Peristiwa Daerah

Bedug, Ikon Idul Fitri dalam Budaya Nusantara

Kamis, 07 Juli 2016 - 19:51 | 169.87k
Bedug Pendowo, bedug berukuran raksasa yang terletak di Masjid Darul Muttaqien, Purworejo, Jawa Tengah (Foto: johanbudi.blogspot.co.id)
Bedug Pendowo, bedug berukuran raksasa yang terletak di Masjid Darul Muttaqien, Purworejo, Jawa Tengah (Foto: johanbudi.blogspot.co.id)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Bedug merupakan salah satu ikon dalam Idul Fitri di Indonesia. Ikon lainnya, ketupat dan masjid. Ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri di berbagai media, ikon bedug kerap hadir menghiasi. Pun dengan masjid dan ketupat.

Mulai kartu ucapan, baliho yang terpasang di jalan-jalan utama dan fasilitas publik, hingga grafis yang tampil di media sosial, penampakan bedug mewarnai keindahan makna ucapan Selamat Idul Fitri.

Advertisement

"Bedug menjadi suatu waditra (music instrument) yang dimaknai khusus dalam nuansa Islami," ujar Dwi Cahyono, sejarawan Universitas Negeri Malang, Kamis (7/7/2016).

Mengapa pilihan ikonik jatuh pada bedug? Menurut Dwi Cahyono, hal tersebut tidak lepas pada keberadaan dan fungsi bedug di tempat peribadatan Islam dan fungsi bedug dalam kaitan dengan waktu-waktu penyelenggaraan ritus dalam agama Islam. 

Ia memaparkan, pada sejumlah masjid lama, waditra jenis membraphone yang berupa bedug dan/atau waditra silophone yang berupa kenthongan dalam berbagai bentuk dan ukuran, ditabuh sebagai petanda waktu memasuki waktu-waktu ibadah. 

Mula-mula ditabuh kenthongan dan disusul dengan bedug "thong, thong, thong ..... duk, duk, dug". Pada menara masjid tua, seperti Menara Kudus, bedug gantung yang berkuran kecil dan kenthongan hadir bersamaan. Bedug sebagai petanda bunyi untuk memasuki waktu ibadah dalam ritual Islam telah dipakai sejah akhir abad XVI di situs Islam Banten Lama. 

Namun demikian, lanjutnya, bukan berarti bedug baru ada pada masa pertumbuhan Islam. Kidung Malat yang berasal dari medio abad XV menyebut adanya tegteg, yakni waditra serupa bedug besar. Demikian pula kenthongan atau kulkul, juga telah hadir bersamaan waktu atau sedikit lebih tua daripada tegteg

Keduanya merupakan petanda waktu. Bunyinya dijadikan sebagai petunjuk waktu, yang diistilahi dengan tabuh. Selain itu, teteg dan kulkul ada kalanya dibunyikan untuk mengundang hadir khalayak agar datang berkumpul di suatu tempat padamana waditra ini ditempatkan (parubungan).

Lebih lanjut, pada sekitar bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal, bedug ditabuh dalam kaitan dengan ritus puasa dan Idul Fitri, yakni sehari jelang memasuki waktu puasa dan Idul Fitri, dini hari untuk bangunkan sahur, setelah sholat tarawih dan pasca shalat Ied. 

"Dalam durasi yang cukup panjang, antara 30 hingga 60 menit, bedug dibunyikan secara berirama oleh dua orang atau lebih secara bergantian dengan sepasang tongkat pemukul, atau bisa juga bersamaan secara harmonis pada dua sisi membran yang berbeda," terang pria kelahiran Tulungagung ini.

Dwi menyampaikan, masyarakat Jawa di Mataraman menamai pembunyian bedug yang demikian dengan "tidur", yaitu sebutan berdasarkan bunyi yang dihasilkan "dur, dur, dur" oleh waditra bersangkutan. Bagi anak-anak dan remaja, bahkan orang dewasa, sesi menabuh bedug ini merupakan suasana keriangan tersendiri. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES