Pendidikan

Aktivis Hilang Setelah Lulus Kuliah, Mengapa?

Selasa, 08 Juli 2025 - 06:55 | 54.51k
Ilustrasi - Mahasiswa yang bingung memilih antara idealis atau realis. (FOTO: AI TIMES Indonesia)
Ilustrasi - Mahasiswa yang bingung memilih antara idealis atau realis. (FOTO: AI TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Ribuan aktivis mahasiswa lahir dari banyak kampus di Indonesia. Baik dari kampus negeri maupun swasta. Mereka umumnya aktif di organisasi kampus maupun ekstra kampus.

Setelah banyak mengenyam pendidikan kritis, pemerhati hukum dan demokrasi, mahasiswa aktif dalam gerakan sosial, politik, keadilan dan memperjuangkan kebenaran untuk rakyat, agama, bangsa dan negara bahkan dunia.

Advertisement

Selama proses di kampus masing-masing, menuntut ilmu, mahasiswa sangat konsisten membela rakyat, negara dan bangsa. Aktif berproses di organisasi intra dan ekstra kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau lembaga kampus lainnya. 

Demo-PMI.jpg

Di organisasi ekstra kampus, aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan organisasi ekstra lainnya.

Saat masa kuliah, mahasiswa paling terdepan saat demonstrasi. Mereka menuntut keadilan dan mengkritisi aneka kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.

Namun, setelah wisuda, para aktivis mahasiswa itu, jarang terdengar lagi jiwa kritisnya. Entah kemana dan berada dimana mereka?

Lima Faktor Aktivis Hilang setelah Lulus Kuliah

Dalam analisis hasil penelitian dan pengembangan (Litbang) TIMES Indonesia, banyak faktor yang menyebabkan mahasiswa aktivis setelah lulus itu tak lagi kritis pada kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. 

Pertama, mereka sudah masuk pada dunia yang penuh dengan tekanan. Salah satunya, adalah tuntutan ekonomi, sistem kerja kapitalistik, ancaman profesional kalau terlalu vokal. 

HMI.jpg

Diakui atau tidak, jika sudah masuk dunia nyata, yang ada di luar kampus, survival mode mengalahkan idealisme. Jiwa idealisme bisa hilang seketika. Seakan tak punya kepekaan dalam berpikir kritis. atau mungkin sudah ditekan untuk berada pada zona nyaman untuk berpikir pragmatis. 

Faktor kedua, banyak tekanan dari keluarga dan sosial. Misalnya, tekanan secara psikologi. Muncul pertanyaan dari teman atau saudara “kapan nikah? kapan kerja? sudah besar atau tua kok masih mau demo terus. Selain itu, juga sering muncul tekanan untuk “menjadi orang biasa” bikin mereka memilih diam. 

GMNI.jpg

Faktor ketiga, sistem tidak mendukung aktivisme lanjutan. Realitas di dunia nyata, sangat minim ruang gerak, minim komunitas lanjutan, minim dukungan moral dari banyak pihak dan lingkungan.

Akhirnya, banyak mantan aktivis yang berjuang sendiri dan akhirnya kelelahan. Memutuskan untuk berada pada dunia baru, yang tidak bersentuhan dengan budaya atau kebiasaan aktivisme.

Faktor keempat, banyak mantan aktivis yang merasa trauma dan frustasi. Karena menilai gagal menang di sistem kampus, dikhianati oleh teman seperjuangannya atau karena lelah menghadapi birokrasi yang tak juga sadar akan tugas dan tanggung jawabnya saat menjabat. Mantan aktivis itu banyak yang undur diri secara diam-diam.

Selanjutnya, faktor kelima, bisa saja mereka hendak beradaptasi. Karena dalam proses beradaptasi itu, bukanlah pengkhianatan. Namun, bagian dari proses mencari jati dirinya, untuk bisa hidup bersama lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. masuk babak baru dalam menata hidup.

Para aktivis mahasiswa usai wisuda itu sebagian tidak benar-benar hilang. Mereka bertransformasi, ada yang menjadi akademisi, masuk lembaga riset, dan ada yang juga membangun gerakan dari bawah di masyarakat atau di kampung halamannya. Mereka tetap bergerak, namun dengan cara berbeda sesuai kultur dan budaya yang dihadapinya.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES