Memprihatinkan, Beberapa Janda Tua di Malang Hidup di Kandang Sapi

TIMESINDONESIA, MALANG – Di balik keramaian Gunung Tumpuk, di Desa Sidoluhur, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur sebagai tempat take off olah raga paralayang, ada cerita pedih tentang kehidupan.
Kehidupan masyarakat yang mendiami dusun di bawahnya sangat memprihatinkan. Di Dusun Gunung Tumpuk ada puluhan janda tua yang hidupnya memprihatinkan.
Advertisement
Di dusun yang terletak sekitar 15 kilometer dari Singosari itu,- dusun itu memang lebih dekat ditempuh dari Singosari meski termasuk wilayah Lawang-, kemiskinan membuat mereka hidup apa adanya dan menempati tempat tinggal tak layak huni.
Beberapa diantaranya hidup dan tinggal di kandang sapi sekaligus diapit kandang sapi.
Warga yang hidup di bawah garis kemiskinan ini digolongkan mulai dari golongan 1 hingga golongan tiga.
Golongan 1 atau sangat miskin sekali ada lima orang, golongan 2 atau miskin tapi masih bisa bergerak tercatat ada 20 an orang, dan golongan 3 yakni miskin tapi bisa bergerak dan keluarganya peduli cukup banyak.
Kondisi ini jelas membuat prihatin mengingat Pemerintah Kabupaten Malang menyatakan bertekad ingin mengentas rakyatnya dari garis kemiskinan seauai visi misi Madep Manteb Manetepnya.
Janda-janda yang masuk kategori golongan 1 memang tidak banyak, hanya sekitar empat atau lima orang. Mereka inilah yang mengundang keprihatinan.
Misalnya mbok Tursini. Umurnya dia tidak tahu. Sudah tua sekali. Anaknya yang bernama Tursiman sudah berumur 77-an tahun. "Karena saya ingat saya dikitan (sunat) pas pecahnya G30S PKI itu," tutur Tursiman.
Tursiman bisa berbahasa Indonesia ketimbang ibunya dan dua janda tua lainnya. Mereka selain Tursini ada mbok Sara, mbok Kamsati, mbok Lamsiti dan mbok Net.
Janda Tursini mempunyai dua orang anak. Kedua anaknya bisa digolongkan masyarakat tidak mampu. Salah satunya adalah Tursiman yang juga hidup di bawah garis kemiskinan.
Ia hanyalah seorang buruh angon sapi. Kandang sapi yang ditempati ibunya itu miliknya sendiri, namun sapinya milik orang lain.
"Sudah lebih 20 tahun ibu saya ini hidup di kandang sapi karena tidak mau kalau saya ajak dengan saya," katanya.
Jarak rumah Tursiman dengan kandang sapi yang ditempati ibunya tak lebih dari 15 meter. Karena tugas sehari-harinya ia harus ngarit (cari rumput) memberi makan sapi, maka setiap hari Tursiman bisa menengok ibunya yang menempati kandang sapi itu.
Soal masak untuk makan sehari-hari, ternyata Tursini menanak nasi sendiri.
"Ya saya ngliwet sendiri. Lauknya seadanya. Ada manisah ya saya makan dengan manisah. Ada ikan asin ya saya makan dengan ikan asin. Itu saja," kata Mbok Tursini ketika ditanya TIMES Indonesia melalui penterjemahnya Sulip.
Sulip adalah orang yang peduli mendata para janda-janda yang membutuhkan uluran tangan orang lain ini. Pria ini dulu pernah menjadi Kaur Keuangan Desa Sidoluhur.
Tursini yang saat ditemui sudah kesulitan berjalan itu mengaku menikmati hidup bersama sapi milik orang lain karena memang tidak ada pilihan lain.
Bantuan beras dari seorang pengusaha yang peduli dengannya tampak digunakan sebagai bantal tidurnya. Piring, panci dan peralatan masak lainnya jadi satu dengan tempat tidurnya di dalam kandang sapi berukuran sekitar 5 X 7 meter itu.
Dindingnya gedek kandang sapi itupun sudah rusak dan berlobang di sana sini. Atapnya juga sudah tambal sana tambal sini.
"Kalau hujan ya air masuk di sana sini," tuturnya.
Lantainya juga tanah. Posisi tempat sapi itu juga lebih tinggi, sehingga kalau hujan air bercampur kotoran sapi mengalir ke ruang di depannya tempat ia tidur sehari-hari.
Lain Tursini, lain mbok Kamsiti. Wanita yang tidak punya sanak kadang ini, saat TIMES Indonesia, sendirian di rumah yang sudah reyot. Tempat tidurnya tidak layak. Dinding-dinding rumahnya yang terbuat dari gedek sudah berlobang dimana-mana.
Tempat tidurnya mirip tumpukan sampah. Penuh plastik dimana-mana entah untuk apa. Kebetulan wanita renta ini waktu itu dalam keadaan sakit sehingga tidak bisa bangun. Ia sempat dibantu oleh Sulip dari posisi tidurannya, namun kemudian tidur lagi.
Pendengarannya sudah tidak sempurna. Kesehariannya ia hanya mendapat pertolongan dari warga sekitarnya. Wanita ini pernah menikah tapi tidak dikaruniai anak. Suaminya juga sudah lama meninggal.
Saudaranya juga sudah tidak ada. Keponakannya memang ada tetapi domisilinya saling berjauhan.
Di rumahnya yang berukuran sekitar 3X 5 meter itu, tampak sejumlah peralatan masak seperti panci, dandang kecil, wajan dan lainnya dalam rupa hitam. Karena digunakan untuk memasak dengan bahan bakar kayu. Benda-benda itu berserakan dimana-mana.
Dua gentong tembikar tampah penuh dengan air. Delapan jeriken warna putih tapi sudah mangkakpun penuh dengan air.
Tampaknya selain memberi makan, perhatian warga sekitarnya kepada mbok Kamsiti juga memberi air agar kalau memasak atau minum tidak kesulitan.
Rumah mbok Kamsiti juga tidak kalah memprihatinkannya dengan kandang sapi yang ditempati mbak Tursini. Tampak dinding-dinding gedek rumah Kamsiti ditambal di sana sini.
Kamar tidurnya yang tanpa pintu dan hanya disekat gedek itupun juga banyak lobang di sana sini. Bisa dibayangkan bagaimana bila malam tiba saat mereka tidur. Dingin yang terasa. Ini karena Dusun Gunung Tumpuk terletak 1280 meter di atas permukaan laut itu memiliki suhu rata-rata antara 17 derajat sampai 22 derajat Celcius.
Untuk makan sehari-hari mbok Kamsiti juga dibantu tetangga kanan kirinya. Karena sudah tua dan giginya sudah habis, tetangganya memberinya makanan dalam keadaan sudah matang dan lunak.
Kasurnya sudah mulai usang dan kumuh. Kaki-kaki tempat tidurnya juga sudah reyot.
Entah bagaimana tatkala wanita-wanita renta ini harus melawan hawa dingin saat malam hari atau musim dingin seperti sekarang ini.
Janda-janda tua ini juga hanya fasih berbahasa Madura. Pendengarannya pun mulai berkurang. Tapi penglihatan mereka masih tajam. Hanya mbok Sara yang pendengaran dan penglihatannya masih tajam meski usianya sudah sangat senja.
"Kalau penglihatan dan pendengaran nenek saya ini masih baik, walau umurnya paling tua diantara yang lainnya," kata Tum, cucunya.
Mbok Sara inipun dulunya menghuni rumah reyot mirip kandang di belakang rumah cucunya. Namun setelah ada uluran tangan dari Pangkalan TNI AU Abdulrachman Saleh Malang, mbok Sara sekarang bisa menempati rumah berdinding batu bata yang melekat dengan rumah cucunya itu.
"Biar kalau ada apa-apa saya bisa cepat memberi bantuan," tambah Tum. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |