Peristiwa Daerah

Nada Mataraman pada Lirik Ronggeng Gunung Pangandaran

Sabtu, 27 Maret 2021 - 15:39 | 67.22k
Didin Jentreng,  pelaku seni Pangandaran melakukan perbandingan laras nada pada alat musik kesenian tradisional ronggeng gunung (Syamsul Ma'arif/TIMES Indonesia)
Didin Jentreng, pelaku seni Pangandaran melakukan perbandingan laras nada pada alat musik kesenian tradisional ronggeng gunung (Syamsul Ma'arif/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PANGANDARAN – Laras nada pada kesenian tari ronggeng Gunung Pangandaran terdapat laras nada Mataram.

Didin Jentreng, pelaku seni asal Desa Margacinta, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, mengatakan, pernah melakukan perbandingan suara pada peralatan ronggeng gunung zaman dulu.

Advertisement

"Perlengkapan alat kesenian ronggeng gunung yang terdapat di salah satu juru kunci Situs Keramat Jambu Handap Dusun/Desa Bojong, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran diyakini berasal dari Kerajaan Mataram," kata Didin, Sabtu (27/3/2021).

Didin Jentreng b

Didin menambahkan, laras nada zaman dulu berbeda dengan laras nada zaman sekarang. Zaman dulu, standar suara surupan nada pada angka 54. Sekarang standar surupan nada pada angka 56.

"Jika suara surupan nada 54 maka suara yang keluar lebih tinggi bila dibandingkan dengan suara surupan nada 56," tambahnya.

Pada bonang kuno alat kesenian ronggeng gunung mengeluarkan tiga nada di antaranya  = 1 = A sedangkan nada na = 3 = cis dan nada ti = 4 =D.

"Apabila ketiga nada tersebut dimainkan dengan surupan nada pada angka 56 maka da = 1 = G sedangkan nada na = 3 = C dan nada ti = 4 = cis," terang Didin.

Secara jarak nada atau interval suara yang dimainkan zaman dulu lebih dominan laras salendro padantara.

Nada laras suara alat musik gamelan seluruhnya ada 5, namun pada umumnya yang sering dimainkan hanya 4.

Berikut nada laras alat musik yaitu pelog, salendro, madenda, degung yang terakhir adalah mataraman yang sangat jarang dimainkan.

"Hasil perbandingan alat dan suara yang saya lakukan antara peralatan ronggeng gunung yang dulu dengan alat saat ini jelas berbeda," jelasnya.

Didin yakin, jika nada laras kesenian tarian ronggeng gunung Pangandaran ada keterkaitan erat dengan kerajaan Mataram karena nada yang keluar dari alat kuno tersebut menandakan ciri khas Kerajaan Mataram.

Sementara, salah satu pelaku Budaya asal Kecamatan Cijulang Abah Kundil mengatakan, wilayah Kabupaten Pangandaran masuk pada wilayah Kerajaan Galuh dan Kerajaan Galuh pernah masuk pada wilayah Kerajaan Mataram.

"Ketika tahun 1559 Galuh pernah dikuasai Kerajaan Mataram, setelah masuk pada kekuasaan Kerajaan Mataram ada 989 keturunan Kerajaan Galuh diberi mandat menjadi Wadana atau Kanjeng Daleum," kata Kundil.

Para Wadana tersebut berapliasi kepada VOC Belanda, mereka mengabdikan diri dengan berbagai cara di antaranya menyetor hasil bumi yang ditanam oleh masyarakat. Waktu itu lahir sebuah lagu Ayang Ayang Gung yang biasa dinyanyikan sebagai kode saat bertemu Bangsa Belanda.

"Lagu Ayang Ayang Gung itu salah satu upa ya masyarakat untuk mengelabui penjajah Belanda waktu itu, kalimat yang tertuang dilagukan tersebut berupa pesan kalau para Wadana sedang dan akan mengumpulkan upeti untuk disetor kepada para kompeni," tambahnya.

Berikut ini adalah isi lagunya: Ayang ayang gung, Gung goongna rame, Menak ki mas tanu, Nu jadi wadana, Naha maneh kitu, Tukang olo-olo, Loba anu giruk, Ruket jeung kumpeni, Niat jadi pangkat, Katon kagorengan, Ngantos kanjeng dalem, Lempa lempi lempong, Ngadu pipi jeung nu ompong, Jalan ka Batawi ngemplong.

"Jika dipaparkan, bahwa para menak yang menjadi Wadana telah diperalat untuk memberikan upeti hasil bumi masyarakat, tetapi masyarakat yang menanam hanya melihat saja dan tidak menikmati hasilnya," kata Kundil mengenai laras nada mataram pada kesenian tari ronggeng Gunung Pangandaran. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES