Ini Resep Mencintai Pahlawan dari KH Bisri Mustofa

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Indonesia banyak memilik para pahlawan yang berjuang hingga titik darah penghabisan untuk merebut kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan penjajah. Namun, disayangkan jika generasi selanjutnya tak lagi mencintai dan bahkan melupakan jasa para pahlawan.
KH Bisri Mustofa yang popule dipanggil Mbah Bisri, yang merupakan salah satu ulama Nusantara yang lahir di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915, memberikan resep bagaimana mencinta para pahlawan.
Advertisement
Menukil dari tulisan M Rikza Chamami, Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang dana Dosen UIN Walisongo, yang diunggah NU Online, Mbah Bisri adalah putra dari pedagang kaya bernama H Zainal Mustofa (Djojo Mustopo) bin H Yahya (Podjojo) yang dikenal tekun dalam beragama dan sangat mencintai para kiai.
Ibunya Mbah Bisri bernama Hj Chodijah binti E Zajjadi bin E Sjamsuddin yang berdarah Makassar. Diketahui, Mbah Bisri memiliki dua guru, yakni Kiai Kamil dan Kiai Fadlali di Karanggeneng Rembang.
Merasa haus dengan ilmu, Mbah Bisri melanjutkan menuntut ilmu ke Makkah, setelah menunaikan ibadah haji tahun 1936. Di Makkah, Mbah Bisri berguru kepada Syaikh Bakir, Syaikh Umar Chamdan Al Maghrabi, Syaikh Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath, Sayyid Alawie dan Syaikh Abdul Muhaimin.
Dengan ilmu yang dimilikinya, Mbah Bisri dikenal memiliki tiga kemampuan, yakni articulation, documentation dan organizing. Artikulasi dikuasai Mbah Bisri dalam teknik orasi dan pidato dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat.
Kemampuan dokumentasi ditunjukkan dengan hasil karya tulisnya yang sangat banyak, yakni sebanyak 276 kitab dan buku. Dan semangat organisasi dijalankan sebagai wadah perjuangan, baik di tingkat lokal hingga nasional.
Adapun 'resep' Mbah Bisri dalam mencintai pahlawan, ia abadikan dalam bentuk syairr berbahasa jawa, bernama "Ngudi Susilo" dengan tulisan pegon.
Ngagem blangkon serban sarung dadi gujeng
Jare ora kebangsaan ingkang majeng
Sawang iku Pangeran Diponegoro
Imam Bonjol Tengku Umar kang kuncoro
Kabeh podo belo bongso lan negoro
Podo ngagem destar pantes yen perwiro
Gujeng serban sasat gujeng Imam Bonjol
Sak kancane he anakku aja tolol
Timbang gundul apa ora luweh bagus
Ngagem tutup sirah koyo Raden Bagus
"Memakai blangkon, surban dan sarung jadi pembicaraan. Dianggap tidak memiliki jiwa kebangsaan yang maju.
Lihatlah Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan Tengku Umar yang sudah terkenal.
Semuanya dari mereka nyata-nyata membela bangsa dan negara dengan menggunakan pakaian kebesaran, nampak seperti Perwira.
Memakai surban sebagaimana Imam Bonjol. Dan janganlah menjadi orang bodoh.
Daripada tidak memakai penutup kepala, nampak kurang bagus. Maka pakailah penutup kepala agar seperti Raden Bagus (priyayi)".
Dari pemaknaan syair tersebut, ada empat pola yang harus dilakukan untuk mencintai para pahlawan. Pertama, mengikuti jejak cinta bangsa dan negara. Para pahlawan yang telah gugur dalam medan perang benar-benar merasakan perjuangan nyata. Tidak seperti generasi saat ini yang sudah secara instan menikmati kemerdekaan dan kenyamanan hidup di Indonesia.
Kedua, memakai pakaian yang bagus dan berwibawa. Wibawa seseorang, salah satunya memang dapat dilihat dari cara berpakaian. Oleh sebab itu, nasehat Mbah Bisri yang ditulis ini menjadi tauladan bahwa orang yang berpakaian rapi, maka nampak gagah dan siap menjadi pemimpin.
Termasuk jenis pakaian yang berbeda, seperti blangkong/surban/sarung atau lainnya tidak menjadi pemisah rasa persatuan. Keanekaragaman pakaian itu menandakan potensi lokal yang harus dihargai. Tidak merendahkan pakaian kebesaran yang dimiliki oleh orang lain.
Ketiga, berilmu pengetahuan menjadi salah satu bagian dari mencintai para pahlawan. Sebab tanpa ilmu pengetahuan, maka manusia akan menjadi bodoh.
Dari itu, Mbah Bisri berpesan, "Jangan jadi orang tolol/bodoh". Sebab dengan kebodohan, orang akan gampang ditipu.
Dan keempat, tidak sombong. Setelah mengenang para pahlawan dan menambah ilmu pengetahuan, maka rasa kebangsaan harusnya semakin kuat. Jangan sampai perilaku itu berubah menjadi sombong. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Ahmad Sukmana |