Tirta Amerta, Produk Inovatif Siswa Cendekia Diusulkan Jadi Program Nasional

TIMESINDONESIA, BALI – Tirta Amerta, produk dari siswa SMP dan SMA Cendekia Harapan, diusulkan jadi produk nasional. Produk tersebut diberi nama Tirta Amerta, Melali, Zero Waste, dan space saving design product.
Produk-produk inovatif yang ditampilkan para siswa itu mengusung ide besar memperbaiki bangsa dan aksi nyata. Dari aneka produk-produk tersebut dipamerkan di stan acara Indonesia Science Day 2019, yang diselenggarakan dalam rangkaian HUT PP-IPTEK, di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Advertisement
Saat itu, sebanyak delapan tunas muda dari SMP dan SMA Cendekia Harapan membawa semangat ‘berbagi’ di acara Indonesia Science Day 2019.
Di tengah viralnya virus games dan media sosial dikalangan generasi milenial, siswa-siswi Cendekia Harapan, yang mayoritas berumur 13-16 tahun itu, sukses mengusung kepedulian terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Tak banyak bersuara, namun semua bentuk kepedulian para siswa itu diwujudkan dalam produk Tirta Amerta, Melali, Zero Waste, dan space saving design product.
Stan yang diisi produk tersebut, dihias dengan cantic. Yang berbeda dari stan lainnya, para siswa menghias stannya dengan aneka khas bernilai kebangsaan yang berbeda beda tetapi menunjukkan kecintaan yang besar dan kepedulian mendalam akan masalah di Indonesia lewat inovasi. Mereka seakan menjawab permasalahan di Indonesia dengan hasil produk-produk yang dipamerkan.
Dr Lidia Sandra, M Comp Eng Sc, principal sekolah Cendekia Harapan mengulas bagaimana produk Tirta Amerta dibuat atas dasar keprihatinan terhadap kondisi sungai-sungai di Indonesia yang kian hari semakin memudar kejernihannya.
Terlihat dari sorot mata para siswa itu, sangat besar harapannya akan air bersih dan sehat sehingga mereka membuat produk tersebut. Produk Tirta Amerta bahkan diusulkan untuk dijadikan sebagai proyek nasional dalam rangka peningkatan kualitas mutu air dengan menggunakan parameter derajat keasaman (pH), kekeruhan, dan kesadahan air.
Menurut Dr Lidia Sandra, di kota-kota besar saat ini, seperti di Jakarta, memiliki kondisi sungai yang sangat memprihatinkan. Bahkan sungai-sungai di desa-desa terpencil pun tak luput dari limbah rumah tangga yang dibuang langsung ke sungai.
Selain berkutat pada masalah air bersih, produk yang dihasilkan para siswa itu, juga menunjukkan keprihatinannya terhadap manajemen limbah pertanian.
“Negara Indonesia yang mampu menghasilkan 56,54 ton per tahunnya, menyisakan permasalahan pada pengelolaan limbah jerami,” katanya.Walaupun jerami telah dimanfaatkan menjadi pakan ternak ataupun biogas, kenyataannya 80 persen petani masih melakukan pembakaran jerami.
Pembakaran jerami jelasnya, menjadi jalan pintas petani dalam mengejar siklus penanaman padi. Dampak dari pembakaran jerami, bukannya tak dirasakan oleh para petani. “Hanya saja mereka tidak menghiraukannya demi mengejar target produksi padi untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok masyarakat.”
Polusi udara, gangguan saluran pernapasan dan bahkan kecelakaan yang berujung kematian, seakan-akan hal yang biasa di sekitar area pembakaran jerami padi.
Hal yang tak banyak orang sadari, dibalik pembakaran jerami katanya, ternyata ada butiran-butiran silika yang dapat diolah menjadi produk-produk bernilai jual tinggi. Seperti keramik glow in the dark, gigi palsu (green teeth), dan silika gel untuk pengganti Freon AC.
Limbah minyak jelantah dari para pedagang gorengan pun tak luput dari rasa kepedulian para siswa-siswi Cendekia Harapan terhadap lingkungan. Minyak jelantah yang biasanya dibuang langsung ke tanah dan terkadang beberapa pedagang gorengan membuangnya ke sungai diolah menjadi sabun cuci tangan, sabun pel dan sabun cuci piring yang higienis.
Sampah bunga kenanga dan kamboja, serta kulit jeruk diubah menjadi pewangi untuk sabun tersebut. Tak hanya bagian dari tanaman yang sudah berguguran, daun liligundi pun tak luput dari tangan-tangan mungil ini dan diubah menjadi esensial oil dalam obat nyamuk elektrik.
Tanaman toga lainnya yang cenderung tidak disukai karena arona dan rasanya yang kurang enak juga diubah menjadi produk-produk yang menarik, seperti dodol jahe, wedang, dan coklat rempah.
Tumbuh di Negara Maritim yang sebagian aktivitas ekonominya berlangsung di atas kapal, dan siswa-siswi ini juga merasakan kegelisahan akan besarnya beban terkait awak kapal.
Kegelisahan tersebut menimbulkan keinginan untuk membuat kapal auto pilot untuk mengurangi awak kapal dan meningkatkan produktivitas di bagian perairan. Hingga saat ini, mereka sudah berhasil membuat prototype dari kapal auto pilot yang diharapkan mampu mengatasi masalah trasnportasi di perairan Indonesia.
Tak hanya transportasi laut, para siswa ini juga merintis sebuah trasnportasi di darat yang mampu mendeteksi keberadaan benda-benda di sekitarnya secara otomatis untuk mengatasi banyaknya kecelakaan yang terjadi di jalan raya.
Selain itu, berbagai save saving product design juga terlihat menghiasi meja pameran di stan Cendekia Harapan. Produk-produk tersebut tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi ataupun aksesoris. Melainkan juga memiliki fungsi-fungsi unik seperti pengontrol kebisingan dan pendeteksi aura dalam bentuk anting-anting.
Dari itu, Lidia Sandra mengajak para siswa untuk menyadari masalah di sekiling dan berbagi apapun yang dimiliki untuk mengatasi permasalahan tersebut. “Walaupun emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunya kuberikan padamu. Itu prinsip kami,” tegas Lidia Sandra.
Teknologi tidak harus fancy, tetapi sejatinya harus mampu memgatasi permasalahan yang ada di sekelilingnya. Untuk itu, kata Lidia, diharapkan lebih banyak sekolah mengusung metode seepeti sekolah CH yang memampukan anak-anak setiap semesternya menghasilkan produk dan tulisan untuk mengatasi masalah bangsa.
Sistem pendidikan yang diterapkan di CH Bali adalah sistem pendidikan yang non traditional di mana masing masing anak dibebaskan memgembangkan karya dan inovasi dan disupervisi untuk menghasilkan produk dan mendorong anak-anak menjadi ‘maker’ bukan consumer.
Apa yang diharapkan Lidia itu, jelas tergambarkan dalam produk-produk para siswa-siswi tersebut, yang dilatarbelakangi atas keprihatinan dan semangat untuk berbagi solusi dalam mengatasi masalah yang ada di sekitarnya.
Jika semangat berbagi kurang dari 10 generasi muda bangsa, dapat menjadi pendorong dalam diri setiap warga Negara Indonesia. Tentunya, masalah yang dihadapi Indonesia dapat terselesaikan dengan cepat.
“Sudah saatnya kita mematahkan semangat entrepreneur yang selalu mengambil keuntungan dari suatu produk. Hanya membuat robot dengan membeli sparepart. Kini, harus juga banyak focus pada memberikan ketulusan dalam fungsi atau keberadaan sebuah produk,” katanya.
Karena tambah Lidia, hidup bukan hanya sekedar apa yang kita dapatkan pada dunia. Tetapi apa yang kita sudah berikan kepada dunia. “Tirta Amerta dan produk inovatif lainnya, karya Siswa Cendekia adalah salah satu perjuangan siswa untuk dunia, yang diusulkan jadi produk nasional,” jelasnya.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Sumber | : TIMES Bali |