Dakwah Syaikh Maulana Ishaq di Blambangan (2-Habis)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Atas pertolongan Syaikh Maulana Ishaq, akhirnya Dewi Sekardadu bisa disembuhkan dari penyakit yang hampir merenggut nyawanya. Setelah itu, secara sukarela Putri Adipati Menak Sembuyu itu menerima Islam sebagai agamanya. Sejak itu pula Dewi Sekardadu berganti nama menjadi Nyai Mas Ratu Atikah.
Keputusan memeluk agama Islam segera disusul oleh Adipati Menak Sembuyu, Permaisuri Ratu Mas Wijayeswari, Raden Karucil (Rshi Kandabhaya), Patih Arya Samboja, dan Nyai Ageng Pinatih (istri Patih Samboja), serta beberapa anggota keluarga Kadipaten Balumbung dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dipimpin Syaikh Maulana Ishaq.
Advertisement
Karena tidak ada paksaan dalam mengikuti ajaran Islam, Putra Mahkota Balumbung, Pangeran Siung Laut, tetap pada Dharma Jawa (Adwaya Kapitayan), keyakinan yang dianutnya. Mereka tetap rukun dan saling menghormati dharma masing-masing dan tidak pernah ada permasalahan meski berbeda agama satu sama lain.
Tak berselang lama setelah menjadi mualaf, Dewi Sekardadu ditakdirkan menikah dengan Syaikh Maulana Ishaq yang berjuluk Syaikh Wali Lanang. Sejak itulah Islam mulai diterima oleh sebagian rakyat Balumbung. Di Candibang (Timur Gunung Baluran), Syaikh Maulana Ishaq bertemu dengan Mpu Supo di rumah Mpu Pitrang, ahli membuat senjata terkenal di Balumbung.
Dari mereka itulah Syaikh Maulana Ishaq mendapat kabar tentang ketidaksukaan Senopati Bajul Seghara kepadanya.
Ternyata Sang Senopati Bajul Seghara selama ini berambisi menikahi Dewi Sekardadu agar dapat menguasai tahta Balumbung. Karena itulah, muncul niat jahat dari Sang Senopati tersebut untuk menyingkirkan Syaikh Maulana Ishaq.
Ratu Adi Pembayun
Senopati Bajul Seghara berupaya memfitnah Syaikh Wali Lanang dengan menculik Ratu Adi Pembayun, putri Pangeran Rajasawardhana Dyah Wijayakarana dari Majapahit yang sedang dalam perlajanan pulang dari kerajaan Gelgel-Bali. Iring-iringan kereta mereka dicegat di wilayah Balumbung.
Kabar penculikan Ratu Adi Pembayun tersebut segera terdengar di Kutharaja Trowulan, sehingga segera meminta pihak Balumbung untuk bertanggungjawab. Untuk menyelamatkan Ratu Adi Pembayun, Patih Arya Samboja dan Pangeran Maulana Ishaq diutus untuk menyelamatkan salah satu puteri Majapahit itu. Saat perang tanding menghadapi para penculik, Patih Arya Samboja gugur dan Syaikh Maulana Ishaq berhasil selamat.
Setelah Patih Arya Samboja gugur, Adipati Menak Sembuyu mengangkat Senopati Bajul Seghara menjadi Patih Balumbung yang baru dan mengangkat Pangeran Maulana Ishaq menjadi Senopati. Pengejaran kedua atas para penculik itu dipimpin langsung oleh Pangeran Maulana Ishaq dan Senopati Adhi Handayaningrat, utusan dari kutharaja Trowulan. Dengan bantuan dari Adhi Handayaningrat, akhirnya mereka dapat menyelamatkan Ratu Adi Pembayun.
Selanjutnya, karena tertarik pada kebaikan dan kesopanan Senopati Adi Handayaningrat, Adipati Menak Sembuyu mengusulkan agar menikahkan Adhi Handayaningrat dengan Ratu Adi Pembayun. Setelah masuk dalam keluarga inti kerajaan, Adi Handayaningrat diangkat sebagai Adipati Pengging (Ki Ageng Pengging I). Sejak itu hubungan Pengging dengan Balumbung menjadi sangat dekat dan akrab.
Padukuhan Giri
Setelah Patih Arya Samboja dimakamkan, istri mendiang sebenarnya akan dinikahi oleh Patih Balumbung yang baru, Bajul Seghara. Namun karena tak berkenan, dia memilih pindah ke Gresik bersama adiknya, Raden Arya Pinatih, dan menjadi pedagang beras disana. Kegagalan mendapatkan Nyai Ageng Pinatih kembali membuat Patih Bajul Seghara menuduh Syaikh Maulana Ishaq sebagai penyebabnya. Untuk kesekian lainya Bajul Seghara memiliki kesempatan untuk menyingkirkan saingannya itu.
Mengikuti saran Mpu Pitrang, Syaikh Maulana Ishaq mengalah dan membawa istrinya, Dewi Sekardadu pergi keluar kutharaja Balumbung untuk membuka pemukiman baru di pedalaman selatan. Mereka sempat singgah di Watudodol beberapa hari untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT, agar ditunjukkan daerah yang tepat untuk membuka sebuah pemukiman baru. Saat itu, Syaikh Maulana Ishaq ditemani oleh Pangeran Karucil (Rshi Kandabhaya).
Sekitar tahun 1460, Syaikh Maulana Ishaq pindah ke wilayah selatan bersama Dewi Sakardadu dan Pangeran Karucil dengan diikuti oleh beberapa muridnya. Mereka babat alas untuk ‘membuka’ pemukiman baru di selatan Gunung Watudodol di utara Rogojampi. Daerah yang baru dibuka itu kemudian diberi nama Padukuhan Giri yang dalam bahasa Kawi berarti ‘gunung’ atau ‘raja’.
Rupanya di daerah baru itu Syaikh Maulana Ishaq dapat menjadi penghubung antara Balumbung dengan Kerajaan Gelgel, Bali, yang saat itu ingin memerdekakan diri dari persemakmuran Majapahit. Atas saran dari Syaikh Maulana Ishaq, Raja Gelgel, Dalem Ketut Ngulesir dan puteranya Dalem Waturenggong membatalkan niat memerdekakan diri dari Majapahit.
Karena perannya itulah, Syaikh Maulana Ishaq semakin dekat dengan keluarga kerajaan sehingga semakin menimbulkan rasa dengki di hati Patih Bajul Seghara. Karena dendam, Bajul Seghara mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Syaikh Maulana Ishaq.
Sunan Giri (Raden Paku)
Pada akhirnya, Syaikh Maulana Ishaq mengalah dan memilih meninggalkan Balumbung untuk kembali ke Passai, Aceh. Dia membawa segenggam tanah Balumbung dari Padukuhan Giri sebagai kenang-kenangan untuk mengingat istri dan jabang bayi yang masih dalam kandungan istrinya.
Sebelum berangkat, Syeikh Maulana Ishaq berpesan kepada Nyai Mas Ratu Atikah (Dewi Sekardadu) yang kala itu sedang mengandung tujuh bulan agar jika anaknya kelak lahir laki-laki diberi nama ‘Raden Fathu’ dan dikirim untuk dititipkan kepada keponakannya, Ali Rahmad (Susuhunan Ampel, Sunan Ampel) di Padepokan Ampel Denta.
Sedangkan kepada Rshi Kandabhaya (Pangeran Karucil), Syaikh Maulana Ishaq berpesan bahwa kelak akan datang seorang penyebar agama Islam pengganti dirinya di tanah Balumbung dengan cara yang tidak sama dengan para penyebar agama Islam yang lain. Pangeran Karucil disarankan agar ber-bai’at menjadi pengikutnya.
Dua bulan setelah meninggalkan Balumbung, seorang bayi laki-laki lahir. Sebagaimana wasiat Maulana Ishaq, oleh Dewi Sekardadu, putra tunggalnya itu kemudian dinamai Raden Fathu, dan logat Jawa menyebutnya Raden Paku. Dalam bahasa Arab, kata Fathu berarti Pembuka. Yang artinya, bayi itu lahir di daerah Balumbung yang pertama dibuka Syaikh Maulana Ishaq atau daerah yang pertama terbuka menerima ajaran Islam. (Selesai). (*)
Penulis : Mas Aji Wirabhumi, Komunitas Banjoewangi Tempo Doeloe, Blambangan Kingdom X-Plorer
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Sukmana |