Peristiwa Daerah

Eforia Kemerdekaan Indonesia Dibalik Dunia Tanpa Suara

Minggu, 30 Agustus 2020 - 11:34 | 125.54k
Shafira Sayu Salsabilla. (FOTO: Agung Sedana/ TIMES Indonesia)
Shafira Sayu Salsabilla. (FOTO: Agung Sedana/ TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Eforia Kemerdekaan Republik Indonesia setiap tahunnya yakin disambut suka cita tiap sudut nusantara. Sederet perayaan dan kegiatan Agustusan biasanya digelar. Namun di tengah glamor jaman dan riuh kemeriahan, ada dunia kontras kebisingan, yang memaknai kemerdekaan dengan bersahaja.

Ialah dunia tempat Shafira Sayu Salsabilla tinggal. Seorang gadis cantik berkebutuhan khusus asal Kabupaten Banyuwangi. Sepanjang 25 tahun sudah, merayakan kemerdekaan dari dunia tak bersuara. Dunia, tanpa irama atau notasi nada nyanyian syair kebangsaan, Indonesia Raya.

Advertisement

Familiar dipanggil Billa. Lahir 30 Juni 1995 atau lebih tua dari serial komik paling populer di Jepang saat ini, One Piece. Billa putri sulung dua bersaudara dari pasangan Saiful Rochman dan Sri Hartati. Namun tidak sepertinya, si bungsu dianugrahi kesempurnaan sejak dilahirkan.

Semasa kecil, Billa telah menjalani segala bentuk sikap diskriminasi dari teman lingkungannya. Tebang pilih pergaulan sukses menciutkan nyali dan mental Billa. Meski hanya visual, namun kasat mata menangkap tafsir yang berbeda atas sikap yang dipertontonkan teman sebaya terhadap dirinya.

Shafira Sayu Salsabilla a

Akan tetapi, Billa masih bersyukur. Ada hikmah di balik alasan Tuhan tidak mengizinkannya mendengarkan suara. Billa menganggap, Sang Pencipta secara istimewa menciptakan dunia kecil penuh warna untuknya. Yakni dunia tanpa polusi suara, terbebas dari ragam teriakan pertikaian dan ujaran kebencian sesama mahlukNya.

Di tahun 2020 ini, Indonesia genap merayakan usia kemerdekaan ke-75 yang secara kebetulan diperingati di tengah masa invasi virus asing, yang secara massif mengguncang roda perekonomian global. Gadis ini, tetap bersikeras tidak tunduk. Baginya, arti kemerdekaan adalah bagaimana cara memacu diri untuk enggan berhenti melakukan perubahan.

Ringkas kehendaknya, Billa ingin membawa seluruh arti kemerdekaan ini di dunianya. Sesederhana makna, merdekaku merdekamu. Adalah bagaimana Shafira Sayu Salsabilla memotret kemerdekaan secara sosial horizontal, ataupun vertikal.

Baginya, memerdekakan orang lain adalah cara dasar untuk tetap menjaga kemerdekaan Indonesia terus diklaim milik bersama. Bukan soal memberi atau sekedar bertujuan tepuk tangan tanda pujian, namun lebih condong memotivasi. Ini menyoal membebaskan belenggu mental dan anggapan rendah terhadap penyandang disabilitas sepertinya.

Shafira Sayu Salsabilla b

Secuil kisah Shafira Sayu Salsabilla. Sejak lulus dari SMALB Negeri Banyuwangi tahun 2013 lalu, Billa memilih untuk berdikari. Kini, sudah 7 tahun berlalu. Billa mendedikasikan diri sebagai tenaga bantu tata usaha (TU) di tempat ia bersekolah dulu. Tak cukup disitu, di sore harinya Billa juga bekerja di salon sembari bergantian mengajari anak-anak yang ingin berkiprah menjadi seorang model.

Selama itu, tidak terhitung sudah berapa sanjungan miring dan stigma rendah yang diarahkan orang lain terhadapnya. Namun Billa hanya menelan mentah begitu saja.

Dikala mentari sembunyikan wujudnya waktupun berganti. Shafira Sayu Salsabilla masih jua bekerja. Kini giliran Billa mengais rejeki dari berjualan kopi saji.

Sekali lagi, Billa berjuang keras seorang diri. Mengaplikasikan skill meramu bubuk emas hitam, menyajikan secangkir kopi bermodal pengalaman pelatihan empat tahun silam.

Setiap pundi – pundi dikumpulkan. Ditabung untuk nanti digunakan menyambung pendidikan di bangku kuliah. Betapa ingin dia menyandang status mahasiswa, menenteng laptop dan memakai almamater kampus kemana-mana.

Shafira-Sayu-Salsabilla-c.jpg

Ah, alangkah bahagianya Billa membayangkan diri sendiri memakai setelan jas mahasiswa. Ditambahkan lagi dengan tempelan logo kampus ternama di bagian atasnya.

Terbayang olehnya, status mahasiswa tersebutkan begitu keren di telinga. Apalagi ketika memasuki semester tua, dimana ada matakuliah yang mewajibkan satu kelompok melakukan pengabdian di sebuah desa. Saling berkerjasama, merumuskan program kerja, menyusun laporan, menjalani sidang, serta merasakan kesenangan tatkala menoreh nilai A di hasil ujian.

Angan Billa berlanjut membayangkan masa–masa muda di kampus. Merasakan jatuh cinta dengan seorang laki–laki berkacamata, mahasiswa senior semester tiga.

Hingga di ujung bangku perkuliahan, menghadapi kesulitan melakukan penelitian penyusunan skripsi. Ajukan judul, suruh revisi. Ajukan lagi, revisi lagi. Hingga akhirnya meraih gelar sarjana.

Namun semua angan itu tak mudah diwujudkan. Keterbatasan berkomunikasi verbal membuatnya sukar diterima pergaulan secara umum. Gadget di tangan pun hanyalah sebagai alat komunikasi bertukar tulisan. Meskipun di era demokrasi ini semua orang bebas bersuara, namun jaminan itu tidak berlaku untuknya.

Minimnya profesionalitas yang sedia menampung kaum disabilitas, membuat Billa harus menempuh jalan lain. Ibarat kata, ada sejuta rumus untuk menghasilkan angka Delapan. Lalu apalagi jika bukan bekerja siang dan malam yang bisa dia lakukan.

Memang, upah yang diperoleh tak seberapa, namun ragam upaya ini bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan perut semata. Cita-cita menjadi seorang guru dan angan–angan memiliki bengkel kecantikan, adalah pemicunya.

Atas kerja kerasnya dan semangat juangnya selama ini, gadis ini tentu mempunyai sebuah mimpi. Meskipun dalam arti sesungguhnya, mimpinya tak juga bersuara. Namun gadis ini selalu bermimpi ingin menjadi seorang guru pengajar ilmu komputer.

Tersebabnya, mengajarkan komputer kepada murid berkebutuhan khusus dapat menghadirkan kesenangan tersendiri bagi mereka. Dengan internet, setidaknya mereka bisa menikmati kebebasan. Meski hanya sebatas jelajah jempol yang berselancar di atas layar kaca.

Sehari sekali, Shafira Sayu Salsabilla berbalas pesan kepada TIMES Indonesia. Perlahan dia bercerita, mengungkapkan kesedihannya tatkala bulan Agustus tiba. Bukan sebab eforia, namun atas kesepiannya.

Ayah Billa adalah seorang seniman yang bekerja di dunia musik, sedangkan ibunya adalah wanita periang yang senang bernyanyi. Sering kali Billa menyaksikan keduanya berkolaborasi, kemahiran sang ayah memetik dawai disambut suara merdu sang ibu. Namun sekali lagi hanya sebatas persepsi visual semata, senyap tanpa suara.

"Ayahku kerjanya di musik dan mamaku suka nyanyi tapi saya tidak bisa mendengar. Ya saya sedih tidak bisa mendengar," tulis pesan Shafira Sayu Salsabilla, dikutip pada Minggu (30/8/2020).

Dari seluruh musik yang ada di dunia ini dan juga miliaran ragam suara di bumi, terdapat dua suara yang sangat Shafira Sayu Salsabilla ingin dengarkan. Yakni suara adzan dan lagu Indonesia Raya.

"Lagu Indonesia Raya. Suara adzan shalat," kata Billa dalam pesan singkatnya.

Shafira-Sayu-Salsabilla-d.jpg

Sebagai minoritas, tak banyak yang bisa dilakukan olehnya. Alih–alih memprotes mayoritas, dia lebih memilih memperkaya keahlian dan pengalaman diri. Menyesuaikan dan mengikuti setiap perubahan dari balik dunia tanpa suara.

Ibarat kata, keberadaan kolam kecil akan menjadi surga ditengah gurun pasir, dibandingkan sebuah telaga di musim penghujan. Sesederhana apapun caranya, pastilah berguna seperti satu pendar cahaya ditengah kegelapan. Merdekaku, merdekamu. Inilah cara memaknai Kemerdekaan Indonesia bagi Shafira Sayu Salsabilla. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES