Peristiwa Daerah

Kiai Muhammad Thohir, Santri Kelana dari Trenggalek untuk Banyuwangi

Jumat, 26 Januari 2018 - 11:31 | 355.55k
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU. (FOTO: TIMES Indonesia)
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU. (FOTO: TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Salah satu tradisi di kalangan pesantren adalah berkelana dari satu pesantren ke pesantren. Bahkan antarpesantren tersebut terpaut jarak yang cukup jauh. Biasanya santri yang menjalani laku demikian disebut sebagai santri kelana.

Santri kelana tersebut, ada yang kembali ke kampung kelahirannya. Tak sedikit pula yang tinggal dan menghabiskan sisa hidupnya di tempat terakhir ia menuntut ilmu. Salah satu santri kelana yang melakukan hal demikian adalah KH. Muhammad Thohir.

Advertisement

Kiai Thohir adalah seorang santri yang terlahir di pedalaman Kabupaten Trenggalek. Ia merupakan putra dari Mbah Munshorif. Bapaknya bukanlah seorang ulama ataupun memiliki darah ningrat. Ia hanya seorang petani biasa yang taat beribadah. Selain itu, ia memiliki keinginan kuat untuk menjadikan anak-anaknya sebagai seorang ahli ilmu, terutama ilmu agama.

Dorongan dari orang tuanya yang begitu besar membuat Thohir muda menjadi penuntut ilmu yang gigih. Ia nyantri berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain di tanah Jawa. Dengan semangat itu pula, mengantarkannya belajar di Pesantren Darus Sholah, Desa Tegalpare, Kecamatan Muncar, Banyuwangi. Lebih dari 470 KM jarak yang memisahkan antara kampung halamannya dengan tempat nyantri-nya tersebut.

Di Pesantren Darus Sholah, Thohir belajar langsung kepada KH. Mansur. Ia adalah seorang kiai kharismatik yang menjadi pendiri pesantren tersebut. Di bawah asuhan santri Kiai Mansur, Thohir tumbuh menjadi santri yang unggul. Tak hanya dikenal sebagai santri yang cerdas, tapi juga diketahui sebagai santri yang memiliki akhlak dan sikap yang luhur. Tak butuh waktu lama, ia pun menjadi santri yang menonjol dan dicintai oleh gurunya.

Bukti kecintaan gurunya tersebut kepada Thohir, terbukti pada 1956. Saat itu, ia dinikahkan dengan salah seorang putri Kiai Manshur, yakni Neng Tazkiyah. Dari pernikahan tersebut, Thohir dikaruniai empat belas anak. Salah satunya adalah Anas Thohir yang saat ini menjadi anggota DPR RI dari fraksi PPP.

Meski telah menjalin hubungan rumah tangga, Thohir muda tak lantas surut dalam menuntut ilmu. Atas ijin dari istri dan juga mertuanya, Thohir kembali melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tebuireng. Di pesantren yang didirikan oleh KH. Hasyim Asyari tersebut, ia menyempurnakan keilmuannya, terutama dalam ilmu fiqih.

Tradisi menuntut ilmu setelah menikah pada saat itu, bukanlah hal yang tabu. Bahkan, tak sedikit yang justru didorong oleh mertua ataupun istrinya sendiri. Pertalian rumah tangga hanya menjadi pengikat hubungan yang tak lantas serta merta diwajibkan untuk menafkahi kesemuanya. Hal ini semata-mata untuk memberi kesempatan kepada menantunya mencapai kadar keilmuan yang maksimal. Biasanya, sang mertua berharap kepada menantunya tersebut, bisa melanjutkan kiprah dari mertuanya itu sendiri. Seperti melanjutkan tongkat estafet mengurus pesantren.

Ternyata hal tersebut juga berlaku pada Thohir. Ketika pada dekade 1960-an, Kiai Masrur mangkat, ia didapuk menjadi penggantinya. Kepemimpinan Pesantren Darus Sholah pun dilanjutkan oleh Kiai Thohir. Di masa ia memimpin, pesantren tersebut berkembang cukup pesat. Tak hanya pendidikan salaf, tapi juga merambah kependidikan formal. Bahkan, hingga jenjang Madrasah Tsanawiyah.

Kiprah Kiai Thohir tak hanya berkutat di pesantren. Tapi juga berkiprah di bidang sosial kemasyarakatan. Salah satunya di Nahdlatul Ulama Banyuwangi. Ia berkiprah sejak muda. Mulai menjadi pengurus GP Ansor, Pengurus Ranting NU Tegalpare, Pengurus LP Maarif, Katib Syuriyah hingga pada tahun 1980 beliau terpilih sebagai Rais Syuriyah PCNU Banyuwangi. Bahkan, jabatan rais tersebut diemban hingga akhir hayatnya pada 1991.

Kiprahnya di NU tersebut, mengalami dinamika seiring perkembangan zaman. Pada masa Gestapu, misalnya, kediaman Kiai Thohir tak luput dari kepungan kelompok PKI. Begitupula pada masa Orde Baru, pernah juga digeruduk oleh massa Golkar yang sedang kampanye. Maklum, Kiai Thohir selain menjadi pengurus NU juga menjadi politisi PPP.

Di dunia politik sendiri, Kiai Thohir tercatat empat periode menjadi anggota legeslatif mewakili PPP di DPRD Banyuwangi. Bahkan, ia pernah menjadi wakil ketua DPRD di periode terakhirnya di legeslatif. Namun, pasca Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984 dan memutuskan untuk kembali ke Khittoh 1926, Kiai Thohir mengundurkan diri dari politik praktis. Ia memilih fokus membimbing umat ketimbang larut dalam dunia politik.

Peran Kiai Thohir dalam mengemban amanah mendidik umat tersebut, selain di NU, juga melalui MUI Banyuwangi. Ia menduduki jabatan pada jajaran ketua hingga akhir hayatnya. Ia juga banyak menginisiasi lembaga pendidikan. Diantaranya adalah MAN Banyuwangi. Selain itu, beliau bersama Kiai Zarkasyi Djunaidi, ia juga merintis Institut Agama Islam Ibrahimy Genteng.

Di tengah aktivitas sosial kemasyarakatannya yang padat, adu satu hal yang menarik dan patut diteladani dari Kiai Thohir. Sebagai seorang pecinta ilmu, ia merupakan sosok yang tekun dalam mengkaji kitab kuning. Terutama dalam menelaah kitab-kitab fiqih. Dalam berbagai forum bahtsul masail, beliau aktif. Di MMPP (Majelis Musyawarah Pengasuh Pesantren) yang diadakan tiap empat bulan, Kiai Thohir tercatat sebagai perumus dalam forum bahtsul masail yang diselenggarakan di majelis tersebut. 

Kehebatan Kiai Thohir dalam menyeimbangkan antara aktivitas kemasyarakatan yang padat dan kegandrungannya menelaah kitab itu, memantik kekaguman teman sejawatnya, KH. Mukhtar Syafaat. Pendiri Pesantren Darussalam itu, menjulukinya sebagai kiai yang "pikirane loro". Yaitu, kiai yang memiliki pemikiran ganda: kemasyarakatan sekaligus keilmuan. Atau dalam bahasa saat ini, tak hanya memiliki intelectual quotient (IQ), tapi juga memiliki emotional quotient (EQ). Bahkan, sebagai seorang ulama, ia juga memiliki kapasitas spritual quotient (SQ). (*)

*Penulis adalah  Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES