Dakwah Syaikh Siti Jenar di Blambangan Tahun 1467 dan 1490

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada tahun 1463, San Ali (putera angkat Sri Mangana atau Pangeran Walang Sungsang Cakrabhuwana Caruban) bersama sahabatnya, cucu Raja Sunda (Pajajaran), Pangeran Syarif Hidayatullah (1448-1568) kembali dari pengembaraannya dengan menyandang nama baru, Syaikh Datuk Abdul Jalil (Syaikh Siti Jenar).
Sesampainya di Padepokan Giri Amparanjati Caruban, Syaikh Datuk Abdul Jalil langsung diminta mengajar oleh pamannya, Syaikh Datuk Kahfi (Syaikh Nurjati).
Advertisement
Diantara murid-murid angkatan pertama Syaikh Datuk Abdul Jalil adalah; Pangeran Syarif Hidayatullah (kelak Susuhunan Gunung Jati), Ruhuddiin Sahid (kelak Susuhunan Kalijaga), putra dari Arya Teja II, Adipati Tuban (keturunan Ranggalawe), dan Ruhuddiin Qashim (kelak Susuhunan Drajad) putera dari Susuhunan Ampel Denta.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1465, Syaikh Datuk Abdul Jalil mulai berkeliling Nusa Jawa dari ujung barat di Banten Girang ke ujung timur di Balumbung (Blambangan) untuk membangun dusun-dusun bercitra Caturbhasa Mandala; Lemah Abang, Lemah Ireng, Lemah Kuning (atau Siti Jenar), dan Lemah Putih. Dusun-dusun itu digunakan sekaligus sebagai benteng ruhani dan basis gerakan spiritual yang digagasnya.
Di kutharaja Trowulan, putera Bhre Pandanalas III, Singawikramawardhana Dyah Suraprabha, yakni Pangeran Lembu Mirunda Dyah Agnisraya menyatakan madikshawidhi menjadi murid Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Dengan adanya putera mahkota Majapahit di barisan Syaikh Datuk Abdul Jalil, maka para pemimpin di negeri-negeri Jawa banyak yang mendukung gerakan ini.
Syaikh Datuk Abdul Jalil meneruskan perjuangan Dang Hyang Semar yang selamanya akan berhadapan dengan pengikut Sang Kere dan Sang Idajil. Yaitu orang-orang yang sangat rakus, tamak, serakah, kejam, buas, egois, serta memuja nafsu diri sendiri.
Karena itu perjuangan Dang Hyang Semar tidak akan pernah berhenti. Ajaran Dang Hyang Semar dan Syaikh Datuk Abdul Jalil sama, yaitu untuk menjaga dan melindungi manusia-manusia Jawa dari serangan bangsa asing pengikut Sang Kere dan Sang Idajil yang akan segera datang ke Nagara Jawa.
Untuk itu, Syaikh Datuk Abdul Jalil harus tanpa lelah berkeliling Jawa Dwipa untuk membangun benteng iman yang terwujud dalam titik-titik mikrokosmos desa-desa bercitra Caturbhasa Mandala.
Melengkapi struktur makrokosmos Cakrawala Manggala Jawa; kiblat papat kalima pancer yang sedang dilaksanakan oleh para pemimpin Nagara Jawa.
Caturbhasa Mandala di Bang Wetan
Dari kutharaja Trowulan, Syaikh Datuk Abdul Jalil melanjutkan perjalanan ke timur, di Pasuruhan (Pasuruan). Dia bertemu dengan Rshi Dwijendra (Dang Hyang Nirartha) putera Maha Rshi Punarjanma.
Dang Hyang Nirartha akhirnya juga Madikshawidhi menjadi muridnya namun tetap dalam Dharma Jawa (Adwaya Kapitayan) tidak lantas berpindah ke Dharma Rasul.
Perjalanan selanjutnya memasuki wilayah Mandala Wirabhumi. Di daerah Banger, Syaikh Datuk Abdul Jalil sempat singgah di daerah kekuasaan Bhre Wirabhumi IV, Dyah Pureswari untuk membuka beberapa desa baru bercitra Caturbhasa Mandala di; Rondokuning dan Pakuniran (keduanya adalah citra Lemah Kuning).
Selanjutnya di wilayah Patukangan, dia membuka desa, yakni Desa Maskuning (citra Lemah Kuning) di kaki sebelah barat Gunung Bayu dan Desa Tanahmerah (citra Lemah Abang) di kaki utara Gunung Bayu.
Memasuki wilayah Kadipaten Balumbung pada tahun 1467, Syaikh Datuk Abdul Jalil bersama Danghyang Nirartha dan Pangeran Karucil (Rshi Kandabhaya) menemui Adipati Siung Laut (Menak Sopal), guna meminta ijin membuka beberapa desa baru bercitra Caturbhasa Mandala di Balumbung.
Rupanya Adipati Siung Laut tidak keberatan, dia justru ikut mendampingi proses membuka desa-desa sebagai hunian baru bercitra Caturbhasa Mandala di Bumi Balumbung, yaitu di; Candibang, Banyuputih, Macanpethak, Lemahbang, Palkuning, dan Parang Ireng.
Selanjutnya, Syaikh Datuk Abdul Jalil memperkenalkan perubahan gelar bagi pemimpin Wiyasa dan Kabuyutan dari semula disebut Buyut diubah menjadi Ki Ageng (di daerah Pantai Utara) atau Ki Gede (di daerah Pedalaman).
Jabatan Rama sebagai penguasa Karaman diubah menjadi Ki Lurah. Saat itu, Pangeran Karucil alias Rshi Kandabhaya menjadi Mangkubumi pertama di Samidha Lemahbang bergelar Ki Gede Banyuwangi.
Setelah cukup lama bergaul, ternyata ada kecocokan Adipati Siung Laut (Menak Sopal) dan kemudian berguru kepada Syaikh Datuk Abdul Jalil. Bagi Ki Gede Banyuwangi, inilah bukti bahwa nasihat gurunya, yaitu Syaikh Maulana Ishaq akan kedatangan penyebar Dharma Rasul baru di Bumi Balumbung adalah nyata.
Dari Balumbung, Syaikh Datuk Abdul Jalil kembali ke barat melalui daerah pedalaman wilayah Lamajang. Dia memohon ijin kepada Adipati Lembu Mirunda Dyah Agnisraya untuk melanjutkan pembukaan hunian bercitra Caturbhasa Mandala dan upacara Bhumisoddhana guna memasang tawar daya sakti (tumbal) penyucian Ibu Pertiwi Nusa Jawa di lereng Gunung Semeru.
Tepatnya di Desa Sarikemuning (citra Lemah Kuning), dan Desa Batu Putih (citra Lemah Putih). Juga desa-desa di kaki selatan Gunung Argapura, yaitu di Desa Kemuningsari Lor (citra Lemah Kuning), dan Desa Kemuning di Kertonegoro Jenggawah (citra Lemah Kuning. (*) (Bersambung)
* Penulis adalah Mas Aji Wirabhumi, Komunitas Banjoewangi Tempo Doeloe, Blambangan Kingdom X-Plorer. Sumber : Suluk Balumbung.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Sholihin Nur |