Peristiwa Daerah

Cerita Awal Mula Kedatangan Bangsa Tionghoa di Cirebon dan Indramayu

Jumat, 12 Februari 2021 - 21:38 | 550.77k
Kampung Pecinan di Cirebon tahun 1901. (Foto: KITLV)
Kampung Pecinan di Cirebon tahun 1901. (Foto: KITLV)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, INDRAMAYU – Perayaan Tahun Baru Imlek tidak terlepas dari adanya orang-orang keturunan Tionghoa yang berada di Indonesia, salah satunya yang berada di Cirebon dan Indramayu. Orang-orang keturunan Tionghoa ini bahkan memegang peranan penting dalam perjalanan sejarah di Nusantara.

Keberadaan bangsa Tionghoa di Nusantara tak terlepas dari jalur perdagangan yang terjadi sekitar abad 13. Mereka melakukan hubungan dagang menuju negara-negara di Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, bahkan Eropa.

Advertisement

Kampung Pecinan cirebon lawas 2

Jalur perdagangan ini lebih dikenal dengan Jalur Sutera. Karena, di jalur tersebut banyak yang membawa komoditi sutera sebagai barang dagangannya. Jalur Sutera ini bisa dilalui melalui daratan maupun lautan.

Jalur Sutera ini sebenarnya sudah ada sejak zaman sebelum Masehi. Namun, jalur ini lebih populer ketika pelayaran melalui laut menjadi digandrungi. Banyak pedagang yang lebih memilih jalur laut sebagai perdagangannya. Sehingga, mereka bisa mencapai negara-negara yang berada di seberang lautan, termasuk wilayah Nusantara.

Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Cirebon, Halim Eka Wardana menjelaskan kedatangan bangsa Tionghoa ke Nusantara ditandai dengan mendaratnya Laksamana Cheng Ho di beberapa tempat. Salah satunya adalah di Muara Jati atau yang sekarang masuk ke dalam wilayah Gunung Jati Kabupaten Cirebon.

Laksamana Cheng Ho sendiri merupakan seorang kasim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Cheng Ho kemudian diutus oleh kaisar untuk melakukan penjelajahan pada abad ke 13 dengan kekuatan 307 armada kapal laut yang terdiri dari kapal besar dan kecil, mulai dari kapal bertiang layar tiga hingga bertiang layar sembilan.

Dengan didukung oleh 27.000 anak buah kapal, Laksamana Cheng Ho melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah selatan, demi perdagangan dan menyebatkan agama Islam. Karena saat itu, Laksamana Cheng Ho merupakan seorang muslim.

"Saat tiba di Muara Jati, Laksamana Cheng Ho dan pasukannya memperbaiki kapal dan menyiapkan logistik untuk pelayaran berikutnya," jelasnya kepada TIMES Indonesia, Jumat (12/2/2021).

Saat berlabuh itulah, ternyata ada beberapa anak buah kapal yang memilih menetap di Muara Jati. Laksamana Cheng Ho pun tak bisa menghentikan keinginan para anak buahnya tersebut. Sehingga, mereka pun diizinkan dan Laksamana Cheng Ho kembali melanjutkan pelayaran.

Halim menceritakan dulunya di wilayah Gunung Jati banyak komunitas Tionghoa yang beragama Islam. Mereka melakukan perdagangan disana, menikahi orang-orang pribumi, dan terjadilah asimilasi. Namun sayangnya, kini komunitas Tionghoa muslim di Gunung Jati sudah nyaris tidak ada.

Setelah era Laksamana Cheng Ho, gelombang kedua kedatangan bangsa Tionghoa kembali terjadi. Mereka yang masih membawa kepercayaan asli Tiongkok, mendarat di Eretan Indramayu, untuk melakukan perdagangan. Namun, karena bersitegang dengan penduduk pribumi, maka orang-orang Tiongkok memilih berpindah hingga ke Indramayu, Jatibarang, Palimanan, Jamblang, hingga Cirebon.

Di Jamblang sendiri, lanjutnya, terdapat Vihara Dharma Rakhita atau yang biasa disebut Klenteng Jamblang. Pembangunan klenteng ini sama dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, yakni tahun 1480 Masehi. Karena, saat pembangunan masjid, ada salah satu bagian bangunan yang diminta oleh warga Tionghoa, untuk mendirikan sebuah klenteng di Jamblang.

"Bagian tersebut adalah kayu memolo klenteng. Ini menunjukkan jika tahun segitu sudah ada komunitas Tionghoa yang besar di Jamblang," ujarnya.

Hal senada diungkapkan oleh Ketua Vihara Dharma Rahayu Indramayu, Ingko, memang ada kedatangan bangsa Tiongkok di Eretan Indramayu, yang kemudian menyebar ke wilayah Indramayu dan Jatibarang.

Di wilayah Jatibarang sendiri, komunitas Tionghoa masih cukup banyak. Lantaran banyak pendatang dan menetap di wilayah Jatibarang. Hal berbeda justru di wilayah Indramayu. Meskipun di situ ada klenteng tertua di Indramayu, yakni Vihara Dharma Rahayu, namun jumlah jemaatnya semakin sedikit, hingga tersisa 5 orang saja.

"Dulunya tahun 70an masih banyak. Karena sudah banyak yang meninggal, generasi penerus banyak yang pindah ke luar kota. Jadi yang tersisa hanya 5 orang jemaat yang sudah sepuh," ujarnya.

Meskipun begitu, lanjutnya, masih banyak jemaat dari luar kota yang datang ke klenteng untuk berdoa dan memberikan donasi. Namun, suasana Pandemi Covid-19 saat ini, membuat mereka yang berada di luar kota tak bisa datang. "Jadi Imlek tahun ini menjadi sepi," tuturnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES