Peristiwa Daerah

Tradisi Ojung hingga Murid Sunan Kalijaga di Bondowoso

Selasa, 08 November 2016 - 16:08 | 653.28k
Tradisi Ojung di Kabupaten Bondowoso sebagai ritual minta hujan dan hiburan dalam acara selamatan Gugur Gunung. (Foto: Ferry/ TIMES Indonesia)
Tradisi Ojung di Kabupaten Bondowoso sebagai ritual minta hujan dan hiburan dalam acara selamatan Gugur Gunung. (Foto: Ferry/ TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Indonesia negara multikultural, kaya akan seni dan budaya. Nilai-nilai kesenian dan kebudayaan menjadi aliran darah bagi rakyat Indonesia, mulai dari warga kota hingga pelosok desa.

Menurut E.B. Tylor dalam bukunya yang berjudul "Primitive Culture" menyebutkan, bahwa kebudayaan adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Advertisement

Manusia dalam kesehariannya, tidak akan lepas dari kebudayaan, karena manusia adalah pencipta dan pengguna kebudayaan. 

Tradisi-Ojung-2mxSQ.jpg

Manusia hidup karena adanya kebudayaan, sementara itu kebudayaan akan terus hidup dan berkembang apabila manusia mau melestarikan kebudayaan dan tidak merusaknya.

Menelusuri aneka seni dan budaya yang ada di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, salah satunya adalah tradisi budaya "Ojung". 

Budaya itu, di daerah yang kini populer dengan nama 'Bondowoso Republik Kopi', masyarakatnya masih melestarikan budaya Ojung.

Misalnya, di daerah Blimbing, Klabang dan Prajekan dan Desa Ramban Kulon, Kecamatan Cermee. Dalam catatan sejarah, tradisi Ojung adalah sejenis permainan tradisional yang bersifat religius-magis. 

Permainan itu mempertemukan keahlian bertarung dan kanuragan, seni tradisi ini melibatkan dua orang yang beradu fisik dengan menggunakan media rotan sebagai alat pemukul. 

Tradisi-Ojung-3XVi4z.jpg

Awalnya, tradisi ini diadakan dengan tujuan untuk meminta turunnya hujan agar di desa setempat terhindar dari kekeringan ketika musim kemarau panjang. Kini, tradisi Ojung sudah menjadi hiburan rakyat.

Senin 7 Noveber 2016, warga Desa Ramban Kulon, Kecamatan Cermee, Desa Ramban Wetan, Plalangan dan Grujugan, Kabupaten Bondowoso, menggelar acara ritual turun temurun dari para leluhurnya yang diberi nama "Selamatan Gugur Gunung".

Rangkaian acaranya, dimulai dari Istighatsah, pembacaan Tahlil, pembacaan doa, membacakan puji-pujian, makan bersama, dan pertandingan Ojung, sebagai simbol doa untuk meminta hujan jika kemarau tiba.

Pertandingan Ojung digelar di Komplek Makam (pesarean) Raden Imam Asy'ari, tepatnya di depan Masjid Baitur Rahman, Desa Ramban Kulon, Kecamatan Cermee, Kabupaten Bondowoso. 

Setar pukul 09.00 WIB, ratusan warga di desa setempat sudah berkumpul. warga yang hadir tak hanya dari satu desa. Namun dari banyak desa, seperti warga Desa Ramban Wetan, Plalangan dan Grujugan, bahkan hadir dari luar Bondowoso seperti dari Kabupaten Bondowoso.

"Selamatan Gugur Gunung ini adalah ritual rutin setiap tahunnya. Sudah warisan dari leluhur disini. Tujuannya, adalah ritual keselamatan dan mohon hujan," jelas Andre Mustofa, salah satu panitia kepada TIMES Indonesia.

Tradisi-Ojung-4DGowH.jpg

Prosesi ritual tersebut, masing-masing keluarga yang datang ke ritual itu tak lupa membawa 'nampan' yang sudah berisi Tumpeng dan aneka jenin kue atau jananan.

Apa yang dibawa warga itu langsung dikumpulkan disatu tempat yang sudah disiapkan panitia. setelah warga berkumpul, acara dimulai dengan 'Tawassul' yang dipimpin seorang tokoh agama dan dilanjutkan pembacaan Surat Yasin, Istighatsah, Tahlil, puji pujian serta doa.

"Acara dimulai dengan sangat religius. Karena jiwa agamis masyarakat tak bisa dilepaskan dengan tradisi yang ada," aku Andre. 

Setelah melangsungkan ritual religius, acara dilanjutkan dengan bagi-bagi Tumpeng kepada masing-masing warga yang hadir saat itu untuk di makan secara bersama-sama. 

"Saat itu terlihat nilai kebersamaan diantara masing-masing warga. Tumpeng dan jajanan yang dibawa warga ditukar dengan tumpeng lain yang juga dibawa warga, lalu di makan," kata pria lulusan salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta itu.

Tradisi-Ojung-58yUI.jpg

Disaat warga tengah asyik menikmati Tumpeng dan jajanan, Ritual seni Ojung mulai digelar. Para 'Jawara Ojung' mulai mempersiapkan diri untuk bertanding.

Secara teknis, seni Ojung dilakukan oleh dua orang pemain yang ditengahi oleh seorang wasit yang disebut "Babuto". 

Ketika wasit memberi aba-aba, semua peserta pun dengan tangkas saling memukul badan lawannya menggunakan rotan.

Pada saat memukul, peserta hanya boleh memukul lawannya pada bagian leher, dada, perut, lengan atas dan punggung. Selain itu, dalam permainan ini pesarta tidak boleh menusuk lawan dengan tongkat pemukul.

Para pemain ojung melakukan permainan sambil bertelanjang dada dan menari-nari mengikuti suara iringan musik. Kedua pemain saling mendekat dan mencari celah agar dapat menyabetkan (memukulkan) rotan ke dada dan punggung lawannya. Satu sabetan dihitung 1 poin.

Karena menggunakan media rotan, tentu saja sabetan-sabetan tersebut mengakibatkan luka-luka atau sobekan di kulit para pemainnya.

Konon, panasnya sekujur tubuh yang dialami dua orang yang bertanding, akibat lecutan rotan lawan itu diyakini akan mendatangkan rasa iba pada sang pemilik kehidupan untuk segera menumpahkan air hujan agar segala panasnya badan dapat terbasuh.

Bahkan, masyarakat percaya bahwa semakin banyak darah yang mengalir karena luka yang disebabkan oleh permainan tersebut maka akan semakin cepat terkabulnya doa meminta turunnya hujan.

"Peserta Ojung dibuka secara bebas tanpa harus mendaftar. Peserta pertama langsung masuk ke arena dan langsung memilih 1 buah rotan tanda menunggu penantang," jelas Andre.

Jika sudah datang peserta lainnya yang masuk arena. Secara otomatis pertandingan siap digelar. "Begitu sistem pertandingan Ojung."

Masing-masing perserta dibebaskan untuk memilih lawan tanding. Jika lawan cocok, bertandingan langsung digelar.

"Duel Ojung itu terdiri dari tiga babak. Babak pertama peserta bebas untuk memukul terlebih dahulu. Jika si A yang memukul terlebih dahulu, maka berikutnya adalah giliran si B. Begitu selanjutnya," beber Andre.

Petading yang paling banyak pukulan yang mengenai sasaran, dialah yang dinilai menang. "Masing-masing peserta, tak lupa beratribut sarung dan peci hitam penutup kepala yang ghalibnya dipasang menyamping," katanya. 

Dari penelusuran TIMES Indonesia dari banyak sumber, sejarah tradisi Ojung pada mulanya adalah yang muncul di pulau Madura, tepatnya Kecamatan Batopote, Kabupaten Sumenep. 

Ojung dipopulerkan di Madura sejak adanya 4 saudara yang mencari sumber air di waktu kemarau menimpa warga di Sumenep.

Karena tidak menemukan air, maka keeampat saudara itu melakukan ritual dengan bermain Ojung. Dengan bermain Ojung, akhirnya mereka menemukan sumber air di dekat mereka bertarung. 

Sejak saat itulah, seni Ojung terus menyebar secara turun temurun hingga menjadi kegiatan ritual tradisi masyarakat Madura. Warga Madura yang ada di luar Madura juga melestarikan tradisi Ojung. Seperti di Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Jember, Lumajang, Lamongan, Gresik, Tuban dan sekitarnya.

Lebih lanjut Andre menyampaikan bahwa "Selamatan Gugur Gunung" itu juga mendoakan dan mengenang perjuangan tokoh yang berjasa untuk desa setempat. Yakni sosok Raden Imam Asy'ari.

"Beliau (Raden Imam Asy'ari) adalah leluhur Desa berasal dari Demak. Kuat dugaan bahwa beliau adalah salah satu guru agama yang diutus atau disebar oleh kerajaan Demak dibawah komando Sunan Kalijaga," katanya.

Saat itu, kedatangan Raden Imam Asy'ari itu untuk menyeru dan mengajak penduduk Jawa untuk memeluk Islan pada periode kerajaan Demak berkuasa menggantikan guru-guru Hindu yang ada di desa-desa sejak periode kerajaan Majapahit.

"Beliau datang ke wilayah yang saat ini dikenal dengan nama Desa Ramban Kulon bersama seorang sahabat bernama Sayyid Abu Hasan yang berasal dari Aceh," aku Andre. 

Bahkan katanya, kuat dugaan Raden Imam Asy'ari adalah delegasi kerajaan Samudra Pasai. "Kedatang beliau berdua tentulah membawa misi penyebaran agama Islam di Nusantara sebagaimana sering disebut bahwa pada periode itu ada kongsi atau kerjasama tiga kerajaan Islam di Nusantara," jelasnya.

Tiga kerajaan Islam di Nusantara itu, dimungkinkan telah bersepakat untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara yaitu kerajaan Demak yang berpusat di Jawa, Samudra Pasai di Aceh dan Kerajaan Ternate di Sulawesi.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES