Peristiwa Daerah

Keluwesan Kebaya Majapahit Belum Dikenakan Wanita Sehari-hari

Kamis, 27 April 2017 - 18:41 | 87.41k
Kebaya bertema Geometri City karya Lenny Agustin di Festival Kebaya Banyuwangi 2017. (Foto: Humas Pemkab for TIMES Indonesia)
Kebaya bertema Geometri City karya Lenny Agustin di Festival Kebaya Banyuwangi 2017. (Foto: Humas Pemkab for TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kebaya merupakan pakaian wanita khas dari Kerajaan Majapahit yang kemudian menyebar ke seluruh pulau yang ditaklukkan sejak Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa, tahun 1336 masehi.

Kebaya kemudian dikenal di nusantara, di seluruh wilayah kekuasaan Majapahit, yang meliputi hingga Malaysia. Namun kini hanya wanita berusia lanjut yang mau berpakaian kebaya dalam kesehariannya, padahal kebaya juga cukup luwes untuk dikembangkan mengikuti mode dan kebutuhan berpakaian zaman ini.

Advertisement

Kepada TIMES Indonesia, Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma mengatakan, kebaya sebenarnya memiliki potensi besar dikembangkan karena bisa diadopsi ke pakaian berbagai suku, agama dan bangsa lain.

“Kebaya pakaian tradisi Majapahit, bahkan ada tipe klasik yang mirip banget dengan yang dulu. Kebaya bisa masuk ke semua budaya, bagi pengguna pakaian tertutup dan berhijab, yang kurang menerima mode, tetap bisa memakai kebaya. Bahkan pakaian China dan Korea juga bisa dipadukan dengan kebaya,” kata Ali, Kamis (27/4/2017).

Menurutnya kebaya harus dipopulerkan kembali kepada wanita, terutama yang muda, untuk menggali potensi budaya dan ekonomi di bidang fashion. Cara yang paling jitu menurutnya, harus dilakukan orang tua dengan memberi contoh berkebaya dalam keseharian mereka, sehingga putri-putri mereka akan meniru.

“Orang tua jangan kondangan saja pakai kebaya. Kita sadarkan yang muda bahwa kebaya budaya kita ini juga keren, jadi jangan lebih mencintai budaya pakaian barat daripada kebaya budaya kita sendiri,” imbuh Ali.

Ali juga menjelaskan, sebenarnya tidak ada masalah besar dalam pemakaian kebaya. Masalah model bisa menyesuaikan keinginan pemakai, masalah harga juga bisa mengikuti kemampuan pemesan dengan menyesuaikan jenis bahan.

Sementara itu desainer nasional Lenny Agustin mengatakan, memang ada sebagian wanita yang menganggap mengenakan kebaya itu ribet sehingga hanya dipakai di waktu-waktu tertentu saja. Anggapan itu kemungkinan datang dari beberapa pakem yang memang terkandung dalam pembuatan busana kebaya.

“Ini busana nasional, semua harus punya. Kita bisa sesuaikan dengan kebutuhan biar ‘gue banget’ pada masing-masing pengguna,” ujar Lenny.

Anggapan bahwa kebaya kuno juga dia tepis dengan karyanya yang bertema Geometri City yang tampil di Festival Kebaya Banyuwangi yang digelar minggu lalu. Busana-busana itu dikatakannya cocok juga untuk wanita karir di kantoran kota dengan menampilkan garis-garis tegas yang terinspirasi bangunan gedung kota dilengkapi bordir bunga agar terlihat feminin.

“Untuk bikin kebaya memang harus tahu pakem banget, misalnya warna, beff atau kutu baru, bawah lancip atau lurus, fokus di garis tengah badan, dada buka atau tutup, kerah boleh terbalik boleh tidak dan lengan ketat panjang. Kita tetap bisa kreasikan desain bajunya, setidaknya 70 persen masih mengikuti pakem sehingga bentuk kebayanya terlihat,” kata Lenny. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES