Kisah Suami Setia Rawat Istrinya yang Lumpuh Tertimpa Reruntuhan Saat Gempa Palu

TIMESINDONESIA, PALU – Gempa Palu 28 September 2018 silam akan terus diingat. Abdul Gafur berjalan setengah berlari menuju rumah kosnya. Ia nampak tergesa-gesa. Sesampai di depan pintu rumah ia melepas kedua sepatunya lalu menuju ke kamar berukuran 3x3 meter.
Ia mengambil kursi roda dan meletakkan disamping ranjang tempat istrinya terbaring tak berdaya. Kedua tangannya mengangkat istrinya lalu dipindahkan ke kursi roda.
Advertisement
Lalu Ia mendorong kursi roda menuju ruang depan, sembari merapikan pakaian istrinya dan menutupi kedua kaki Paramita (29). Kedua kaki Paramita tidak bisa digerakkan lagi setelah tertimpa reruntuhan tembok rumahnya saat diguncang gempa 28 September 2018 silam.
“Waktu gempa lalu saya di dalam rumah. Pas Maghrib saya rasa goyang tanah, saya lari berusaha menyelamatkan diri keluar rumah tapi tertahan di ruang tamu. Tiba-tiba tembok roboh dan menimpa badan saya antara pinggul kebawah,” ujar Paramita sambil menghela nafas mencoba mengenang kembali peristiwa memilukan itu
Saat peristiwa itu terjadi, wanita berparas cantik itu hanya berdua bersama anaknya yang berusia 7 tahun. Ketika itu ia hanya bisa teriak minta tolong kepada tetangga. Beruntung ada tetangganya yang membantu karena memang saat kejadian suaminya berada di Kalimantan bekerja sebagai sopir di sana.
Saat kejadian itu, ia mengaku tetap sadarkan diri. Tapi ia belum mengetahui apa yang terjadi dengannya. Tiba-tiba Ia sudah berada di Taman Kota Doyota Puskud.
“Saat itulah saya baru mengetahui kalau kakiku sudah mati rasa. Setelah keesokan paginya adik dan kakakku membawa saya mengungsi ke Duyu selama dua hari,” ucapnya.
Ibu dua anak itu lalu dirujuk ke Makassar oleh tentara yang saat itu memberikan bantuan kemanusian kepada masyarakat yang mengalami cedera akibat gempa.
Setelah 6 bulan berada di Makassar, Paramita akhirnya pulang ke Palu bersama keluarganya dengan kondisi yang tidak normal lagi. Kaki yang lumpuh dan tangan kirinya patah.
Ia bersama keluarga memulai kehidupan baru, tak ada rumah dan barang-barang yang bisa diandalkan. Keadaan berubah. Rumah yang ia tinggali di BTN Puskud, Kelurahan Palupi, Kecamatan Tatanga, Kota Palu sebelumnya tak bisa ditinggali lagi.
Akhirnya mereka memutuskan tinggal di rumah kost Jalan Sungai Manonda, Lorong Syukur yang di sewakan Rp 500.000 per bulan. Dikala pagi hari tiba suaminya bergegas ke dapur, memasak, mencuci pakaian, memandikan kedua anak dan istri. Setelah itu ia memberi makan istri dan kedua anaknya.
Setelah semua urusan rumah tangga beres. Ia pun berangkat kerja sebagai buruh bangunan. Saat jam istirahat tiba, ia kembali ke rumah memberi makan siang istri dan kedua anaknya.
Begitu seterusnya hari-hari yang dijalani Gafur. Meski demikian ia lalui hari demi hari dengan bahagia.
Ia tak pernah mengeluh mengurus istrinya sekarang yang sudah mati rasa dari pinggang sampai kaki. Makan, baring, buang air pun mengandalkan suami. Sekarang pun Mita harus memakai popok.
“Saya tidak merasakan lagi, kapan waktu saya buang air kecil dan air besar. Sudah mati rasa dari pinggang sampai ke bawah. Selama hampir dua tahun kerja saya hanya baring. Beruntung suami dan kedua anak-anak saya Moh. Agung (7) dan Lutfia (6) sangat sabar merawat saya yang sudah tidak berdaya ini,” tuturnya.
Ia hanya pasrah menerima nasibnya yang kini hanya bisa duduk di kursi roda tanpa melakukan aktivitas lagi. Melihat kegigihan dan kesetiaan sang suami merawat dirinya menambah semangat hidup bagi Mita.
Untuk kebutuhan sehari-hari Gafur hanya mengandalkan hasil dari kerjaannya sebagai buruh bangunan. “Sehari saya biasanya mendapat upah 80 ribu dari buruh bangunan. Itu kalau pas ada yang panggil bekerja. Kalau tidak saya kembali menganggur di rumah,” terangnya.
“Ada juga biasa orang panggil kerja buruh. Cuma jauh. Kalau jauh kasian anak dan istri saya tidak ada yang urus. Kalau pun harus pergi jauh, bisa tapi tidak bisa bermalam. Yang menjadi kendala lain saya juga tidak ada kendaraan (sepeda motor),” tambahnya.
Soal bantuan, Gafur mengaku selama ini tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah.
“Saya sudah mencoba ke salah satu kantor kelurahan menanyakan apakah saya mendapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH). Namun, pegawai disana mengatakan dia akan menerima berkas yang saya bawa namun dia meminta saya agar jangan terlalu berharap,” terangnya.
Gafur berharap agar ia bisa mendapatan bantuan PKH dari pemerintah setempat. Selama ini ia hanya mengandalkan bantuan dari keluarga terdekat. “Alhamdulillah saudara-saudara saya bisa bantu meringankan beban saya. Biasa mereka membelikan pampers istri saya. Kadang juga mereka bawakan makanan,” tuturnya sembari mengenang Gempa Palu 2018 lalu. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Irfan Anshori |
Publisher | : Rizal Dani |