Sengketa Lahan Untag, Majelis Hakim Ragukan Keterangan Saksi JPU

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sidang lanjutan sengketa lahan Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) dengan terdakwa Tedja Widjaja kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Dalam persidangan tersebut, JPU menghadirkan saksi yang mrmberikan keterangan memberatkan terdakwa, diantaranya soal pemalsuan sejumlah dokumen untuk mempermudah terdakwa menguasai lahan Yayasan Untag dengan harga murah. Namun demikian, Majelis Hakim meragukan keterangan saksi itu.
Advertisement
Bambang Prabowo, saksi yang dihadirkan JPU, mengaku sebagai asisten pribadi Thomas Noah Peea, mantan Dewan Pembina Yayasan dan Rektor Untag.
Kepada majelis hakim, dia mengaku kenal dengan Tedja sejak Mei 2010 dan diminta untuk mengurus pemecahan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) atas lahan yang dibeli dari yayasan.
Terkait dengan pengurusan pemecahan PBB tersebut, banyak menggunakan dokumen dengan tanda tangan palsu, dalam arti tanpa sepengetahuan dan seizin pemilik tanda tangan. "Bahkan, dia (Tedja) juga menyiapkan uang Rp 1 miliar untuk Kepala UPPRD supaya urusan lancar," katanya.
Menurut Bambang, yang juga adik ipar Thomas, Tedja berkepentingan untuk segera melakukan pemecahan PBB agar persoalan jual beli lahan dengan Yayasan Untag tidak bisa lagi diusik oleh Rudyono Darsono, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Yayasan.
Untuk lebih memuluskan jalan, Tedja disebut juga membuat akta kepengurusan yang baru untuk menandingi kepengurusan yang dipimpin oleh Rudyono. Tujuannya, agar Tedja tidak lagi berhubungan dengan Rudyono, tapi langsung dengan Thomas. Akta kepengurusan tandingan ini kemudian dicabut oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Terkait dengan kewajiban pembangunan gedung delapan lantai, Bambang mengaku pada 2016 ada pertemuan antara Tedja dengan pihak Untag, termasuk Thomas. Pada saat itu, Tedja menyodorkan berita acara serah terima gedung untuk ditandatangani.
Namun, menurut Bambang, saat itu, Thomas menolak menandatangani karena mempertanyakan soal surat izin mendirikan bangunan (IMB). "Jadi, belum ada IMB nya. Selain itu, saya tahu gedung itu juga belum selesai. Sesuai kesepakatan delapan lantai, tapi baru jadi empat lantai," tuturnya.
Mendengar sejumlah keterangan saksi, Ketua Majelis Hakim Tugiyanto lalu bertanya, apakah saksi pernah melaporkan soal pemalsuan dokumen itu ke penegak hukum. Saksi menjawab tidak pernah.
"Saksi ini kan sarjana hukum, kalau memang ada tindak pemalsuan, mengapa tidak dilaporkan? Bukannya kejadiaannya sejak 2010? Berarti sudah delapan tahun. Mengapa sekarang disampaikan di sini?" tanya Tugiyanto yang hanya dijawab oleh saksi dengan anggukkan kepala.
Majelis Hakim lalu mempertanyakan keterangan saksi soal gedung yang baru jadi empat lantai. Saksi kemudian mengaku terakhir melihat pembangunan gedung itu pada 2012.
"Jadi dari 2012 sampai 2016 berarti saksi tidak pernah melihat gedung itu lagi? Taunya pada 2016 bertemu lagi dan dapat kabar gedungnya belum jadi? Soalnya beberapa saksi yang lain menyampaikan keterangan berbeda, bahwa gedung itu sudah jadi delapan lantai dan sudah digunakan untuk kegiatan kuliah," lontar Tugiyanto.
Kuasa hukum Tedja, Nahot Silitonga menyatakan, keterangan saksi tidak bisa dipercaya karena banyak bohongnya. Misalnya, soal keterangan kenal dengan terdakwa, karena ternyata Tedja mengaku baru bertemu pada 2013.
Terkait dengan pembuatan kepengurusan Yayasan tandingan, saksi juga tidak tahu kalau itu atas prakarsa Thomas, karena sesuai yang dijanjikan Rudyono, posisi Thomas di yayasan akan dikembalikan begitu tidak lagi menjabat rektor.
"Yang paling kentara adalah soal dokumen palsu. Tadi kan juga saksi mengaku belum pernah dilaporkan. Terus juga belum ada putusan pengadilan soal pemalsuan dokumen. Kalau memang palsu, mengapa tidak dilaporkan?," tutur dia.
"Dari persidangan tadi juga bisa terlihat motif saksi. Dengan jelas dia mengaku kecewa dengan terdakwa karena pernah dijanjikan saham sebesar 2%. Padahal, terdakwa mengaku tidak pernah menjajikan soal itu," tambah Nahot.
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Effendi Saragih sebelumnya mengatakan, bahwa sebuah dokumen dapat dinyatakan palsu atau dipalsukan hanya oleh pejabat atau lembaga yang berwenang secara tertulis.
"Jadi, tidak dapat suatu akta kesepakatan atau dokumen dinyatakan palsu oleh pihak yang tidak berwenang, apalagi jika pihak tersebut ada dalam dokumen," ujarnya.
Terkait dengan dugaan penipuan, Effendi menjelaskan, jika perjanjian atau masalah perdata bisa menjadi masalah pidana jika memang ada unsur penipuan di awal-awal perjanjian.
"Jadi penipuan itu terjadi di awal atau sebelum perjanjian. Tetapi ketika sudah dilakukan perjanjian dan dalam pelaksanaannya tidak sesuai, maka itu menjadi wanprestasi," paparnya.
Menurut Effendi, untuk menentukan sebuah perjanjian atau persoalan perdata mengandung unsur pidana penipuan harus dibuktikan dalam persidangan, melalui bukti-bukti maupun keterangan saksi-saksi yang tahu mengenai persoalan sebelum terjadi perjanjian. "Jadi, kalau saksi hanya mengetahui persoalan setelah ada perjanjian, tidak bisa dipakai keterangannya," imbuh Effendi.
Seperti diketahui, selama proses persidangan bergulir, pihak JPU telah banyak menghadirkan saksi. Namun demikian, mayoritas saksi yang yang dihadirkan itu disebut kuasa hukum terdakwa tidak tahu mengenai awal mula perjanjian antara Yayasan Untag dengan Tedja Widjaja.
Sumber perkara sendiri bermula dari transaksi jual-beli antara Yayasan Untag yang diwakili Rudyono Darsono dengan Tedja Widjaya selaku Direktur PT GM atas lahan milik Yayasan Untag seluas 3,2 hektare dengan nilai transaksi Rp 65,6 miliar pada 2009.
Dalam transaksi tersebut disepakati empat bentuk pembayaran yang tertuang dalam akta perjanjian kerjasama No.58, tangal 28 Oktober 2009, yang seluruhnya sudah dilunasi oleh Graha Mahardhika dengan bukti pembayaran yang lengkap.
Pertama, pembayaran uang muka Rp 6,445 miliar. Kemudian pembayaran senilai Rp 15 miliar. Selanjutnya Rp 16,145 miliar dibayar tunai bertahap selama 36 bulan, dan terakhir dibayar dengan pembangunan gedung kampus baru dengan nilai minimal Rp 24 miliar.
Bahkan untuk pembangunan kampus, Tedja Widjaja pada akhirnya disebut harus mengeluarkan uang hingga Rp 31 miliar. Kemudian ada permintaan lagi untuk renovasi gedung lama, penyediaan alat laboratorium sehingga totalnya mencapai Rp 46 miliar. Gedung kampus baru yang dijadikan salah satu mekanisme pembayaran tersebut telah digunakan untuk mahasiswa Untag berkuliah sejak 2012.
Pada Juni 2017, Yayasan Untag melaporkan dugaan tindak pidana oleh Tedja Widjaja ke polisi yang ditindaklanjuti oleh polisi dengan melakukan penyidikan. Pada perjalanannya, polisi menyatakan berkas perkara tersebut lengkap dan melimpahkannya ke kejaksaan yang berlanjut ke penuntutan hingga akhirnya naik ke persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sejak awal Oktober 2018 dengan Nomor Perkara 1087/PID.B/2018/PN.JKT.UTR.
Dalam surat dakwaan, Tedja Widjaja didakwa telah melakukan tindak pidana Penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP. Selain itu, Tedja Widjaja juga didakwa telah melakukan tindak pidana Penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP karena menjaminkan 5 sertifikat tanah kepada Bank ICBC dan Bank Artha Graha.
Nahot mengatakan, soal dakwaan belum melunasi pembayaran, kliennya memiliki bukti pembayaran melalui transfer bank dan pihak Yayasan Untag sudah mengeluarkan keterangan lunas tertanggal 18 Februari 2015. Sementara mengenai bank garansi, dalam perjanjian jual beli tidak pernah ada ketentuan bahwa Tedja akan memberikan bank garansi.
"Soal bukti tanda terima sebesar Rp 16 juta sebagai biaya pembuatan bank garansi sangatlah tidak relevan, karena tidak mungkin Tedja Widjaja membayarnya ke pihak Untag sebagai penjual, terlebih lagi nilainya tidak sebanding dengan nilai transaksi tanah sebesar Rp 65 miliar. Dalam praktiknya, biaya penerbitan bank garansi adalah dua persen dari nilai transaksi atau sebesar Rp 1,3 miliar,” paparnya.
Mengenai tuduhan penggelapan dengan menjaminkan sertifikat-sertifikat tanah ke bank, Nahot menegaskan bahwa penjaminan tersebut dilakukan lantaran sertifikat memang telah dimiliki oleh Graha, Tedja, dan istrinya.
"Sertifikat yang dijaminkan ke Bank ICBC dan Bank Artha Graha adalah atas nama PT Graha Mahardikka, Tedja Widjaja, dan Lindawati Lesmana (Istri Tedja). Nama-nama tersebut merupakan pemilik dan berhak, termasuk untuk menjaminkan ke bank," tukas Nahot, kuasa hukum terdakwa kasus sengketa lahan Untag.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |
Sumber | : TIMES Jakarta |