Peristiwa Daerah

Semarakan Dies Natalis ke-64, Universitas Sanata Dharma Gelar Seminar Peran Kebudayaan

Jumat, 13 Desember 2019 - 12:10 | 50.82k
Antropolog Dr. Jean Couteau ketika menyampaikan materi. (FOTO: Ahmad Tulung/TIMES Indonesia)
Antropolog Dr. Jean Couteau ketika menyampaikan materi. (FOTO: Ahmad Tulung/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Masih dalam rangka memeriahkan nuansa Dies Natalis ke-64, Universitas Sanata Dharma (USD) menggelar Seminar Dosen. Seminar bertema Peran Kebudayaan dalam Strategi Pembangunan Bangsa ini dihadiri dua pembicara. Yaitu, Dr. Jean Couteau, Antropolog sekaligus Budayawan dan Yustinus Tri Subagya, M.A, Ph.D, dosen USD.

Kegiatan ini dikemas dalam bentuk pemaparan makalah dan tanya jawab. Untuk memperlancar rangkaian, Dosen USD Heri Setyawan S.J, S.S., M.A hadir sebagai moderator.

Advertisement

Rektor USD, Johanes Eka Priyatma, M.Sc, Ph.D mengatakan tema Dies Natalis USD ke- 64 ini dipilih berdasarkan berbagai perkembangan yang ada. Meskipun kita telah merdeka secara politik selama 74 tahun, namun kita masih berjuang keras membangun sistem demokrasi dan politik serta ekonomi yang mensejahterakan.

“Kita menyadari bahwa ada persoalan besar dalam merawat dan mengembangkan kebudayaan yang merupakan sinergi dari berbagai kebudayaan lokal,” kata Eka saat menyampaikan sambutan acara Seminar Dosen di Ruang Drost, Lt.4 Gedung Adminitrasi Pusat Kampus III USD, Paingan, Kamis (12/12/2019)

Jean dalam presentasi makalahnya terbagi menjadi tiga bagian, pertama mengkritik kebijakan kultural berlandaskan konsep “Jiwa Bangsa” yang masih menghinggapi kaum pengambil keputusan dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kehadiran konsep jiwa bangsa dan jiwa budaya sejak awal membayangi konseptualisasi tentang keIndonesiaan. Misalnya prinsip-prinsip Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika mengetengahkan suatu pluralisme deskriptif yang seolah-olah final dan abadi.

Konsep kebudayaan Ki Hajar Dewantara pun menurutnya paradigma jiwa bangsa yang serupa.

“Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah, dirumuskan dengan asumsi bahwa jati diri kultural daerah tetap kokoh dan stabil sepanjang masa,” jelasnya

Kedua, menjelaskan situasi dan konsekwensinya. Apa yang terjadi selama puluhan tahun di dalam ranah budaya. Oleh karena dianggap melekat dengan sedirinya pada bangsa Indonesia sebagai hakikat jati dirinya, kebudayaan dibiarkan berlangsung dengan begitu saja tanpa diimbuhi kebijakan yang relevan, tepat sasaran dan inovatif.

Ketiga, menawarkan pendekatan budaya yang bersifat lebih historis yaitu yang mengitegrasi perubahan sebagai keniscahayaan. Masalah yang sesungguhnya dari perubahan-perubahan yang digambarkan diatas bukanlah perubahan itu sendiri, tetapi ilusi pelestarian nir-historis yang menyertainya, hal mana yang menghambat kita untuk melihat kenyataan faktual dan dengan demikian menghambat kita untuk menyususn kebijakan-kebijakan yang tepat guna.

Sementara itu, Subagya mengatakan setelah 20 tahun reformasi berlangsung, kekerasan kolektif antar kelompok cenderung menurun cukup signifikan. Namun demikian, teror kadang-kadang masih menyebar, Persekusi dan intimidasi dari kelompok-kelompok dominan yang memaksakan kehendaknya masih sering terjadi di sana-sini.

“Masyarakat masih rentan mengalami perpecahan oleh politisasi identitas etnis dan agama” ungkapnya.

Menurutnya, persoalan-persoalan semacam itu tentu tidak bisa kita abaikan dalam proses pendidikan. Kita perlu memikirkan tidak hanya membekali mahasiswa dengan pengetahuan dan kecerdasan, tetapi juga perlu memperhitungkan dan mengetahui kondisi lingkungan alam dan situasi sosial masyarakatnya yang berubah dengan cepat.

“Bagaimana pun juga mahasiswa kita berasal dari daerah-daerah yang besar kemungkinan akan kembali berkarya di wilayah mereka masing-masing. Mereka harus tahu persoalan di lingkungan mereka dan menjadi agen bagi pembentukan masyarakat sipil yang kuat,” kata Subagya, dosen Universitas Sanata Dharma ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES