Ini Potensi di Sekitar PP Gontor Banyuwangi yang Kurang Dilirik

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Setelah digali, cukup banyak desa di Banyuwangi yang berpotensi. Salah satu potensi yang terpendam yakni wilayah Pondok Pesantren Gontor 5, Dusun Pekiwen, Desa Kaligung, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwnagi.
Jika Pemerintah Daerah jeli, sebenarnya tempat ini bisa dikelola sebagai miniatur Banyuwangi, dan tak kalah dengan Kampung Adat Desa Kemiren.
Advertisement
Jauh sebelum pemerintah menggalakkan program seribu Homestay, masyarakat setempat sudah menyewakan rumah-rumahnya sebagai tempat penginapan.
Dari 21 Homestay dengan 63 kamar yang ada di Dusun Pekiwen, bisa dipastikan penuh setiap akhir pekan. Padahal, harga sewa homestay disana tidak murah. Berkisar antara Rp 150 ribu hingga Rp 200 Ribu per kamar.
Menurut salah satu penjaga homestay, Titin (33), rata-rata kamar yang disewakan sudah dilengkapi AC, TV serta lemari standar hotel melati. Selain itu pemilik homestay juga menyediakan kamar tanpa AC dan cukup dengan kipas angin.
Saat ditanya apakah di homestay tersebut terdapat lukisan, foto atau media promosi tentang Banyuwangi, Titin menjawab rata-rata pemilik homestay tidak berfikir sampai sejauh itu. Sedang mengenai tingkat hunian homestay, Titin menjelaskan, hampir setiap hari ada saja tamu yang datang untuk menyewa.
“Ramainya setiap hari Jum’at, Sabtu dan Minggu. Karena dihari itu banyak wali santri yang datang menyambangi anak-anaknya. Rata-rata sewa kamar tiga hari,” ungkap Titin, Kamis (18/5/2017).
Diakui, keberadaan Kampus V Pondok Pesantern Modern Darussalam Gontor di desa Kaligung membawa manfaat luar biasa bagi warga setempat. Selain menjamurnya homestay, disekeliling pondok dengan ribuan santri dari seluruh Indonesia tersebut juga berjubel warung-warung makan dan toko peracangan.
“Banyak juga yang memiliki usaha penyewaan sepeda dayung, penyewaaan sepeda motor, penyewaan mobil, dan tukang ojek,” ujar Nanung (45), pemilik salon potong rambut.
TIMES Indonesia yang mewawancarai Zery Nurfita, salah satu wali santri asal Bekasi, pihaknya mengaku sedang jalan-jalan pagi bersama wali santri yang lain. Zery beserta ibu-ibu yang lain menunjukkan tas kresek berisi beberapa kemasan kripik singkong.
“Habis jalan-jalan aja dan beli camilan. Adanya ya ini, kripik singkong, jajanan tradisional yang lain tidak ada,” jelas Zery.
Warung makan, sambungnya, juga tidak menyediakan menu khas Banyuwangi seperti Rujak Soto, Sego Tempong dan Pecek Pithik. Yang ada hanya nasi pecel, nasi campur, rawon dan bakso yang notabene mudah didapat di daerah lain.
“Saya sudah empat kali kesini. Tapi tidak ada yang jualan. Saya sih ingin mencoba, kan makanan itu sudah terkenal,” tambahnya.
Sedangkan Ety Sumiyati, wali santri asal Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, mengaku kesulitan mencari tempat oleh-oleh khas Banyuwangi disekitar Pondok Gontor 5.
"Disini tidak ada tempat jualan oleh-oleh seperti kue, batik, kerajinan dan souvernir Banyuwangi. Padahal kita mau beli untuk oleh-oleh,” katanya.
Dia mengaku pernah minta diantarkan tukang ojek untuk beli oleh-oleh. Namun si tukang ojek menyampaikan bahwa tempatnya jauh dan harus ke kota. Sedangkan dia sendiri datang dan berangkat ke Banyuwangi melalui Bandara Blimbingsari.
Selama disana, mereka berdua mengaku lebih banyak diam di homestay. Meski sebenarnya mereka ingin jalan-jalan ke desa-desa sekitar pondok.
“Tidak ada guidenya, transportasinya adanya cuma ojek. Kalau jalan rame-rame sulit,” tambah Ety.
Dari pantauan TIMES Indonesia, di sekitar pondok memang jarang ditemui toko atau warung yang menjual souvenir dan masakan khas Banyuwangi. Kebanyakan pemilik hanya menjual aneka kebutuhan sehari-hari.
Padahal, menurut Muslih, tokoh setempat, desa Kaligung sebenarnya memiliki potensi UMKM yang bagus untuk dikembangkan dan dipromosikan.
Contohnya, sebagian besar masyarakat setempat berprofesi sebagai penjahit. Dan produksi tas made in Kaligung banyak membanjiri artshop-artshop di kawasan Kuta, Sanur dan Ubud, Bali, yang notabene menjadi jujugan turis dunia.
“Selain itu, masyarakat setempat juga lihai membuat kerajian souvernir dari monte yang dipasarkan diluar daerah,” tambah guru SMP Negeri 1 Srono itu. Bahkan, lanjut Muslih, di Desa Kaligung juga masih ada warga yang memiliki dokar dan bisa dimanfaatkan untuk berkeliling ke desa sekitar.
“Masyarakat berharap ada campur tangan pemerintah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki Pondok Gontor. Setidaknya wali santri yang berasal dari luar daerah bisa langsung menikmati berbagai kekayaan Banyuwangi,” pungkasnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Sholihin Nur |