Akademisi IAIN Jember Sebut Kaum Muslim Minoritas di Luar Negeri Masih Hadapi Banyak Masalah

TIMESINDONESIA, JEMBER – Akademisi IAIN Jember (Institut Agama Islam Negeri Jember) Prof Dr M. Noor Harisudin mengatakan bahwa hingga saat ini kaum muslim yang menjadi minoritas di berbagai negara masih menghadapi berbagai persoalan.
Menurutnya, persoalan tersebut di antaranya masih adanya islamophobia yakni ketakutan masyarakat terhadap orang Islam, tidak terintegrasinya dengan komunitas-komunitas lokal, stereotip media yang menyebutkan Islam adalah agama kekerasan atau teroris, fasilitas ibadah yang terbatas seperti masjid dan tempat wudu, sulitnya memperoleh makanan halal, dan negara yang hanya memberikan perlindungan bukan fasilitas.
Advertisement
Prof Haris yang juga menjabat Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember tersebut mencontohkan dengan pengalamannya ketika berkunjung ke Taiwan beberapa waktu lalu.
Menurutnya, di Taiwan ada beberapa persoalan yang dihadapi oleh warga muslim, salah satunya ketika akan menjalani salat Jumat.
“Masyarakat muslim di Taiwan menghadapi banyak tantangan dalam menjalankan ibadah seperti salat Jumat, misalnya sebagaimana dialami oleh seorang muslim yang bekerja di peternakan babi. Dikarenakan masih dalam keadaan jam kerja ditambah dengan jarak tempuh masjid yang bisa memakan waktu hingga 7 jam, menjadikan dirinya tidak bisa untuk melakukan salat Jumat,” kata Prof Haris dalam keterangan pers yang diterima TIMES Indonesia, Rabu (11/11/2020).
Dia menerangkan, jumlah populasi pemeluk agama Islam di dunia hanya mencapai 23% yang mayoritasnya berada di negara-negara Asia dan Afrika. Sedangkan 77% didominasi oleh masyarakat pemeluk agama selain Islam yang umumnya berada di Amerika, Australia, dan Eropa.
Berdasarkan data yang dimilikinya, 5 negara yang mayoritas muslim antara lain Indonesia (87.2%), Pakistan (96.4%), Bangladesh (90.4%), Mesir (94.7%), dan Turki (98.6%). Dan 5 negara yang memiliki muslim minoritas yaitu Tiongkok (4%), Belanda (5%), Amerika Serikat (0.9%), Australia (2.6%), dan Jerman (5%).
"Bin Bayyah (Abdallah bin Mahfudh ibn Bayyah, pakar fikih dari Arab Saudi, Red) menyebutkan hukum fikih adalah solusi yang tepat bagi muslim yang berada di luar negara Islam. Sementara saya menyebutkan Fiqh Al-Aqalliat adalah fikih yang menjadi tawaran terbaik karena khusus untuk kaum muslim minoritas dengan berdasarkan kepada hajat dan perspektif darurat karena keterbatasan-keterbatasan tertentu,” jelas Prof Haris yang juga Direktur World Moslem Studies Center (Womester) Bekasi tersebut.
Tidak hanya itu, menurutnya, terdapat beberapa teori dalam Fiqh Al-Aqalliat selain hajat dan perspektif darurat, yakni rukhsah (dispensasi), perspektif maqashid syariah, dan perspektif urf shahih (kebiasaan baik).
Oleh karena itu, dia juga menawarkan solusi yang tepat dari permasalahan yang dialami oleh muslim minoritas di Taiwan atau di negara lainnya.
Ia menilai bahwa rukhsah merupakan solusi yang tepat bagi kaum muslim yang kesulitan dalam menunaikan ibadah.
“Dalam keadaan tersebut, mereka bisa mendapatkan rukhsah (dispensasi),” jelasnya.
Selain itu, Prof Haris juga menyarankan agar kaum muslim yang hidup di wilayah muslim minoritas, untuk selalu berdoa agar diberi pekerjaan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan mudah.
Pada sisi lain, dia juga mendorong agar komunitas-komunitas Islam yang menjadi minoritas dapat berdialog dengan pemerintah negara untuk menyamakan persepsi.
“Saya kira, harus dimunculkan Islam Perancis, Islam Australia, Islam Amerika, Islam Belanda, dan sebagainya. Maksudnya Islam hasil berdialog dengan nilai-nilai lokal dunia. Agar terbangun kesepahaman dan lalu muncul toleransi antarsesama," tuturnya.
"Kita harus memahami mereka dan mereka juga dapat memahami kita. Yang tengah viral di Perancis hari ini, menurut saya, karena hal-hal seperti ini. Mestinya kebebasan berekspresi di Perancis harus menghormati agama-agama dan nabinya,” ujar Prof Haris yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah NU Jawa Timur.
Akademisi IAIN Jember dengan segudang pengalaman itu juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk lebih intensif dalam melakukan pendampingan dan pemberdayaan warganya, khususnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang beragama Islam di luar negeri. ”Jangan hanya devisanya saja yang diharapkan, namun kewajiban pemerintah harus hadir yakni memberi pencerahan dan pemberdayaan kaum muslim Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di negeri minoritas muslim," imbuh pria yang dipercaya menjadi Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia (ASPIRASI) itu. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dody Bayu Prasetyo |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |