Peristiwa Daerah

Korban Bom Bali I Akhirnya Terima Kompensasi: Paru-paru Saya Dipotong Akibat Ledakan Bom 

Rabu, 03 Februari 2021 - 19:25 | 114.10k
Tangis haru keluarga saat mengantar Gatot Indro Suranto menerima kompensasi korban terorisme masa lalu dari Negara, Selasa (2/2/2021).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Tangis haru keluarga saat mengantar Gatot Indro Suranto menerima kompensasi korban terorisme masa lalu dari Negara, Selasa (2/2/2021).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – "Saya waktu itu mau pulang bersama dua teman saya dan jarak mobil kantor yang saya kendarai sekitar 7-8 mobil di belakang mobil yang membawa bom," kenangnya tentang kejadian Bom Bali I

"Alhamdulillah mukjizat juga mungkin dari Allah, kami bertiga masih hidup. Di belakang saya mobil ke delapan sampai mobil ke-21 meninggal semua."

Advertisement

Kenangan tragis itu menghampiri Gatot Indro Suranto sembari melangkah tertatih menuju meja administrasi.

Jalannya begitu pelan dipapah perempuan setengah baya kerabat dekat. Tak banyak senyum, seakan menahan derita yang 19 tahun terakhir ia alami. Peristiwa bom Bali I masih lekat dalam ingatan.

Korban Bom Bali I Terima Kompensasi b

Pria berusia 51 tahun tersebut selesai menandatangani berkas bermeterai di Ruang 10 November Hotel Santika Premier Gubeng, Surabaya. Petugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) lantas menyerahkan buku tabungan dan kartu ATM. 

Selasa (2/2/2021), Gatot memperoleh sejumlah uang kompensasi sebagai korban terorisme masa lalu dari Negara. Jumlahnya beragam, mulai Rp 75 juta hingga Rp 250 juta. Uang tersebut setidaknya membantu memperpanjang kehidupan sehari-hari. Gatot tidak mampu lagi bekerja. 

Sudah 18 tahun sejak menjadi korban tragedi Bom Bali I 12 Oktober 2002, Gatot mengalami gangguan kesehatan serius. Ia masih harus menjalani pengobatan penyakit dalam. 

"Dulu saya pernah operasi, paru-paru saya yang sebelah kiri dipotong 2/3, akibat (terkena ledakan) bom. Jadi dengan dipotongnya paru-paru itu, stamina dan napas saya kurang bisa beradaptasi dengan kehidupan saya sekarang," kisahnya. 

Sejak saat itu ia merasa sering sesak. Paru-paru Gatot dipotong pada tahun 2005 di Australia. Australian Red Cross dan yayasan di Bali bernama John Forsyth Foundation menanggung biaya operasi dan pengobatan. 

Pada 7 Juli 2020, Peraturan Pemerintah (PP) No 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban ditetapkan. PP ini mulai berlaku 8 Juli 2020. PP No 35 Tahun 2020 mengacu pada Undang-Undang No 5 Tahun 2018.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan landasan normatif bahwa negara bertanggung jawab melindungi Korban dalam bentuk bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, dan santunan bagi yang meninggal dunia serta kompensasi.

Pada bulan Agustus-Desember 2020, LPSK bergegas melakukan langkah akseleratif. Mengacu data korban terorisme masa lalu dari Detasemen Khusus (Densus) sesuai amanat UU dan PP tersebut. 

Dalam kurun waktu tersebut, LPSK berhasil mengindentifikasi dan menetapkan 215 orang sebagai korban peristiwa terorisme masa lalu baik yang berstatus sebagai korban langsung maupun ahli waris. Dimana 19 di antaranya adalah warga Jatim. Mereka berdomisili di Surabaya. Salah satunya Gatot. 

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) meminta seluruh data detail dan lengkap. Antara lain informasi, data kepolisian, dan rumah sakit. Berikut bukti-bukti foto.

Korban Bom Bali I Terima Kompensasi a

"Jadi data kita semua itu dikumpulkan oleh BNPT kemudian diajukan ke LPSK. Saat itu tadi menyerahkan bukti-bukti foto, rekam medis yang masih tersisa, seperti itu. Baru kali ini realisasinya," ungkapnya. 

Ya, akhirnya setelah 18 tahun Gatot menerima uang kompensasi. Kendati hal tersebut tidak bisa mengembalikan kondisi fisik dan kehidupannya seperti sedia kala. Dana itu akan ia gunakan untuk memperpanjang kebutuhannya dalam pengobatan. 

Gatot menerima kompensasi bersama 18 warga Jatim korban terorisme masa lalu lainnya. Yaitu 5 orang korban dari peristiwa Bom Bali I termasuk Gatot, 1 orang korban peristiwa Bom JW Marriott, 4 orang korban peristiwa Bom Polresta Surabaya, 3 orang korban peristiwa Bom Gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB), 4 orang korban GPPS, dan 2 orang korban peristiwa Bom Gereja DKI Diponegoro. 

Total jumlah kompensasi yang diberikan oleh Negara melalui LPSK di Wilayah Surabaya senilai Rp 3.295.000.000 atau Rp 3,29 miliar. "Sudah 18 tahun baru menerima sekarang," ucapnya lirih. 

Gatot saat ini terpisah dengan istri dan kedua anaknya. Gatot tinggal di Mojokerto bersama adiknya. Sedangkan sang istri harus berjuang mengembangkan usaha kecil-kecilan di Bali untuk menafkahi keluarga. 

Selama ini, hasil usaha sang istri tak cukup untuk membiayai pengobatan. Sehingga Gatot harus rela berpisah jarak agar ekonomi tetap berjalan. Selama 1,5 tahun ini ia berada di rumah sang adik. 

"Makanya saya terpisahkan. Saya sekarang posisi di Mojokerto sudah 1,5 tahun di rumah adik saya, istri saya sama anak saya di Bali. Sekarang saya nggak ada aktivitas, saya banyak gangguan organ-organ saya," katanya. 

Apabila mengenang peristiwa itu, Gatot mengaku terkadang jiwanya masih bergetar. "Emosional pasti ada," tandasnya. 

Namun, Gatot memilih menghadapi realita. Hidup harus terus berjalan. Berjihad untuk keluarga dengan caranya. 

"Kalau mengenai program mereka tentang jihad, ya jihad mereka dengan jihad saya berbeda. Kalau jihad saya untuk membela keluarga, itu aja," ungkap Gatot. 

Ada sebuah pesan yang ia sampaikan kepada para pelaku aksi terorisme. Cukup singkat, namun ia adalah korban dari aksi kejahatan kemanusiaan tersebut. "Kembalilah ke jalan yang benar, bahwa jihadmu salah. Itu aja," ujar salah satu korban Bom Bali I ini.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES