Anis Matta: Belajar dari Hagia Sophia, Turki Ingin Tunjukkan kepada Dunia sebagai Pemimpin Berdaulat

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Kebijakan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang berani mengembalikan fungsi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid menyiratkan pesan sendiri bagi dunia Internasional.
Menurut Anis Matta, di bawah Erdogan Turki ingin diakui sebagai negara berdaulat dan sekaligus pemimpin kawasan walau pun kebijakannya mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid mendapat tentangan dari berbagai pihak barat, UNESCO bahkan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
Advertisement
Pengamat geopolitik internasional itu menilai keberanian Erdogan mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid sangat layak untuk diapresiasi oleh masyarakat muslim dunia, termasuk muslim di Indonesia.
"Turki pemimpin kawasan. Itu pesan Erdogan di balik keputusan mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid setelah dijadikan museum oleh Attaturk sejak 1935," kata Anis dalam keterangan persnya.
Bagi Anis, pesan khusus Erdogan ini menyangkut pertarungan geopolitik yang hendak dimenangkannya. Ada strategi khhusus yang diinginkan Erdogan demi Turki.
"Ini pesan determinasi di tengah pertarungan politicall will secara geopolitik," jelas pria yang juga Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia ini.
Namun, di sisi lain upaya ini sebagai pendekatan baru Erdogan dalam geopolitik. Strategi ini diperlukan mengingat sudah hampir 10 tahun terakhir, Erdogan memimpin Turki terlibat konflik dalam berbagai titik seperti di Syiria, Yunani, Libya dan Yaman.
Anis Matta menilai titik balik Erdogan terjadi pasca gagalnya kudeta tahun 2016. Saat itu, kudeta militer yang disponsori negara-negara anti-Arab Spring seperti Arab Saudi dan UAE makin mengokohkan posisi internal Erdogan.
"Itu juga membuat Erdogan lebih berani melakukan intervensi militer di kawasan, seperti Libya dan suatu saat mungkin juga Yaman," jelasnya.
Kemudian adanya fenomena harga minyak yang jatuh memukul telak Arab Saudi, UEA, Rusia yang merupakan pemain utama dalam konflik geopolitik di kawasan tersebut.
"Pesan determinasi geopolitik Turki ini sepertinya dirancang dengan apik menuju pilpres terakhir Erdogan tahun 2024 mendatang," katanya.
Seperti diketahui, Hagia Sophia mulanya dibangun sebagai gereja Church of Holy Spirit atas perintah Kaisar Byzantium Justinian I pada abad ke-6. Beberapa pilar penyangga dalam bangunan tersebut diambil dari Ephesus dan Kuil Artemis.
Hagia Sophia juga merupakan salah satu dari katedral terbesar di dunia yang memiliki makna khusus bagi komunitas Orthodox.
Hagia Sophia sudah beberapa kali mengalami perubahan fungsi, serta dillakukan renovasi dan perluasan beberapa kali selama berabad-abad ini.
Pada masa Ottoman di Istanbul pada 1453, Hagia Sophia berubah fungsi menjadi masjid. Salah satu keunikannya adalah perpaduan mosaik khas era Byzantium dan kaligrafi dari masa Kesultanan Ottoman.
Bangunan dipercantik dengan arsitektur yang menampilkan elemen khas Kesultanan Ottoman. Beberapa elemen seperti mihrab dan mimbar, tempat para ustad berceramah, ditambahkan. Bahkan, sebuah perpustakaan juga dibangun di dalamnya.
Pada 1935, Hagia Sophia diubah menjadi sebuah museum. Meski begitu, dekorasi asli dari mosaik bunga dan geometris dari abad ke-7 masih bertahan.
Kemudian Pengadilan administrasi utama Turki mencabut status Hagia Sophia sebagai museum pada 10 Juli 2020.
Keputusan tersebut membuka jalan bagi pemerintah Turki untuk membuat situs bersejarah tersebut menjadi masjid. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan secara resmi mengubah Hagia Sophia menjadi masjid.
Pada Kamis (9/7/2020), UNESCO memberi peringatan kepada Turki bahwa perubahan status Hagia Sophia harus ditinjau oleh komite UNESCO. UNESCO mengungkapkan bahwa setiap perubahan dari sebuah situs yang berada di dalam daftar Situs Warisan Dunia harus diberitahukan terlebih dahulu dan melalui proses peninjauan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sholihin Nur |