Peristiwa Daerah

Pengamat: BLBI Sudah Bermasalahan Sejak Proses Penyaluran

Rabu, 08 Agustus 2018 - 07:34 | 48.31k
Diskusi Skema Penyelesaian Skandal BLBI
Diskusi Skema Penyelesaian Skandal BLBI" yang digelar Front Rakyat Anti Korupsi (FOTO: Alfi Dimyati/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pakar Hukum Pidana Universitas Pancasila, Hasbullah mengatakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah bermasalah sejak tahap penyaluran.

"Dalam hal penyaluran BLBI, lewat audit BPK ada hal yang menyimpang dalam penyalurannya. Penyaluran ini kan ada Rp 144,3 Triliun. Itu kan dalam konteks penyaluran BLBI nya, tapi jaminannya itu hanya sekitar Rp 12,3 Triliun dengan nilai jaminan hanya Rp 9,4 Triliun dari total (dana yang disalurkan untuk) BLBI," katanya dalam diskusi bertajuk "Skema Penyelesaian Skandal BLBI" yang digelar Front Rakyat Anti Korupsi (Fraksi) di Jakarta, Selasa (7/8/2018).

Advertisement

Menurut dia, penyimpangan tersebut disebabkan karena pada saat itu, negara sedang mengalami permasalahan krisis keuangan yang sangat luar biasa karena perbankan banyak yang kolap dan negara tentu butuh bank yang sehat agar masyarakat dan investasi tak bergejolak.

"Apakah negara diam atau bertindak. Mengenai kepastian hukum sebagai mana teori Gustav Redburch bahwa kepastian hukum harus dimaknai hukum bersifat positif atau sesuai dengan undang-undang, Faktanya tidak boleh dikelirukan hukum tidak boleh dimudahkan untuk dilakukan perubahan," terang dia.

Pada kesempatan itu, Hasbullah menerangkan bahwa dalam kasus mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung yang kini sedang dijerat oleh KPK bukanlah penyimpangan sejak dari pengucuran dana, melainkan dari penyelesaian BLBI yakni terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL).

Jadi, Syafruddin tak terlibat dalam kasus penyaluran dana BLBI. "Pak syafrudin dalam kasus ini bukan bicara mengenai kasus BLBI tapi penyelesaian yang memang tidak ada penyimpangannya," ujar dia.

Menurut dia, KPK RI sudah tak adil sejak dari awal, sebab, KPK RI hanya mengejar orang yang tak memiliki hubungan sama sekali dengan pengucuran dana BLBI.

Hal tersebut berdasarkan teori pertanggung jawaban Tindak Pidana Gustav Redbruch, siapa yang melakukan kesalahan, maka dia yang harus dihukum. 

Pada kesempatan itu, dia mengungkapkan bahwa dalam kasus BLBI terdapat obligor penerima bantuan likuiditas yang selesai membayar utang dan ada juga yang tidak selesai. 

"Ada yang kooperatif dan ada yang tidak kooperatif. Bahasa-bahasa ini saya temukan dalam audit BPK 2006 dan 2002, 1999," katanya.

Selain itu, ada juga Bank yang tidak kooperatif dan ada juga bank tidak selesai (memenuhi kewajiban pembayaran utang), Ada bank bayar tunai, ada bank tidak PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham), ada bank tanpa SKL dan ada bank selesai PKPS dan ada bank yang belum selesai," ungkapnya.

Mengacu pada hasil audit BPK, kata dia, terdapat sejumlah Bank yang masuk dalam kategori tak mau bertanggung jawab dan ini sudah memenuhi unsur kejahatan.

Sebab mereka mengetahui dan menghendakinya, mereka adalah para pemegang saham yang masuk dalam kriteria bank golongan tidak kooperatif, Bank tidak selesai, Bank yang belum selesai dan bank yang memang tidak melakukan suatu tindakan untuk penyelesaian pembayaran utang.

Sementara untuk Bank yang dikategorikan selesai oleh BPK, yakni Bank - Bank yang secara kooperatif melalui MRNA (Master of Refinancing and Note Agreement) dan secara sukarela dia akan bertanggung jawab pada BLBI.

Oleh karena itu, dia mempertanyakan KPK RI ihwal adanya pemegang saham Bank yang sudah kooperatif dan bertanggung jawab pada keuangan negara seperti mantan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Syamsul Nursalin yang kini terus diburu dan dicari-cari kesalahannya.

"Padahal ada bank yang tidak kooperatif dan bank yang tidak selesai malah dia masih enak-enakan makan dan tidur," jelasnya.

Selain itu, penetapan Syafruddin sebagai tersangka, kata dia juga sangat membingungkan, sebab, Syafruddin hanya bertindak memberikan SKL pada Bank yang berkategorikan sudah selesai dan Bank nya pun telah kooperatif.

Lantaran ada banyak kejanggalan dan tak menyentuh akar persoalan, dia pun menilai KPK RI ingin membonsai kasus BLBI hanya menjadi satu kasus.

"Dalam kasus BLBI, ini dikemas dan dibonsai menjadi salah satu kasus. Satu-satunya kasus adalah Syafruddin Arsyad Tumenggung. Padahal kasus dia murni dalam konteks menyelesaikan bank - bank yang kooperatif," katanya.

Menurut dia, Bank BDNI milik Syamsul Nursalim telah bertanggung jawab dan telah melakukan pelunasan utang.

Hal tersebut dibuktikan saat Sjamsul Nursalim menandatangani Master Settlement Acquitition Agreement (MSAA) dan menyerahkan hartanya. Jadi kasus ini sudah clear, karena pemerintah memberikan release and discharge.

MSAA adalah mekanisme penyelesaian utang BLBI melalui jalur non-pengadilan, berupa perjanjian pembayaran secara tunai dan dengan penyerahan aset.

Namun, pada tahun 2002 BPK kembali mengaudit BDNI dan persoalan itu di bawa ke MPR guna memberikan kepastian hukum dan oleh Presiden Megawati dikeluarkan Inpres pada tahun 2002 untuk memberikan kepastian hukum.

"Tagihan kepada Syamsul Nursalim itu adalah sebesar 428 Milyar, kemudian dibayarkan. Kemudian diminta asetnya 2,7 Triliun untuk diserahkan kepada pemerintah. Dikasih itu (pembayarannya lunas) Karena sudah memenuhi tersebut dan keluar kebijakan pemerintah untuk berikan SKL," katanya

Tak hanya berhenti disitu saja, pada saat SKL diterbitkan, kata dia, utang Syamsul Nursalim tentunya telah clear. Namun pada tahun 2017, saat KPK RI meminta BPK untuk mengaudit malah ditemukan kerugian negara.

Hal tersebut, dikarenakan adanya penjualan aset tambak udang Dipasena di Lampung.

Akibatnya, Ketua BPPN yang memberikan SKL untuk Sjamsul, Sjafruddin Arsyad Temenggung harus dijerat sebagai terdakwa. 

"Anehnya lagi bahwa SKL pada saat diterbitkan tidak ada kerugian negara. BPK 2017 mengatakan kerugian negara timbul pada saat aset petani tambak dijual oleh PPA, PPA adalah perusahaan pengelolaan aset dibawah dari menteri keuangan. Siapa menteri keuangan 2007, Ibu Sri Mulyani," terangnya.

Menurut dia, dijualnya aset tambak Dipasena tak ada hubungannya dengan aset dengan Samsul Nursalim.

Sebab, aset tersebut telah diserahkan ke menteri keuangan era Boediono dan dilanjutkan ke menteri keuangan era Sri Mulyani pada tahun 2007.

"Nilainya Rp 4,8 Triliun dijual cuma 220 Milyar, itu dalam audit BPK sudah dijelaskan dalan halaman terakhir 2017," katanya.

Oleh karena itu, di kasus BLBI ini, dia menilai utang Syamsul Nursalim telah lunas, karena utang dan aset-aset yang dimilikinya telah diserahkan ke negara sesuai dengan nilai utang Rp 4,8 Triliun. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES