Peristiwa Daerah

Haji Masnuh 'Masrur & Son': Menempa Sekeping Harapan di Kampung Logam

Kamis, 06 Februari 2020 - 00:30 | 574.34k
Haji Masnuh, pemilik pabrik industri logam Masrur & Son menunjukkan produksi beton tiang penyangga yang akan dikirim ke Bali, Rabu (5/2/2020).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Haji Masnuh, pemilik pabrik industri logam Masrur & Son menunjukkan produksi beton tiang penyangga yang akan dikirim ke Bali, Rabu (5/2/2020).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Jalanan di seputaran Waru, Sidoarjo, di bawah fly over, cukup padat sore ini, Rabu (5/2/2020). Jalanan yang padat, sepadat rumah-rumah penduduk yang berdampingan dengan bangunan pabrik. Waru memang wilayah perbatasan antara dua kota, Surabaya dan Sidoarjo. 

Banyak kisah yang bisa dipetik dari penduduk sekitar Waru. Terutama kisah tentang perjuangan bertahan dari gempuran zaman, gempuran industri, serta gempuran teknologi. Bahwa, penduduk tidak hanya dituntut bertahan tetapi juga memanfaatkan ruang dan waktu untuk kesejahteraan. Bukan melawan tetapi beradaptasi dan bergerak maju. 

Advertisement

Jika dari arah Surabaya putar balik ke kanan, bisa jadi, tujuannya ke Terminal Purabaya. Namun jika belok ke kiri, menyeberangi rel kereta api dan sedikit sapa pada tukang becak serta penjual bunga, bakal menuju kawasan legendaris: Kampung Logam Ngingas.

Haji-Masnuh-a.jpg

Jaraknya cukup dekat dari jalan utama. Sekitar dua kilometer saja. Nah, setelah menempuh perjalanan sekitar 8 menit, sebelah kanan jalan, setiap pengendara bisa melihat dengan jelas Tugu Kampung Logam Ngingas. Cukup besar dan kokoh berlatar warna biru. 

Dahulu Kampung Logam terkenal dengan nama Kampung Pande Besi. Ceritanya, pasca kemerdekaan, penduduk di sekitar tempat itu membuat alat pertanian berbahan dasar besi. Pengerjaan dilakukan secara konvensional. 

Pada mulanya penduduk Desa Ngingas mayoritas petani, sedangkan pembuat logam berasal dari Desa Pandean. Namun banyak orang Ngingas bekerja di Desa Pandean. Kemampuan 'Mpu Gandring' itu kemudian diadopsi dan dikembangkan sesuai kebutuhan zaman. 

Pada masa itu profesi pande besi di Ngingas bisa dihitung dengan jari. Lalu sekitar tahun 1950-an, mereka berkembang menggunakan mesin las. Mulai membuat ring dan baut. Berkembang lagi membuat barang dari besi sebagai alat bangunan. 

Pada masa Orde Baru, Pemerintah Daerah Sidoarjo hendak melokalisir dan memindahkan Kampung Pande Besi dari Ngingas ke Trosobo. Tetapi warga menilai syaratnya terlalu rumit. Warga pun tegas menolak. 

Meredam relokasi itu, mereka sepakat menahbiskan Kampung Pande Besi sebagai Kampung Logam. Nama itu dikenal hingga detik ini melalui Tugu Kampung Logam. 

Tepat di seberang tugu, pintu gerbang megah dilengkapi seorang penjaga. Pintu gerbang tersebut adalah jalan menuju pabrik besi Masrur & Son. TIMES Indonesia mendapat kesempatan bertemu dengan pemiliknya. 

Adalah almarhum Haji Masrur Arif, salah satu yang mempelopori usaha logam di kawasan ini. Saat itu terdapat tiga kelompok pengrajin dan memiliki Koperasi Pande Besi di bawah pimpinan Haji Masrur Arif pada tahun 1960-an. Ia memiliki seorang putra bernama Haji Masnuh, yang kelak melanjutkan kejayaan Kampung Logam. Kala itu, Haji Masnuh masih sibuk menuntut ilmu di pondok pesantren.

Haji-Masnuh-b.jpg

Saat dijumpai di ruang kerjanya, Haji Masnuh nampak bersahaja. Senang berdiskusi dan membuka diri pada setiap pertanyaan yang diajukan oleh TIMES Indonesia. 

Ruang kerja Haji Masnuh cukup luas. Dia mengatakan jika ini adalah kantor bersejarah. Beberapa sertifikasi beton tiang listrik berbagai ukuran terpajang di tembok. Masrur & Son mengantongi 12 macam spesifikasi tiang listrik. Juga peta-peta wilayah persebaran distribusi produk. Hampir setiap pulau dijajaki, dari ujung Sumatera hingga Papua. Haji Masnuh berkata, ia ingin mengenang perjalanan bisnisnya melalui peta-peta tersebut. 

Dia lantas mempersilakan duduk di sebuah sofa coklat yang empuk. Koleksi stik golf terletak di sudut tembok. Dari sofa itu pula terlihat beberapa frame yang membingkai foto KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Haji Masnuh tersenyum lepas, sambil bercerita kekagumannya pada sosok begawan Nahdlatul Ulama tersebut. Maklum, mereka pernah satu pesantren. Keduanya sangat dekat. Bagai sahabat karib. 

Banyak kisah selama di pondok pesantren. Sampai akhirnya ia harus pulang dengan bekal ilmu agama yang cukup. Sekaligus belajar berwirausaha dan berbisnis agar bisa membawa manfaat bagi orang lain. 

"Saya masuk ponpes pada tahun 1960-1972 dan 1973 mulai menggeluti dunia (besi) itu," ungkap Haji Masnuh memulai kisah. 

Kendati demikian, sebelumnya ia justru memilih membangun kerajaan bisnis sendiri. 

"Saya tidak mau mewakili dunia itu dan membuat bisnis saya sendiri," sambungnya. 

Seiring berjalannya waktu, Haji Masnuh mengikuti jejak ayahanda tercinta. Dia pun mengembangkan usaha dengan nama Masrur & Son. 

Haji Masnuh mengajak warga sekitar untuk bergabung sebagai karyawan di perusahaanya. Termasuk pula memberi memberi arahan dan pelatihan. Tahun 1974 Haji Masnuh membuat gebrakan. Ia melirik potensi alat bangunan. 

"Karena dulu tidak ada konstruksi baja, saya berkembang di situ," urainya. 

Guna memperkuat lini usaha tersebut, pada 1976 Haji Masnuh merantau ke Kalimantan Selatan dan bertemu pemborong timber. Terjalin komunikasi antar kedua belah pihak. Mereka sepakat membangun bisnis bersama melalui tender proyek pengaman logging atau pengaman kayu sebelum diseberangkan lewat sungai. 

"Saya dipesani pengaman logging. Saya dapat proyek itu luar biasa. Bahan bekas saya sulap menjadi barang bagus," jelas Masnuh. 

Tidak berhenti di situ, Masnuh muda meningkatkan pengalaman dan memetakan kemungkinan yang bisa digali. Pada 1977 ia belajar membuat tiang beton PLN. Bahkan omset per tahun dari produk tersebut mencapai puluhan miliar rupiah. 

"Saya menang tender 20 persen saja bisa mencapai ratusan miliar rupiah," kisah orang kepercayaan Gus Dur itu. 

Demi mengikuti kebutuhan pasar, Masrur & Son juga membuat spare part sepeda motor dan mobil hingga membuat body kompor gas. 

Usaha dan terobosan Haji Masnuh tidak sia-sia. Kampung Logam Ngingas saat ini telah memiliki Koperasi Waru Buana Putra. Yaitu salah satu wadah untuk UMKM milik warga. Koperasi bersifat bimbingan. 

Dahulu, menurut pria yang akrab disapa Abah Masnuh ini, koperasi menyediakan material namun tidak tuntas dalam pengerjaannya. 

"Akhirnya saya direkrut menjadi penasehat di UMKM. Saya merasa terpanggil dan banyak mendengar keluhan," ujarnya. 

Upaya Haji Masnuh bahkan tidak hanya berkutat soal ekonomi. Dia memberi perhatian pula pada sektor tradisi dan spiritual. Konon, di Ngingas dulunya  ada seorang kiai sakti bernama KH Ashari. Rumah KH Ashari lantas dibeli oleh Haji Masnuh dan diwakafkan sebagai madrasah. 

"Akhirnya saya kembalikan sejarahnya," kata Haji Masnuh.

Menurut Masnuh, pada dasarnya, untuk terus mengibarkan sejarah butuh perjuangan. Saat ini Kampung Logam Ngingas membutuhkan sentuhan tangan pemerintah. 

“Perhatian Pemerintah Kabupaten Sidoarjo belum maksimal dan sekadar seremonial saja,” katanya. 

Uluran bantuan dari bank juga masih sangat diperlukan. Sebab, memang hanya10-20 persen saja usaha logam yang memenuhi persyaratan dari pemerintah. Menurut data, pengrajin Ngingas saat ini ada sekitar 300 lebih. 

Kampung Logam Ngingas memerlukan kehadiran bapak angkat. Tidak sekadar pandai mengarahkan, juga bisa menopang pendanaan agar geliat sentra pengrajin di sini tidak mati. Bapak angkat yang peduli Kampung Logam secara menyeluruh. Secara konsisten. Saat ini tercatat hanya Astra yang mensubkan spare part kepada pengrajin. 

"Astra hanya satu-satunya," tambah Masnuh 

Selain itu, pemerintah juga harus membentuk wadah. Sebab hanya sekitar  20-30 persen saja pengrajin yang memiliki izin usaha. 

Jika banyak proyek pemerintah turun, maka perputaran uang di kawasan ini bisa mencapai Rp 1 miliar - Rp 3 miliar per hari. 

"Sekarang yang kami butuhkan adalah bapak angkat untuk memback up misal dari dana hibah. Saya pernah membuat wacana seperti itu tapi tidak pernah digubris," tutur Masnuh.

Abah Masnuh memiliki harapan tersendiri terutama kepada Gubernur Jawa Timur. 

"Saya ingin gubernur datang melihat secara langsung pengrajin UKM di Kampung Logam. Sebab, biasanya pejabat ke sini hanya saat ada pameran saja. Semua diakui tapi pembinaan secara tuntas belum pernah ada," ungkapnya. 

Agar bisa bertahan, Abah Masnuh mencari bahan dari Krakatau Steel berupa sisa-sisa jatah untuk home industri. Tujuannya, agar bisa bersaing dengan pabrikan. 

"Saya harus mencarikan material yang murah agar mereka bisa bersaing," ujarnya. 

Sore itu dia mengajak TIMES Indonesia keliling pabrik. Luasnya sekitar 2,1 hektar. Terdiri dari gudang material, gudang produksi, gudang barang jadi, serta sebuah toko untuk menunjang keperluan pekerjaan sehari-hari UMKM. Barang-barang yang dijual langsung dari pabrik sehingga harga bersaing dengan yang lain. 

Gudang material digunakan untuk menyimpan bahan-bahan mentah sebelum diproduksi, seperti lembaran baja, lonjoran besi dengan berbagai ukuran serta mesin-mesin pemotong. Abah Masnuh sesekali tak segan menanyakan kesulitan karyawan. 

Gudang produksi terletak di belakang. Ratusan tiang-tiang beton penyangga dan tiang Penerangan Jalan Umum (PJU) siap dikirim ke luar pulau. Deru mesin las dan senandung tempaan besi seolah beriringan. Haji Masnuh pemilik Masrur & Son berkata jika sore ini adalah hari baik. Selain divisi instalatir yang membawahi banyak PT, Masrur & Son juga memiliki divisi travel dan pariwisata, properti, mini market, hingga SPBU. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur
Sumber : TIMES Surabaya

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES