pesantren selama ini. Tatkala Sistem Pendidikan Nasional baru tersadar dalam mengarusutamakan Pendidikan Karakter, pesantren justru telah menerapkannya sejak jaman baheula. 

Pragmatisme dan kapitalisme-lah yang meninabobokkan cara pandang manusia tentang substansi pendidikan. Kapitalisme sebagai salah satu efek globalisasi membujuk manusia mengukur segala sesuatu dari sisi duniawi: kekayaan dan kekuasaan. 

Pendidikan pun dibajak untuk mengabdi pada tujuan kekayaan (hubbud-dunya) dan kekuasaan (hubbul-jah). Bagi pesantren, kaya dan kuasa adalah hak prerogatif Tuhan dan hanya sekadar efek dari ikhtiar dalam bingkai tetralogi Iman-Akhlaq-Ilmu-Amal. Bukan sebaliknya. 

Pendidikan pesantren mengajari kita memperioritaskan yang penting dan utama. Hal-hal terkait kaya dan kuasa sudah ada di garis tangan, akan tiba, saat masanya menjelang. Kiai-Kiai memberi tuntunan, meniti kehidupan, harus dari tangga demi tangga, terus sabar melangkah, hingga saatnya nanti, terbang di cakrawala. 

Tak ada yang lebih dirisaukan dari generasi mendatang, selain keteguhan karakter dan pemahaman akan jati dirinya sebagai hamba beriman dan sebagai anak bangsa. Tugas orang tua membekali dan menuntunnya. 

Pesantren sudah tahu apa yang harus diperankan, untuk membantu kita para orang tua. Walhasil, pesantren masih yang terbaik dalam membentuk dan menanamkan ‘tetralogi’ iman, akhlaq, ilmu dan amal shaleh anak-anak kita. 

Di era di mana gaya hidup milenial telah dan akan terus menjadi bola salju, maka saatnya pesantren menjadi titik temu dan kompromi indah, antara tugas mandatori kita sebagai orang tua dengan gaya hidup serba simpel dan keren ala generasi masa kini. Sekali lagi, titik temu yang indah. Ayo Mondok! (*)


* Tulisan ini dikontekstualisasi dari Esai 'Nak, Ayo Mondok',  dimuat di rubrik #KataLelaki, Majalah Auleea, edisi Mei 2017)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES