Peristiwa Daerah

KH Imam Ma'ruf: Tugas Kita Semua Mengawal Hari Santri

Senin, 22 Oktober 2018 - 12:51 | 382.23k
Wakil Ketua Tanfidiyah NU Kabupaten Malang,  Drs KH Imam Ma'ruf saat tumpengan bersama FKDT memperingati HSN. (FOTO: Widodo irianto/TIMES Indonesia)
Wakil Ketua Tanfidiyah NU Kabupaten Malang, Drs KH Imam Ma'ruf saat tumpengan bersama FKDT memperingati HSN. (FOTO: Widodo irianto/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Peringatan Hari Santri Nasional dilakukan seantero Nusantara dengan berbagai kemeriahan dan seolah tak ada cela di setiap sudut daerah. Kini yang terpenting adalah bagaimana mengawal HSN agar tetap konsisten dan abadi.

Setidaknya itulah yang tersirat dari pernyataan Wakil Ketua Tanfidziyah NU Kabupaten Malang, Drs KH Imam Ma'ruf ketika berbicara soal HSN yang mengambil tema Damailah Negeriku pada acara Tumpengan Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) di Islamic Center, Sabtu lalu.

Advertisement

Tumpengan.jpg

"HSN ini mari kita kawal bersama. Kalau tidak dikawal maka event apapun akan menjadi suram," ujarnya. 

Permintaannya akan komitmen para santri untuk mengawal HSN bukan tanpa alasan. Agar HSN tidak sekedar gebyarnya saja, namun muatan tentang makna peranan Santri benar-benar dikenang, dirasakan dan ditempatkan di hati puluhan juta santri di Indonesia. 

"Jaman dulu, menjelang peringatan 1 Oktober yakni Hari Kesaktian Pancasila, jauh hari sebelumnya, bahkan dua bulan sebelumnya masyarakat sudah tahu. Para abdi negara sibuk mempersiapkannya dengan segala kenangannya bagaimana Pancasila itu kemudian disebut sakti.
Sehari menjelang 1 Oktober bendara sudah dipasang setengah tiang, dan pada hari H tanggal 1 Oktober bendera dipasang satu tiang penuh. Namun sekarang hal itu sudah tidak dikawal, sehingga sudah tidak diperingati lagi," katanya.

Contoh lain, lanjut dia, soal Hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei. "Dulu teman-teman sekolah, masih bulan April, sudah ingat bahwa tanggal 2 Mei itu Hari Pendidikan Nasional. Tetapi sekarang kurang dua hari, rekan-rekan guru itu masih pada saling bertanya, tanggal 2 Mei itu tanggal apa, kok merah. Ya itu karena tidak dikawal," katanya. 

Begitu juga saat peringatan Hari Pahlawan setiap Tgl 10 November, jauh-jauh hari sudah ingat. Namun lambat laun sekarang sudah tidak diingat lagi. Valentin itu dulu sempat mencuat, anak-anak ikut valentinan. "Karena kita kampanye jangan merayakan itu, sekarang rupanya valentinan juga sudah hilang," tambahnya. 

Imam Ma'ruf juga mencontohkan Mauludan. "Jaman dulu, bulan syawal konco konco wis eling muludan (teman-teman sudah ingat Muludan). Karena kurang kampanye, sekarang ini PNS saja masih tanya tanggal merah apa itu. Mereka tidak tahu kalau itu mauludan," tegasnya lagi

Karena itulah HSN yang jatuh tanggal 22 Oktober, katanya, harus dicatat dan setiap tahun jauh-jauh hari diingat bersama-sama, merancang kegiatannya, koordinasikan secara lintas sektoral. "Insyaallah HSN akan menjadi abadi," tuturnya.

Selain berbicara soal pentingnya mengawal HSN, Imam Ma'ruf menambahkan pentingnya identitas karakter santri tetap dijaga. "Santri yang dimaksud adalah resolusi jihad mbah Hasyim Ashari," paparnya. 

Karena berangkatnya Hari Santri ini adalah dari santri yang tempatnya di pesantren, Gus Dur adalah centris, maka yang dimaksudkan di sini adalah pesantren ala Nahdlatul Ulama.

 

"Cirinya bagaimana ? Ya seperti panjenengan ini. Bersarung, berkopiah, berbaju biasa ala Indonesia. Mengapa kok kita katakan seperti ini, karena sekarang banyak tempat pesantren yang menyaingi pesantren kita," katanya. Pesantrennya sama, namanya sama, tetapi pelajaran di salamnya tidak sama. Ciri khasnya tidak sama. 

Seorang santri, kata Imam Ma'ruf, akan selalu takzim pada kiai atau guru-gurunya. Mereka menganggap kiai atau guru-gurunya sebagaimana layaknya kedua orang tua mereka, dan mereka akan patuh dan nurut.

"Ini hanya contoh sebagian kecil dari sosok seorang santri. Masih banyak kecerdasan lain dari seorang santri yang tidak dimiliki oleh lainnya, "katanya. 

Bahkan Bung Tomo, pahlawan 10 Nopember itu, juga masih minta restu kepada KH Hasyim Ashari tatkala akan melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda. "Sebenarnya bung Tomo waktu itu sudah mau ngamuk tanggal 8 November. Tapi sama Mbah Hasyim dilarang. Ojo budal saiki Tomo sebab sing nyuwuk during teko (jangan berangkat sekarang Tomo, karena yang akan memberi restu belum datang), " katanya. 

Malam tanggal 9 bung Tomo juga sudah tidak sabar dan benar-benar ingin berangkat menduduki gedung Oranye (sekarang kantornya RRI). Tapi sekali lagi KH Hasyim Ashari melarangnya karena yang memberi restu, yakni Syech Abas Buntet belum datang. 

Nah tanggal 9 Nopember malam, Syech Abas Buntet benar-benar datang. Bung Tomo langsung minta restu dan akhirnya direstui. Maka pagi harinya meledaklah perjuangan Arek-Arek Suroboyo itu melawan Belanda. 

Perjuangan Arek-Arek Suroboyo itu lantas dimasukkan ke dalam sejarah Nasional. "Tapi yang nyuwuk tidak dimasukkan. Kemudian ada peristiwa perobekan bendera Belanda yang Merah-Putih-Biru itu. Tapi nama orang yang merobek itu tidak dimasukkan ke dalam sejarah. Namanya menurut pak Said Agil Siradj, adalah Koesno anggota Ranting NU Surabaya," tambah Imam Ma'ruf lagi. 

Nah berangkat dari contoh-contoh itulah, Wakil Ketua Tanfidziyah NU Kabupaten Malang ini minta agar Hari Santri Nasional ini terus dikawal agar tetap konsisten dan abadi. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES