Ribuan Orang Gila di Bali, Prof Luh Ketut Suryani: Begini Cara Mengobatinya

TIMESINDONESIA, DENPASAR – Pada tahun 2009, orang yang mengalami gangguang jiwa (gila) di Bali mencapai 9 ribu. Hal itu disampaikan Profesor Luh Ketut Suryani, seorang psikiater ahli jiwa dan pendiri Suryani Institute for Mental Health. Prof Luh Ketut Suryani memiliki resep mujarab yang bisa menyembuhkannya.
"Tercatat pada tahun 2009, di seluruh Bali orang yang mengalami penderita ganguan jiwa mencapai 9 ribu orang," jelasnya, kepada TIMES Indonesia, Rabu (23/5/2018).
Advertisement
Kemudian kata profesor Luh Ketut Suryani, ada 350 orang yang di pasung. "Dan yang kami tangani pembebasan pasungnya sekitar 90 orang. Sedangkan, ganguan jiwa berat, lebih seribu orang," tegasnya.
Suryani menegaskan, dirinya tidak setuju dengan adanya memasung orang yang sedang mengalami gangguan jiwa. Menurutnya. Karena, hal tersebut sangat memprihatinkan dan bukan solusi untuk menyembuhkan orang yang terkena ganguan jiwa.
"Orang yang terpasung paling berat yang saya saya lihat, kakinya diikat, tangannya juga tak bisa digerakan. Selan itu, karena keluarganya sibuk, sampai kotorannya dimakan sendiri," katanya.
Beberapa lainnya aku dia, mengalami kaki yang tidak berfungsi karena tidak bisa bergerak dan badannya sangat kurus.
"Orang yang terkena gangguan jiwa, tidak hanya diperbaiki mentalnya. Tetapi juga fisiknya yang perlu diperhatikan. Metode bio-psiko dan sosio-budaya spiritual, yang menggabungkan pengobatan medis dengan spiritual berupa meditasi, adalah hal yang baik untuk mengatasi ganguan jiwa," katanya.
Menurut Suryani, selama ini di Indonesia untuk menangani pasien jiwa selalu berkonsep hospital atau jika ada yang terkena ganguan jiwa yang berat dikirim ke rumah sakit. Kemudian, bolak-balik ke rumah sakit dan akhirnya tinggal di rumah sakit dengan mengeluarkan biyaya yang cukup besar.
"Tinggal di rumah sakit minimum 5 tahun maksimum sampai seumur hidupnya. Kami mencoba metode baru (bio-psiko dan sosio-budaya spiritual) pada pasien yang baru dan maksimum 3 bulan sudah bisa dipulangkan," jelasnya.
Suryani juga memaparkan, bahwa metode bio-psiko dan sosio-budaya spiritual yakni dengan pasien tetap dirumah, lalu diberikan pengobatan dan nantinya akan ada perubahan yang cepat. Setelah terjadi perubahan, kemudian obat diturunkan. Lalu pendekatan secara spritual.
"Dari psikiater, kami ajarkan meditasi pendekatan sprit sosial budaya. Kiranya ini, akan mempercepat proses penyembuhan tidak hanya obat saja, tetapi juga mengenai penggunaan spiritnya dan kepercayaannya," paparnya.
Suryani juga mengungkap, adanya pemasungan pada orang ganguan jiwa karena, selama ini masyarakat sudah putus asah.
Mulai, dari komplain tetangga atau keluarga yang menyatakan, bahwa mereka berbahaya. Kemudian, yang kedua juga ada motif tersendiri, karena tidak semua ada niat untuk menyembuhkannya.
"Kami pun baru tau, setelah kami menanganinya. Bahwa tidak semua yang ingin menyembuhkan. Ada yang punya motif biar dia mati, biar tidak mendapatkan warisan, biar dia tidak dihiraukan yang lain dan sebagainya. Jadi kita juga harus mengerti motif-motif itu. Jadi, tidak semua karena takut," ungkapnya.
Suryani juga menyatakan, bahwa untuk merawat pasien yang baik, adalah tetap dirumahnya. Kemudian, harus ada pendikan pada keluarga, dan melibatkan masyarakat dan pemerintah terutama puskesmas.
Karena menurutnya siapapun bisa gila, bukan hanya orang-orang tertentu yang bisa gila.
"Karena itu, kami berharap, kalau Pemerintah ingin menyehatkan masyarakat, mari kita belajar, ajari semua orang untuk kenal dan tahu dengan gangguan jiwa dan tidak alergi atau takut. Tetapi kita bisa membantu mereka," ujarnya.
JIka bisa, pemerintah tak perlu banyak menyediakan rumah sakit untuk pasien sakit jiwa. Cukup Rumah Sakit Bangli. "Karena itu saya menentang program pemerintah yang akan membangun rumah rehabilitasi di seluruh Kecamatan di Bali, karena tidak efektif," tegas Prof Luh Ketut Suryani.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |