Penyadap Nira Bertaruh Nyawa dengan Ondo Lanang

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Menjadi penyadap nira atau getah aren secara tradisional merupakan pekerjaan berisiko tinggi karena harus memanjat pohon yang tingginya bisa mencapai 25 meter.
Semakin menegangkan ketika melihat kaki mereka meniti setiap pijakan tangga satu bambu, yang di Banyuwangi, Jawa Timur disebut 'ondo lanang'.
Advertisement
'Ondo lanang' adalah sebatang bambu yang diberi lubang kecil di atas setiap ruasnya, lalu disandarkan ke pohon dan diikat sehingga menempel tegak dengan pohon yang diikutinya. Orang yang ingin memanjatnya bisa mengandalkan ibu jari kaki yang dimasukkan ke lubang kecil untuk berpijak di sana. Penyadap bertaruh nyama pada ketahanan ruas bambu yang mereka pijak.
Mashuri (36), warga Dusun Rembang, Desa Banjar, Kecamatan Licin, Banyuwangi Jawa Timur merupakan penyadap nira termuda di kampungnya. Dia juga merupakan ketua kelompok produsen gula aren, memimpin 13 penyadap nira lain di kampungnya tersebut.
"Memang berisiko jatuh dari ketinggian pekerjaan ini, ya tapi memang sudah profesi ya, penghidupan memang dari sini," kata Mashuri kepada TIMES Indonesia, di kebun aren miliknya, Jumat (27/1/2017).
Sebelum dipotong dan dipasangi bambu penampung yang disebut 'gontang', papah atau dahan tempat keluarnya getah aren yang masih menanggung bunga dipukul dan digoyang berkali-kali setiap hari selama seminggu agar jalur gerak getah lancar saat disadap.
Di Desa Banjar itu, kegiatan memukul papah aren disebut 'malo' atau 'malu' karena aktifitasnya seperti orang memalu atau memukul menggunakan palu. Sedangkan menggoyang papah disebut 'ngayun' karena dilakukan dengan mengayunkan papah nira.
Mashuri bercerita, meski terlihat sederhana, namun banyak penyadap yang jatuh saat 'malo' dan 'ngayun' papah aren.
Saat menggoyang dan memukul papah, badan penyadap nira banyak bergerak dan hanya bergantung pada ondo lanang yang dipijak dan bilah bambu yang mengikat tubuhnya dengan pohon. Seringnya, jatuhnya penyadap nira karena sabuk bilah bambu yang diandalkan mengamankannya justru telah aus dan putus.
"Banyak dulu yang meninggal, banyak juga yang cacat bungkuk setelah jatuh. Kadang di bawah ada kayu yang tegak berdiri, pernah juga mengenai badan penyadap yang jatuh," cerita Mashuri.
Ayah dua anak itu sekarang memiliki 4 pohon produktif nira yang tumbuh secara liar di kebunnya. Saban hari juga, Mashuri memanjat pohon kelapa untuk meng 'eres' . 'Eres' merupakan istilah watga setempat untuk kegiatan mengiris ujung papah yang mulai mengering, agar getah terus mengalir lancar.
Empat pohon yang dimilikinya mampu menghasilkan 5 'gontang' (tabung bambu red.) setiap hari dengan di'eres' saat pagi dan sore. 5 gontang menghasilkan 8 hingga 9 kilogram gula aren yang memberinya rizki sekitar Rp 200 ribu per hari menyesuaikan harga pasar.
"Kami cetak kecil-kecil. Nanti ada penjual yang datang kemari ambil barang. Di kampung sini hanya 3 orang yang rutin memroduksi, yang lain hanya di bulan-bulan tertentu," pungkas Mashuri.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |