Razia Buku Haluan Kiri Alarm Tanda Bahaya Komunitas Literasi

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Das Kapital disweeping. Geger perampasan beberapa karya besar Karl Marx di Makassar tersebut memantik reaksi sejumlah pihak. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya menggelar diskusi Buru Hantu Razia Buku di C2O, Rabu (7/8/2019).
Abdul Wachid Habibullah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya dalam diskusi menegaskan jika Negara saja dilarang mensweeping buku apalagi oleh organisasi masyarakat yang baru-baru ini terjadi di Toko Buku Gramedia, Trans Studio Mall Makassar.
Advertisement
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 13 Oktober 2010 telah mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan Agung untuk melarang buku. Pelarangan buku hanya bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan.
“Negara tidak boleh melakukan tindakan sewenang-wenang karena ini negara hukum. Kegiatan melarang, menyita dan tidak boleh diedarkannya suatu barang harus melalui keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai proses legitimasi upaya penegakan hukum yang berlaku,” tegas Abdul Wachid.
Sebelumnya, kejadian serupa juga menimpa dua penggiat literasi di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Muntasir Billah (24) dan Saiful Anwar (25) harus berurusan dengan polisi karena membawa empat buku bertemakan komunisme dan D.N. Aidit, salah satu tokoh penting Partai Komunis Indonesia atau PKI.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyitaan harus melalui putusan pengadilan tidak bisa dilakukan bahkan oleh polisi sekalipun maupun Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Harus melalui penyelidikan, penyidikan hingga proses pengadilan,” tandasnya.
TNI, lanjut Wachid, hanya memiliki kewenangan untuk melindungi ancaman dari luar terkait militer bukan ancaman ideologi. TNI bisa masuk ke arah penegakan hukum berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“TNI bisa diperbantukan oleh polisi ketika tidak mampu, namun itupun di bawah persetujuan DPR. Selama tidak ada persetujuan, TNI tidak boleh masuk ke ranah sipil. TNI harus masuk ke barak dan tidak boleh mencampuri penegakan hukum apapun,” kata Abdul Wachid.
Mempelajari ajaran komunisme sendiri, menurut Wachid bukanlah sebuah tindak pidana karena termasuk kajian akademik. Bukan hanya di kampus saja tapi di semua tempat.
Dalam kesempatan yang sama, salah satu peserta diskusi, menuturkan, saat kran literasi di buka, anak-anak muda akan mencari gagasan untuk mengakhiri ancaman eksploitasi.
“Oleh karena itu banyak anak muda mulai membaca karya-karya tentang Marxisme hingga memakai atribut Che Guevara,” ungkap Moses, dari Majalah Revolusioner.
Abdul Wachid menambahkan, buku berhaluan kiri maupun barang cetakan tidak bisa semena-mena disita. “Sahabat literasi harus bisa melawan dan memilki keberanian. Prinsip harus jelas selama belum ada penetapan pengadilan tidak boleh ada Razia Buku. Selama tidak ada semua bebas karena kran itu dibuka,” ucapnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |
Sumber | : TIMES Surabaya |