Peristiwa Daerah

Kiai Ali Manshur dan Sholawat Badar yang Mendunia

Jumat, 13 Oktober 2017 - 15:55 | 268.43k
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU di Banyuwangi. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU di Banyuwangi. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Sholatullah salamullah alaa thoha rosulillah. Sholatullah salamullah alaa yasin habibillah. Tawasalnaa bibismillah wa bil hadi Rosulillah. Wa kulli mujahidillillah bi ahli-l-badriya Allah".

Penggalan syair di atas adalah 4 bait pertama dari 24 bait ash-Sholawat al-Badriyah atau lebih dikenal dengan sholawat badar. Sholawat yang tiap baitnya terdiri dari dua baris itu, begitu populer. Semua kalangan membacanya.

Tak hanya kalangan santri saja, bahkan sudah merambah pada genre musik pop sebagaimana yang dibawakan oleh grup band Wali. Tak hanya di Indonesia, sholawat badar juga dikenal di berbagai belahan dunia Islam. Setiap musim haji, tak sedikit orang-orang Arab maupun Negroit yang menyenandungkannya. Sholawat ini pun juga termuat dalam kitab Majmu'atu Maulid wa Ad'iyah yang telah mendunia.

Keistimewaan sholawat yang berisi puja-puji kehadirat Nabi Muhammad SAW dan para sahabat ahli badar yang mendunia itu, ternyata tidak terlepas dari Banyuwangi. Pengarangnya ialah Ketua Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Banyuwangi tahun 1960-an, Kiai Ali bin Kiai Manshur bin Kiai Shiddiq atau karib disapa Kiai Ali Manshur.

Kiai Ali Manshur memiliki garis keturunan berdarah ulama besar dari dua jalur kakeknya. Dari pihak ayah, tersambung dengan Kiai Shiddiq Jember yang melahirkan juga beberapa tokoh Nasional, seperti Kiai Mahfud Shiddiq (Ketua PBNU) dan Kiai Achmad Shiddiq (Rois Aam PBNU). Begitula dari jalur ibu, Kiai Ali tersambung dengan Kiai Basyar, salah seorang ulama terkemuka di Tuban. 

Kiai Ali sendiri dilahirkan di Jember pada 23 Maret 1921. Terlahir di keluarga pesantren, ia pun tumbuh di lingkungan pesantren. Masa kecilnya dididik langsung oleh kedua orang tuanya di Jember. Seiring bertambahnya usia, Ali muda pun belajar dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai dari Pesantren Termas Pacitan, Pesantren Lasem hingga Pesantren Lirboyo.

Pengalaman nyantri dari berbagai pesantren besar di Jawa itu, mencetak Ali muda menjadi ahli ilmu yang mumpuni. Salah satu bidang yang dikuasainya adalah ilmu Arud, yaitu cabang keilmuwan dalam bahasa Arab yang mengupas tentang syair. Kelak ilmu ini yang menjadi bekalnya untuk mengarang sholawat badar.

Seusai nyantri di beberapa pesantren tersebut, Kiai Ali kembali ke kampung halaman ibunya di Tuban. Di sana ia aktif di Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Selain itu, saat masa revolusi kemerdekaan, Kiai Ali juga aktif terlibat melawan NICA di bawah bendera Laskar Hizbullah.

Pasca masa-masa genting revolusi itu, Kiai Ali menjadi salah seorang pegawai di bawah Kementerian Agama. Tepatnya, menjadi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan hingga promosi menjadi Kepala Kementerian Agama (Kemenag) di tingkat kabupaten. Aktivitasnya di Kemenag inilah, yang dikemudian hari membuatnya melanglang daerah. Mulai dari Besuki, Bali, Sumbawa, hingga Banyuwangi.

Tak hanya berkutat di Kemenag, Kiai Ali juga aktif di kepengurusan Nahdlatul Ulama di setiap tempatnya bertugas. Bahkan, pada 1955, saat menjabat di Bali, Kiai Ali terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Partai NU Cabang Bali. Hal yang sama saat ia pindah ke Banyuwangi pada 1962. Ia pun dipercaya menjadi Ketua Cabang NU Banyuwangi.

Selama berkiprah di Banyuwangi inilah, Kiai Ali melahirkan karya fenomenal sholawat badar tersebut. Selama bertugas di Banyuwangi, ia tinggal di Kelurahan Karangrejo, di kompleks kediaman Haji Mahfudz, salah seorang tokoh NU Banyuwangi. Di tempat ini pula, Kiai Ali menuliskan karyanya itu.

Dalam berbagai literatur, diceritakan proses penulisan sholawat badar berawal dari sebuah mimpi. Ia dalam mimpinya didatangi banyak orang yang mengenakan jubah warna putih dan hijau. Di saat yang bersamaan, istrinya juga mimpi bertemu dengan Rosulullah. Mimpi mistis itu pun ia tanyakan kepada ulama ahli ma'rifat di Banyuwangi, Habib Hadi al-Haddar.

Habib Hadi menjelaskan, bahwa orang-orang dalam mimpinya itu adalah para ahli badar, yakni para sahabat yang terlibat dalam Perang Badar. Perang terbuka pertama yang dilakukan oleh umat Islam pada tahun kedua hijriyah melawan kaum kafir Quraisy. Umat Islam di bawah kepemimpinan Rosulullah langsung berhasil menang. Meski secara matematis jumlah pasukan muslim hanya sepertiga dari kekuatan musuh.

Atas mimpinya itu, Kiai Ali tergerak untuk membuatkan sholawat kepada Kanjeng Nabi dan para ahli badar itu. Setelah karangan tersebut, selesai, ada keajaiban lagi. Pagi harinya, tiba-tiba tetangga Kiai Ali berdatangan ke kediamannya. Mereka membawa berbagai macam makanan. Konon, ada seorang berjubah putih yang mendatangi mereka satu per satu. Ia meminta kepada masyarakat untuk membawa makanan kepada Kiai Ali karena akan ada acara di rumahnya.

Mendapatkan hal demikian, Kiai Ali terkejut. Ia merasa tak memiliki agenda untuk menyelenggarakan suatu acara apapun di rumahnya. Namun, kebingungan Kiai Ali tak berlangsung lama. Ia kedatangan rombongan tamu para habaib dari berbagai kota. Rombongan tersebut dipimpin langsung oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsy dari Kwitang Jakarta. Mereka di antar oleh Habib Hadi al-Haddar.

Belum sirna ketertegunan Kiai Ali, mulai soal makanan hingga kedatangan rombongan tamu istimewa itu, ia kembali dikejutkan dengan pertanyaan Habib Ali Kwitang. Habib besar di ibu kota itu, menanyakan perihal sholawat yang Kiai Ali anggit. Tentu saja ia terheran, karena sholawat tersebut baru saja ia tulis dan masih belum dibacakan kepada khalayak ramai. Tapi, kok Habib Ali yang berjarak ribuan kilometer itu sudah mengetahuinya.

Kiai Ali pun membacakan sholawat karangannya yang tak lain sholawat badar itu, dihadapan para tamu istimewanya tersebut. Ternyata Habib Ali begitu tertarik dengan sholawat itu. Ia pun mengundang Kiai Ali ke Jakarta untuk membacakannya di majelisnya di Kwitang. 

Undangan tersebut dipenuhi oleh Kiai Ali. Sholawat tersebut dibaca dihadapan para ulama dan ribuan jamaah yang memenuhi majelis tersebut. Saat itu, juga hadir Ketua Umum PBNU KH. Idham Chalid. Maka, semenjak itu, sholawat badar mulai dikenal masyarakat luas.

Sholawat badar yang dapat diaransemen dengan irama rancak itu pun semakin populer pada pertengahan dekade 60-an. Persaingan politik antara NU dengan beberapa partai politik kompetitornya, seperti PNI dan PKI, merambah ke berbagai hal. Tak hanya soal politik, tapi juga dalam ranah kebudayaan.

Jika PKI dengan Lekra-nya menjadikan Genjer-Genjer sebagai lagu utama dalam berbagai acaranya, maka NU dengan Lesbumi-nya menjadikan sholawat badar sebagai lagu penyemangatnya. Ketegangan yang terjadi hampir di seluruh persada tanah air itu, membuat gaung sholawat badar menggema dengan cepat ke berbagai tempat.

Dikemudian hari, sholawat badar ditetapkan menjadi "mars" Nahdlatul Ulama. Dalam keputusan Muktamar ke-28 NU di Krapyak, Yogyakarta hal tersebut ditetapkan. Hal tersebut ditegaskan kembali oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ketua PBNU pada Muktamar ke-30 di Lirboyo Kediri. Pada Harlah ke-91 NU, Kiai Ali juga dianugerahi tanda jasa Bintang Kebudayaan atas prestasinya menganggit sholawat badar tersebut.

Kembali kepada Kiai Ali, sebagaimana penuturan putranya, Gus Nasih, merupakan seorang yang gemar mengamalkan sholawat. Tak pernah lisannya berhenti bersholawat di kala diamnya. Kiai yang senantiasa berpenampilan perlente itu, menjadikan sholawat sebagai wiridnya. Atas amaluahnya itulah, seringkali Kiai Ali diliputi dengan hal-hal yang di luar logika manusia.

Dalam sebuah perjalanan, Kiai Ali mengendarai dokar atau kereta kuda. Selain Kiai Ali dan kusirnya, turut pula KH. Harun Abdullah. Mereka bertujuan menghadiri acara NU yang digelar di Banyuwangi selatan (NU Blambangan). Di tengah perjalanan, ternyata jembatan ambruk sehingga dokar tak bisa menyebrangi sungai.

Menghadapi kejadian tersebut, Kiai Ali meminta semua penumpang termasuk kusirnya untuk memejamkan mata sembari membaca sholawat. Di luar nalar normal, tiba-tiba dokar lengkap dengan kuda dan penumpangnya telah tiba di seberang jembatan rusak tersebut.

Terlepas dari kebenaran cerita tersebut, memang memperbanyak membaca sholawat itu, merupakan anjuran dan kesukaan Allah SWT. Jadi, tak heran, bagi orang yang senang membacanya ajan diberikan 'previlage' oleh Allah yang tak diberikan kepada kebanyakan hamba-Nya yang lain. Seperti halnya kepada Kiai Ali yang tak hanya membaca tapi juga menulis sholawat. Mari memperbanyak membaca sholawat. (*) 

Penulis adalah Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU di Banyuwangi.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin
Sumber : TIMES Banyuwangi

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES