Ini Kata Kepala Balai KSDA Yogyakarta Soal Pelepasliaran Burung di Hutan

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pelepasliaran burung sudah biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat kita. Baik dalam rangka kegiatan ritual maupun seremonial.
Diantaranya, pelepasliaran burung saat Imlek yang dilakukan oleh masyarakat etnis Tionghoa maupun kegiatan yang dilakukan oleh umat Hindu.
Advertisement
Menurut ajaran Hindu, sirkulasi alam tidak bisa dihentikan. Namun dapat diminimalisasi dengan cara menyeimbangkan alam ini, yakni dengan membersihkan polusi pada alam, membiarkan binatang-binatang, burung-burung, serta makhluk ciptaan Tuhan hidup bebas di alam.
Namun, kegiatan ini tidak cukup dilandasi niat yang baik. Mengingat pelepasliaran burung akan menjadi lengkap bila masyarakat tidak menangkap kembali burung yang dilepasliaskan tersebut.
Tidak hanya di hutan, di lingkungan pedesaan sekitar kita, beberapa jenis burung mulai menghilang keberadaannya. Seperti burung Perenjak Jawa, Kedasih, Emprit Kaji dan sebagainya.
Pelepasliaran burung sendiri dapat diartikan sebagai upaya melepaskan kembali burung ke alam. Namun, pelepasliaran burung sebetulnya tidak boleh dilakukan secara sembarangan.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta, Muhammad Wahyudi, S.P, M.Sc mengatakan, hewan yang masuk dalam kategori burung (aves) cukup banyak jenisnya. Ada kelompoknya sendiri, misal jenis berkicau, burung paruh bengkok (parrot) juga adapula jenis pemangsa (raptor).
Selain itu aves juga dibedakan berdasar habitatnya, kelompok parrot habitatnya dari wilayah Indonesia timur. Karena memiliki nilai jual tinggi akhirnya marak penyelundupan keluar pulau. Terus dipilah lagi, burung ini termasuk hasil tangkapan alam atau dari breeding (penangkaran).
Untuk burung yang baru ditangkap dari alam hasil operasi BKSDA misalnya, sesuai arahan dari pusat harus segera dilepasliarkan.
Sebab beberapa jenis burung akan kehilangan sifat liarnya jika terlalu lama dipelihara. Sehingga, begitu dikembalikan ke alam, mereka justru akan mati.
Karena itu, tegas Kepala Balai KSDA Yogyakarta Muhammad Wahyudi didampingi Untung Suripto, ST MT (Plt. KSBTU / Kasie SKW I) dan Wajudi, S.Hut dari Bagian Pemanfaatan dan Pelayanan Balai KSDA Yogyakarta.
Pihaknya mengingatkan, agar tidak memulihkan atau melepasliarkan burung ke habitat lain yang bukan menjadi habitat alaminya. Contoh burung paruh bengkok habitatnya ada di wilayah Indonesia Timur. Termasuk burung endemik di kawasan tersebut.
Banyak ditemukan di Jawa akibat maraknya penyelundupan. Nah, burung jenis ini tidak boleh dilepasliarkan di Jawa.
Lalu jenis yang dilepasliarkan bukan menjadi competitor/predator bagi spesies endemic dan langka yang masih ada di ekosistem tersebut.
Burung jenis raptor contohnya, ia termasuk pemangsa. Dicirikan sebagai predator makhluk hidup lain (karnivora), dengan penglihatan tajam, cakar yang kuat dan tajam, dan paruh runcing dan tajam (elang, burung hantu dll).
Jenis yang dilepasliarkan harus dalam kondisi sehat. Jangan melepasliarkan burung yang sakit, sehingga tidak menjadi hama bagi ekosistem baru karena membawa penyakit tertentu.
Serta latar belakang genetik jenis burung tersebut harus jelas. Sehingga jangan melepas burung hasil kawin silang.
Masih menurut M. Wahyudi, kadang-kadang masih banyak yang tidak tahu. Seperti yang terjadi pada burung Bayan. Meski sama sama burung Bayan. Harus bisa membedakan mana Bayan yang dari Maluku dan mana yang asalnya dari Papua. Masing-masing memiliki ciri tertentu.
Jangan sampai mereka dijadikan satu atau dicampur. Karena bisa terjadi perkawinan silang, yang berakibat fatal. Yakni akan merusak kemurnian genetikanya.
Burung yang akan di release atau di lepasliarkan juga harus dipilih yang sudah benar-benar layak dan mampu bertahan dalam habitat barunya. Karena di alam liar mereka dituntut untuk bisa bertahan hidup secara mandiri. Sehingga harus memiliki kemampuan untuk itu. Baik dalam hal mencari makan, berburu ataupun menghindari predator. (*)
Serta jangan sampai melepas burung yang sudah hilang naluri liarnya yakni kehilangan rasa takut pada manusia, sebelum dilakukan rehabilitasi oleh para ahlinya.
Sehingga, tegas Wahyudi, manakala Pelepasliaran burung dilakukan dengan benar (pemeriksaan kesehatan, penentuan asal satwa, habituasi satwa, penyiapan tempat pelepasan dan monitoring pasca pelepasan). Tentu saja kegiatan ini dapat membantu pemulihan populasi dan menjaga keseimbangan alam.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |