Penemuan Batu Neolithikum di Banyuwangi Perlu Perhatian Pemkab

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Komunitas pegiat sejarah Blambangan Kingdom X-plorer (BKX) melakukan ekspedisi di wilayah peradaban kuno di Dusun Watugong, Desa Wonosobo, Kecamatan Srono dan di Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, pada Minggu (22/4/2018) lalu.
Komunitas yang aktif melakukan penelitian sejarah di wilayah Tapal Kuda, Jawa Timur ini sebelumnya telah mendapat informasi tentang keberadaan situs di dua desa tersebut.
Advertisement
Tim BKX pertama kali mendatangi Desa Wonosobo, tepatnya di Dusun Watugong yang menyimpan situs berbentuk seperti gamelan Gong.
Masyarakat setempat mengaku sering mendengar suara gamelan pada malam-malam tertentu yang diduga bersumber dari tempat ditemukan situs Batu Gong (Watu Gong).
Meski kebenaran sumber suara itu hingga kini masih menjadi misteri. Namun, warga tetap meyakini suara gamelan misterius tersebut berasal dari situs Watu Gong yang berada di sekitar lahan tegalan milik warga.
Warga menyebut situs Watu Gong karena saat ditemukan bentuknya menyerupai alat gamelan gong dari yang berukuran kecil hingga besar.
"Dahulu di sini memang ada batu-batu berbentuk seperti alat musik gong." tutur Kang Jul, budayawan setempat, Senin (30/4/2018).
Kang Jul menjelaskan, pemberian nama ‘Watu Gong’ oleh masyarakat setempat karena pada bagian atas batu alam yang cukup besar itu terdapat sebuah “pentol” atau bulatan yang berbentuk seperti gong, sebuah alat musik tradisional Jawa yang juga memiliki sebutan ‘bende’.
Sementara itu, anggota BKX, Aji Wirabhumi mengatakan, jika merujuk pendapat dari sejarawan MM Sukarto Karto Atmodjo, ‘Batu Gong’ termasuk peninggalan era Neolithikum yang kemudian melahirkan kebudayaan Megalithikum (bangunan dari batu besar).
“Penggunaan batu itu sebagai kelengkapan dari ritual prasejarah. Artinya, watu gong lebih tua dari era Kerajaan Blambangan, walaupun mungkin masih dilanjutkan penggunaannya di era Blambangan tersebut,” tandas Aji Wirabhumi.
Aktivis sejarah Banyuwangi, Nur Wahid berharap kepada warga agar turut menjaga benda-benda purbakala. Karena benda-benda bersejarah sudah diatur dalam Undang-undang.
“Jika merusak (benda bersejarah) termasuk pelanggaran Undang-undang. Pemahaman soal itu harus diketahui warga agar turut menjaganya. Beruntung benda purbakala di sini sudah diamankan oleh pemerintah,” ungkap Nur Wahid.
Selesai mengunjungi Watugong, tim BKX menuju ke lokasi kedua, di tengah area persawahan Desa Aliyan. Di lokasi tersebut terdapat sebuah batu yang salah satu sisinya rata dengan sebuah lubang.
Masyarakat biasa menyebut batu seperti ini dengan nama Batu Lumpang (Watu Lumpang).
Tepat d seberang sungai dari titik pertama, juga terdapat sebuah batu besar dengan lubang bulat presisi. Warga sekitar juga menyebut batu berlubang tersebut sebagai Watu Lumpang.
Batu-batu tersebut dalam kondisi berserak begitu saja di sawah-sawah milik warga. Sampai saat ini, belum diketahui apa fungsi dan kegunaan watu lumpang tersebut.
Pemerhati budaya Banyuwangi, Pribadi FD menjelaskan, hingga saat ini belum ada yang tahu persis fungsi watu lumpang yang memiliki lubang begitu bulat dan presisi.
Temuan Watu Gong dan Watu Lumpang di Banyuwangi adalah fakta peristiwa sejarah yang cukup penting pada masa lalu yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Apa yang telah diwariskan oleh para leluhur, meskipun hanya seonggok batu andesit, tapi bisa mengungkap suatu peristiwa penting,” jelasnya.
Tim BKX berharap pemerintah Kabupaten Banyuwangi serius menyelamatkan dan melestarikan benda-benda cagar budaya tersebut. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rochmat Shobirin |