Pendiri Padepokan Nyai Surti: Dikira Dukun, Keluar Masuk Gereja Hingga Nulis Buku

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Bangunannya memang tak semegah padepokan pada umumnya. Tapi visi Padepokan Nyai Surti dalam membentengi kebudayaan, keberagaman dan nilai-nilai kearifan lokal tak perlu dipertanyakan lagi. Tak heran jika padepokan ini mulai dilirik tim dari Ijen Geopark.
Berlokasi di Dusun Tajung Desa Maskuning Kulon Kecamatan Pujer Bondowoso Jawa Timur. Pendirinya adalah anak muda bernama Muhammad Afifi.
Advertisement
Ditemui di padepokan. Afifi sedang menerima tamu kalangan mahasiswa. Mereka sedang berdiskusi di bangunan inti padepokan yang diberi nama 'Pangkalan Ide'. Dalam menerima tamu-tamunya ia mengenakan pakaian khas Nusantara. Hal itu bagian daripada edukasi kearifan lokal.
Tak hanya mahasiswa, sejumlah peneliti, arkeolog senior dari BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Jatim hingga tokoh agama datang dan berbagi pengetahuan di padepokan ini.
Namun upaya mendirikan padepokan Nyai Surti tidak lah mudah. Apalagi tujuannya mebangun paradigma masyarakat. Tentu banyak rintangan dan proses yang harus dilalui. Terutama oleh pendirinya.
Dikira Dukun
Usia padepokan ini sudah hampir tiga tahun. Didirikan pada 21 April 2018 lalu. Tujuannya tak lain adalah untuk meruwat kebudayaan dan kearifan lokal yang ditinggalkan nenek moyang.
Bagi Afifi, kebudayaan tidak cukup hanya diucapkan lewat bahasa verbal atau kata-kata di mimbar atau di ruang kelas. Tapi harus diwujudkan dalam bentuk visual.
Untuk mewujudkan itu, padepokan Nyai Surti dibangun berlatar belakang nuansa klasik dengan bahan dasar kayu dan bambu. Bahkan inti bangunan merupakan bekas rumah yang didirikan sekitar 1940 silam.
Ia pun mengumpulkan teknologi kuno dan peralatan khas Nusantara peninggalan sejarah. Mulai dari mesin ketik, replika batu megalitik, keris, kendi, peralatan dapur dan semacamnya. Tak hanya itu, dalam kesehariannya ia menggunakan pakaian khas Nusantara.
"Awal mendirikan ini, saya dikira dukun atau paranormal oleh tetangga. Banyak yang bertanya ke orang tua saya. Apakah saya ini dukun. Bahkan tak jarang orang datang ke rumah untuk menanyakan langsung," kenangnya sambil tersenyum kecil mengingat masa lalunya itu.
Bahkan suatu ketika saat membersihkan dan merawat batu megalitikum yang ada di desanya, ia dikira murtad. Desa Maskuning Kulon memang kaya peninggalan prasejarah yaitu batu megalitik. Total ada 58 terdiri dari 57 Batu Dolmen dan 1 Batu Dakon.
"Ketika saya mengadakan kegiatan dan bersih-bersih di area Megalitikum. Malah saya dikira menyembah batu dan dituding pemuja berhala. Tuduhan itu datang dari salah seorang kerabat malah," terangnya.
Ia pun merasa heran, kenapa masyarakat justru merasa asing dengan budayanya sendiri. Baik Soal pakaian, rumah, teknologi dan semacamnya. Sebaliknya mereka lebih membanggakan budaya luar.
"Bukan berarti kita harus menutup diri. Sesuai konsep Gus Dur. Kita harus menjaga nilai-nilai lama yang baik dan boleh mengadopsi hal baru yang lebih baik," terangnya.
Keluar Masuk Gereja
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan Madura. Tahun 2015 ia bergabung dengan GusDurian Bondowoso. Sekarang ia dipercaya sebagai kordinator.
Di organisasi inilah ia mulai belajar banyak hal. Salah satunya tentang kearifan lokal dan keberagaman. Bahkan padepokan Nyai Surti dibagun dengan 9 nilai Gus Dur.
Sebagai Kordinator GusDurian dan founder Padepokan Nyai Surti. Membuatnya bersinggungan dengan pemuda dan tokoh lintas agama. Setiap hari besar umat Kristiani ia bersama rekan-rekannya yang lain tak jarang ikut mempersiapkan kegiatan di Gereja.
"Apa yang kami lakukan tentu mendapatkan tanggapan pro dan kontra. Tapi bagi kami harus membuka diri. Tak boleh membuat tembok tebal antara golongan di luar kita. Sebab Kemanusiaan di atas segalanya," jelas mantan Aktivis PMII tersebut.
Pria yang secara kultural dan struktural merupakan kader NU (Nahdlatul Ulama) itu, sudah terbiasa sambutan dalam Peringatan Hari Toleransi Internasional di Greja Kristen Indonesia (GKI) Bondowoso.
Tak hanya itu, ia juga mengambil bagian dalam Peringatan Hari Sumpah Pemuda di GKI Bondowoso. Menjadi pembicara dalam diskusi Peringatan Hari Paskah di GKI. Memimpin doa saat Paskah, Sambutan Perayaan NATAL Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan sejumlah kegiatan lainnya di gereja.
Bahkan ia juga sempat jadi pembicara bagi penganut Agama Baha'i di Banyuwangi. Yaitu agama monoteistik yang menekankan pada kesatuan spiritual bagi seluruh umat manusia.
Agama Baha'i lahir di Persia (sekarang Iran) pada tahun 1863. Pendirinya bernama Mirza Ḥusayn-Ali Nuri yang bergelar Baha'ullah.
"Soal keyakinan beragama atau akidah kita boleh beda. Tapi soal toleransi, keberagaman, kemanusiaan dan gotong-royong harus menjadi keyakinan bersama," tegasnya.
Sudah Punya Dua Buku
Bagi pria kelahiran 1994 ini, kebudayaan tidak cukup hanya visualisasi. Tapi wajib dibarengi dengan kesadaran literasi. Sebab akan menjadi percuma jika kegiatan kebudayaan tak diabadikan dalam tulisan.
Ia sendiri sudah rutin menulis di berbagai kolom di sejumlah media online dan majalah. Bahkan pria yang akrab dipanggil Afifi ini sudah menulis dua buku. Pertama 'Mantra dari Langit" dan 'Wasiat Nyai Surti" (proses cetak). Dalam buku itu ia berdialog dengan sosok fiktif Nyai Surti tentang interelegius.
"Buku Mantra dari Langit itu sebenarnya tulisan refleksi saya dari apa yang saya alami dan saya temui. Juga dikawinkan dengan literatur kepesantrenan yang selama ini saya ampu," katanya.
Adapun sosok bernama Nyai Surti adalah tokoh fiksi yang ia angkat untuk menyampaikan tentang keberagamaan atau keinterelijiusan. Bagaimana merelasikan agma dan budaya, serta cara berperan antara keduanya.
"Saya gambarkan di tulisan itu sebagai ulama perempuan atau Mak Nyai yang senang mengasingkan diri," jelasnya.
Adapun pola penyampaian Nyai Surti adalah marah-marah. Kenapa perempuan? Karena kalau laki-laki maskulinitasnya kuat dan sudah biasa kalau laki-laki marah.
"Sosok perempuan saya hidupkan dan wataknya keras. Cukup berhasil. Secara substantif, itu cara kita memarahi diri sendiri. Sebetulnya saya memarahi saya. Lazimnya orang kan memarahi orang lain. Sekarang gunakan energi marah itu diri sendiri," paparnya.
Adapun sublimasi nilai dalam sosok kasar Nyai Surti adalah 9 nilai Gus Dur. Yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan lokal.
"Sebenarnya saya ingin mengajak pembaca terutama saya agar tak mudah terpengaruh dengan marah itu. Bahwa ada marah yang tidak berkonotasi negatif. Tak semua yang halus baik dan tak semua yang marah itu jelek," terangnya sambil menunjukkan gambar buku keduanya.
Sebaimana diberitakan sebelumnya, kemajuan teknologi komunikasi yang telah memangkas jarak antar negara dan terus mengikis kebudayaan lokal, juga menjadi latar belakang didirikannya padepokan Nyai Surti tersebut. Ia berharap generasi bisa bangga dengan budaya sendiri. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |