Gelombang Demonstrasi Mahasiswa, Jangan Disikapi dengan Represif

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Gelombang demonstrasi terjadi dalam beberapa hari ini di beberapa kota besar di Indonesia. Di Jakarta, dari hari Selasa sampai Kamis (24-26/9/2019), terjadi gelombang demonstrasi yang dikuti ribuan orang. Di Yogyakarta juga begitu. Aksi Gejayan Memanggil telah berhasil membuat ribuan mahasiswa turun ke jalan.
Bagitu juga di Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, bahkan di kota-kota kecil, gelombang demonstrasi yang dimotori para mahasiswa tak terbendung. Mereka satu suara menentang sejumlah RUU yang dianggap akan memberangus demokrasi dan juga mengamputasi KPK. RUU yang ditentang antara lain RUU KUHP, RUU Pertahanan, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba dan RUU KPK yang kadung telah disahkan.
Advertisement
Parlemen pun setelah dikepung demonstran dalam tiga hari terakhir, memutuskan untuk menunda pengesahan RUU KUHP, RUU Pertanahan dan RUU Pemasyarakatan. Sementara untuk UU KPK yang telah disahkan, para mahasiwa menuntut Presiden agar mengeluarkan Perppu, membatalkan pasal-pasal yang dinilai akan melemahkan komisi antirasuah.
Demonstrasi yang terjadi tak adem ayem saja. Di Jakarta, demontrasi berujung bentrok. Sejumlah demonstran luka-luka. Pun, beberapa aparat kepolisian yang mengamankan demonstrasi ikut jadi korban. Sampai sejauh Ini, korban akibat bentrok dalam demonstrasi masih sebatas korban luka. Korban paling parah adalah satu mahasiswa Al Azhar mengalami pendarahan otak.
Tidak hanya bentrok, demonstrasi di ibu kota juga diwarnai aksi intimidasi dan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap jurnalis yang sedang tugas meliput. Aksi polisi ini dikecam banyak pihak. Menyikapi ini, Presiden Jokowi di Istana Negara mengatakan, dirinya telah memerintah Kapolri agar tak represif dalam menangani demonstrasi.
Sampai kemudian kabar mengejutkan datang dari Kendari. Di ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara juga terjadi demonstrasi pada hari Kamis (26/9/2019). Motornya adalah para mahasiswa Universitas Halu Oleo. Mereka tak mau kalah dengan saudaranya di kota besar lainnya, ikut turun ke jalan menentang sejumlah RUU yang kontoversial.
Dalam demonstrasi di Kendari, bentrok juga tak terhindarkan. Sejumlah peserta unjuk rasa mengalami luka. Beberapa media online mengabarkan, tak hanya korban luka. Seorang mahasiswa tewas. Diduga kena tembakan. Mahasiswa yang dikabarkan tewas itu bernama Randi (21). Ia tewas dengan luka tembak di bagian dada kanannya. Begitu beberapa media online mengabarkan.
"Korban dibawa sudah dengan kondisi terluka di dada sebelah kanan selebar 5 cm, kedalaman 10 cm akibat benda tajam. Luka tembak, belum bisa dipastikan peluru karet atau peluru tajam," kata dokter Yudi Ashari yang menangani korban di Rumah Sakit Ismoyo Kendari, dilansir dari Kompas.com, Kamis (26/9/2019) malam.
Masih belum dipastikan jenis peluru yang menewaskan Randy. Namun, penjelasan dokter Yudi, diketahui, bahwa peluru tidak mengenai organ vital, tapi udara yang masuk ke dalam rongga dada tidak bisa keluar atau menekan ke dalam
Tak mau berspekulasi soal jenis peluru pemakan korban jiwa itu, Tim dokter lebih memilih menunggu hasil otopsi untuk memastikan hal tersebut. "Udara terjebak di dalam rongga dada atau nemotorax, sehingga menyebabkan korban meninggal dunia," ujar Yudi.
Polda Sultra berdalih, selama pengamanan aksi unjuk rasa mahasiswa di gedung DPRD Sulawesi Tenggara, tidak ada aparat yang dibekali peluru tajam. Mereka hanya membawa tameng, tongkat, water canon dan gas air mata.
"Anggota tidak pakai peluru tajam, peluru karet maupun peluru hampa dalam pengamanan aksi hari ini. Untuk cari penyebab korban meninggal dunia masih kita tunggu hasil otopsi di RS Kendari," kilah Kabid Humas Polda Sultra AKBP Harry Golden Hart.
Lantas siapa pemilik peluru tajam yang sudah menelan korban jiwa itu. Melansir dari Liputan6.com, sesaat sebelum insiden, terjadi kericuhan antara mahasiswa dan polisi di depan Kantor DPRD Povinsi Sulawesi Tenggara sekitar pukul 16.40 WITA.
Saat itu, massa demo mahasiswa berusaha masuk ke depan gedung sekretariat DPRD sejak aksi mulai digelar pukul 13.00 Wita. Polisi kemudian melepaskan ratusan tembakan gas air mata dan peringatan.
Karena massa makin beringas dan terus melakukan perusakan di sekitar Kantor DPRD, polisi melepaskan tembakan ke arah mahasiswa. La Randi, saat itu diduga terkena tembakan yang diarahkan dari sejumlah polisi yang berjaga di Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara. Saat itulah, La Randi terkena tembakan pada bagian dada kiri.
"Dia sempat kami berusaha selamatkan, namun sulit bernapas karena kena bagian dada," ujar Ardian, saksi mata di lokasi kejadian seperti diberitakan Liputan6.com, di hari berita ini diterbitkan.
Pemilik peluru tajam memang belum bisa dipastikan. Namun yang pasti, Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Najih Prastiyo, menegaskan, peristiwa ini adalah bukti nyata dari tindakan represif yang dilakukan pihak keamanan terhadap mahasiswa yang ingin menyuarakan aspirasinya.
“Kami, IMM se-Indonesia menyatakan bela sungkawa yang mendalam atas meninggalnya salah satu kader IMM yang tertembak peluru tajam ketika melakukan aksi unjuk rasa di Kendari, Sulawesi Tenggara. Ini adalah kehilangan yang sangat besar bagi kami," ungkap Najih.
Perlu dipertanyakan prosedur pengamanan aksi yang kemudian sampai menodongkan senjata dan terjadi penembakan meregang nyawa itu. Menurut dia, tidak dibenarkan prosedur pengamanan aksi sampai dengan terjadi penembakan peluru tajam.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga dituntut segera mencopot Kapolda Sulawesi Tenggara karena dinilai gagal dan lalai dalam memberikan jaminan keamanan bagi mahasiswa melakukan aksi demonstrasi. Menurut Najih, penyampaian aspirasi secara lisan dan tertulis dilindungi oleh Undang-undang. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |
Sumber | : TIMES Jakarta |