Peristiwa Daerah

Hak Jawab atas Berita Kisruh Tambang Emas Tumpang Pitu

Kamis, 04 April 2019 - 20:12 | 189.20k
Area Tambang Emas Gunung Tumpang Pitu (FOTO: Dokumen TIMES Indonesia)
Area Tambang Emas Gunung Tumpang Pitu (FOTO: Dokumen TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dari hasil Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers Nomor 9/PPR/III/2019 tentang Pengaduan Fanny Tri Jambore, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, terhadap Media Siber timesindonesia.co.id, Dewan Dewan Pers memutuskan bahwa teradu melanggar Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Alasannya, karena timesbanyuwangi.com, telah memuat berita tidak berimbang. Teradu kurang memberikan porsi pemberitaan yang berimbang kepada Budi Pego, langsung maupun melalui kuasa hukumnya atau pihak-pihak yang mendukungnya. Teradu tidak melakukan verfifikasi terkait logo palu arit di spanduk peseta demo anti tambang yang melibatkan Budi Pego.

Advertisement

Adapun hak jawab dari WALHI Jawa Timur adalah sebegai berikut:

Sesuai dengan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers Nomor: 9/PPR-DP/III/2019 Tentang Pengaduan Fanny Tri Jambore (Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur) Terhadap Media Siber timesbanyuwangi.com, maka dengan ini kami menyampaikan hak jawab atas pemberitaan timesbanyuwangi.com sebagai berikut:

Pertama, pada pemberitaan berjudul Ada yang Menunggangi Kisruh Tambang Emas Tumpang Pitu tanggal   27 November 2015, pemilihan judul berita dan isi pemberitaan menggiring opini bahwa aksi warga ditunggangi kepentingan kelompok tertentu yang kemudian tidak pernah disebutkan siapa, hanya ada kutipan pernyataan “Kita sudah tahu kelompok mana dalang dari kerusuhan yang telah mengorbankan warga sekitar tambang emas Tumpang Pitu ini. Dan memang terstruktur, mulai dari bawah hingga atas.

Pernyataan ini cenderung kabur, dan tidak pernah dicari kebenarannya, baik dalam berita tersebut, maupun berita-berita selanjutnya dan. Begitu juga dengan berita Tersangka Kerusuhan Tumpang Pitu Bertambah Satu Lagi tanggal 2 Desember 2015, dimana isi pemberitaannya satu sisi hanya dari pihak kepolisian yang menyatakan adanya pihak yang memprovokasi dalam kasus aksi penolakan tambang tumpang pitu yang berujung pada bentrokan.

Kedua, pada berita PT BSI Kawasan Tambang Ramah Lingkungan di Banyuwangi tanggal 18 November 2018 dan Ini Lokasi 'Harta Karun' Tambang Emas di Jawa Timur tanggal 21 Oktober 2018, dua pemberitaan ini mempunyai nada yang sama bahwa tambang emas yang dilakukan oleh PT BSI ramah lingkungan dan memperhatikan aspek sosial.

Sama seperti pemberitaan terkait kasus-kasus yang menimpa warga, pemberitaan yang menyebutkan sisi baik pertambangan ini tidak dilakukan dengan prinsip cover both side, tidak ada pernyataan lain dari warga yang merasa terdampak oleh pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu.

Ketiga, keresahan warga atas pertambangan emas di Tumpang Pitu adalah sesuatu yang nyata karena wilayah ini adalah ruang hidup dari banyak orang yang menggantungkan ekonominya pada sektor pertanian, perikanan laut dan pariwisata. Ancaman atas dampak pertambangan di wilayah ini bisa dilihat dari kejadian bencana banjir lumpur di tahun 2016.

Bencana lumpur tersebut telah mengakibatkan wilayah pesisir Pancer dan sekitarnya tertutup lumpur hingga kurang lebih 4 km ke tengah lautan selama lebih dari satu minggu. Bencana lumpur tersebut selain merusak kawasan pertanian dan pesisir, juga berdampak pada menurunnya angka pengunjung (wisatawan) pantai Pulau Merah, Pancer, Sumberagung. Akibatnya, warga yang menumpukan kegiatan perekonomiannya di bidang pariwisata juga mengalami penurunan pendapatan.

Selain itu, Kawasan Hutan Lindung di Tumpang Pitu memiliki nilai penting untuk Lingkungan di sekitarnya. Hutan tersebut merupakan kawasan resapan air, sehingga dianggap sangat layak untuk menjamin ketersediaan air bawah tanah dan sungai-sungai di sekitarnya. Rusaknya kawasan hutan lindung dikhawatirkan mengganggu pasokan air untuk sungai-sungai yang selama ini mengairi lahan pertanian di Banyuwangi bagian selatan.

Keempat, pada berita-berita berikut ini, Forum Penyelamat NKRI Berkumpul di Pesanggaran tanggal 29 November 2018; Forum Penyelamat NKRI Ingatkan Potensi Politisasi Kasus Budi Pego tanggal 12 Desember 2018; Soal Vonis Budi Pego, Forum Penyelamat NKRI Datangi Kejaksaan dan Kodim Banyuwangi tanggal 10 Januari 2019; Tokoh LSM dan FPI Banyuwangi: Waspadai Aktivis Luar Daerah Pembela Budi Pego tanggal 27 Desember 2018; Tokoh Ormas dan LSM Banyuwangi Sesalkan Banyak Masyarakat Belum Paham Proses Hukum Budi Pego tanggal 26 Desember 2018; dan MA Jatuhkan Vonis 4 Tahun, Kuasa Hukum Budi Pego akan Tempuh PK tanggal 29 November 2018, judul dan isi pemberitaan dalam berita-berita ini hanya satu sisi yang mendorong opini bahwa aksi pembelaan terhadap Heri Budiawan dilakukan oleh kelompok yang memiliki paham/ideologi komunis, memiliki tendensi politisasi, dan berusaha mengadu domba aktivis di Banyuwangi.

Kelima, ada banyak lembaga yang terlibat dalam pembelaan dan pendampingan kasus tambang emas Tumpang Pitu serta kasus hukum Heri Budiawan antara lain WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), dan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).

Lembaga-lembaga ini telah memiliki track record panjang dalam urusan pendampingan kasus hukum, lingkungan dan Hak Asasi Manusia, serta seluruh pembelaan yang dilakukan dikerjakan secara terbuka dan melalui saluran resmi baik institusi hukum atau lembaga Negara, maupun melalui aksi-aksi yang tidak melanggar norma hukum yang ada.

Keenam, jika dirunut kembali ke belakang, kasus yang menimpa Heri Budiawan atau lebih luas dikenal sebagai Budi Pego berawal dari aksi pemasangan spanduk “tolak tambang” oleh Heri Budiawan bersama warga Sumberagung dan sekitarnya di sepanjang jalan pantai Pulau Merah-Sumberagung hingga kantor kecamatan Pesanggaran pada 4 April 2017.

Satu hari pasca aksi tersebut (5/4/2017), aksi itu dituduh oleh pihak aparat keamanan telah menggunakan logo mirip palu arit di spanduk aksinya. Kasus itu semakin mencuat, saat salah seorang petinggi perusahaan tambang yang ditolak warga melaporkan aksi warga tersebut ke pihak kepolisian.

Patut ditambahkan, pembuatan spanduk aksi tolak tambang memang dibuat di rumah Heri Budiawan pada Selasa pagi, 4 April 2017. Dan dalam pembuatannya, disaksikan oleh aparat keamanan (TNI/Polri) serta beberapa orang jurnalis. Maka, jika memang dalam pebuatan spanduk terdapat logo palu arit, harusnya hal itu sudah dapat dilihat oleh aparat yang berjaga di rumah Heri Budiawan.

Selama proses pemeriksaan oleh pihak kepolisian, bukti fisik spanduk yang dituduhkan bergambar menyerupai logo palu arit juga tidak pernah dihadirkan. Dalam perjalanan proses pengadilan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kajari Banyuwangi juga tidak pernah menghadirkan bukti fisik spanduk yang dituduhkan dalam setiap persidangan, JPU hanya menunjukkan foto dan video keberadaan spanduk tersebut, yang bahkan tidak pernah diperiksa dan diverifikasi oleh ahli untuk memastikan keaslian dan keabsahan video dan foto sebagai petunjuk kasus tersebut.

Meskipun begitu, Heri Budiawan tetap dinyatakan bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi pada Selasa, 23 Januari 2018. Dirinya divonis 10 bulan penjara oleh majelis hakim PN Banyuwangi yang diketuai oleh Putu Endru Sonata. Atas putusan tersebut, Heri Budiawan dan tim kuasa hukum mengajukan upaya hukum banding di tingkat Pengadilan Tinggi (PT). Begitu juga dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kajari Banyuwangi juga mengajukan banding.

Akan tetapi, dalam perjalanan yang cukup berliku itu, pada tanggal 14 Maret 2018, majelis hakim PT Jawa Timur yang diketuai oleh Edi Widodo memutuskan menerima permintaan banding JPU Kajari Banyuwangi. Dan memutus pidana penjara selama 10 bulan terhadap Heri Budiawan. Atas putusan PT Jatim tersebut tim kuasa hukum Heri Budiawan mengajukan upaya hukum Kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA), begitu juga JPU juga mengajukan permohonan Kasasi.

Ketujuh, dalam penantian yang cukup panjang, putusan Kasasi yang dinanti pun datang. Akan tetapi, MA melalui amar putusannya, pada tanggal 16 Oktober 2018, memutuskan menolak permohonan kasasi Heri Budiawan. Bahkan MA mengubah putusan PN Banyuwangi dan PT Jawa Timur, mengenai pidana penjara Heri Budiawan menjadi 4 (empat tahun).

Terkait putusan MA tersebut, Heri Budiawan dan tim kuasa hukumnya tengah mempersiapkan beberapa langkah strategis untuk perjuangan selanjutnya.

Dan kini dalam perkembangannya, Jumat, 7 Desember 2018 lalu, Heri Budiawan mendapatkan sepucuk surat kembali dari Kajari Banyuwangi (Surat Panggilan Terpidana), yang bertujuan untuk pelaksanaan putusan MA tersebut (eksekusi I).

Namun anehnya, pasca terbitnya surat eksekusi I tersebut, tim kuasa hukum dan Heri Budiawan belum menerima salinan putusan Kasasi. Bahkan dalam perkembangannya, Jumat, 21 Desember 2018, Heri Budiawan kembali mendapatkan surat panggilan eksekusi tahap II, yang akan jatuh pada Kamis, 27 Desember 2018. Dan sekali lagi hingga hari ini, tim kuasa hukum dan Heri Budiawan tetap belum menerima salinan putusan Kasasi.

Dalam eksaminasi putusan kasus Heri Budiawan yang dilaksanakan pada Rabu, 27 Februari 2019 di Ruang Pusat Studi, HRLS, Gedung C, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, beberapa pakar hukum dari berbagai universitas memberikan catatan mereka terkait kasus ini. Adapun dalam eksaminasi ini, ada 4 orang yang bertindak sebagai eksaminator.

Mereka adalah Dr. Joko Ismono, SH, MH (akademisi Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra), Dr. M. Tavip, SH, MH (akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako), Dr. Hananto Widodo, SH, MH (akademisi Fakultas Hukum, Universitas Negeri Surabaya), Dr. Herlambang P Wiratraman (akademisi Fakultas Hukum Universitas Airlanggga).

Joko Ismono, dalam catatannya mengatakan bahwa persoalan kriminalisasi terhadap pejuang HAM dan lingkungan hidup, telah dilindungi oleh pasal 66 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Ia menambahkan bahwa apa yang menimpa Heri Budiawan adalah kriminalisasi, karena tidak cukupnya bukti yang dihadirkan di setiap persidangan.

Menurutnya penerapan pasal kejahatan terhadap keamanan negara yang dituduhkan terhadap Heri Budiawan tidak tepat. Bagi Joko Ismono Hakim perkara Heri Budiawan masih berpikir formalisitik, dan tidak melihat konteks bahwa itu adalah perbuatan memperjuangankan lingkungan hidup. Joko Ismono juga mengatakan, bahwa kasus Heri Budiawan telah menjadi sorotan publik secara luas.

Seharusnya dengan demikian, hakim harus lebih hati-hati dalam memutuskan perkara ini. Namun ia cukup kaget dan menangkap sejumlah keanehan, karena hakim MA malah memperberat hukuman terhadap Heri Budiawan. Sehingga ia menduga bahwa dalam kasus Heri Budiawan ini ada indikasi tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan, Karena berdasarkan KUHAP, kewenangan hakim MA dalam tingkat kasasi hanya untuk memeriksa apakah judex facti melampaui kewenangan, apakah judex facti salah dalam penerapan materilnya dan formilnya ungkap Joko Ismono lebih lanjut.

M Tavip, selaku eksaminator lainnya, juga memberikan catatannya. Ia mengatakan bahwa dalam kasus Heri Budiawan ini, ia tidak melihat adanya unsur melawan hukum. Bagi M. Tavip argumentasi yang dipakai oleh hakim tingkat PN untuk memutuskan putusan terhadap kasus Heri Budiawan adalah unsur melawan hukumnya hanyalah aksi yang tidak memiliki ijin. argumentasi ini menurut M. Tavip tidak berdasar karena instrumen untuk aksi adalah pemberitahuan, bukan izin.

Hananto Widodo, eksaminator ketiga dalam eksaminasi ini, juga memberikan catatan kritisnya. Ia menegaskan bahwa kasus Heri Budiawan tidak memenuhi unsur melawan hukum dan terkesan dipaksakan. Hananto Widodo menduga adanya unsur rekayasa agar Heri Budiawan kehilangan hak-haknya.

Bahkan ia menambahkan kasus ini hanya untuk mengalihkan isu terkait pertambangan yang ditolak oleh warga Tumpang Pitu. Lebih lanjut Hananto Widodo menyatakan bahwa sebenarnya pasal 107a bisa digunakan terhadap Heri Budiawan, jika ia paham dengan ajaran komunisme. Sehingga dengan kasus ini, untuk ke depan pasal ini bisa menjadi pasal rawan. Pihak penegak hukum hanya mendasarkan bukti formal saja dalam kasus ini.

Pakar hukum dari Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman juga memberikan catatan menarik. Menurutnya dalam putusan hakim PN dan PT, ia melihat bahwa nalar hukum hakim tidak merujuk pada satupun tradisi aliran filsafat hukum. Menurut Herlambang, dalam filsafat hukum terdapat 6 aliran, yakni: aliran historis, naturalis, positivisme, soiological jurisprudence, utilitarianisme, realisme. Dalam kasus ini, tidak satu pun hakim merujuk pada aliran filsafat hukum tersebut.

Dalam eksaminasi ini, para eksaminator juga mengundang Fachrizal Afandi, pengajar fakultas hukum Universitas Brawijaya yang tengah menempuh pendidikan doktoral di Van Vollenhoven Institute, Belanda untuk turut bergabung memberikan catatannya. Dalam pernyataannya ia mengatakan bahwa dalam kasus Heri Budiawan ini ia tidak melihat adanya bukti yang dituduhkan. Sehingga menurutnya, unsur pidananya tidak terpenuhi. Bahkan unsur penggulingan pemerintahan yang sah sebagaimana tertuang dalam UURI No 27 Tahun 1999 yang dituduhkan terhadap Heri Budiawan juga tidak ada.

Surabaya, 4 April 2019

Hormat Saya,

Fanny Tri Jambore Christanto

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur

 

Tanggapan Redaksi:
Terima kasih atas hak jawab yang diberikan. Dengan ini timesbanyuwangi.com meminta maaf kepada Heri Budiawan (Budi Pego) dan para pembaca, yang merasa dirugikan atas berita yang tidak berimbang. Kedepannya, timesbanyuwangi.com akan memberikan porsi pemberitaan yang berimbang kepada semua pihak yang terkait dalam pemberitaan. Kedepannya, kami akan konsisten melakukan verfifikasi pada setiap pemberitaan yang dimuat di timesbanyuwangi.com.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur
Sumber : TIMES Banyuwangi

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES