Peristiwa Daerah

Cerita Pensiunan Polisi Jadi Petani Kopi Ijen-Raung Bondowoso Selama 35 Tahun

Minggu, 04 April 2021 - 19:55 | 86.56k
Petani kopi Bondowoso yang juga Purnawirawan Polisi, Suyitno saat mengecek kebun kopi miliknya sebelum panen (FOTO: Yit for TIMES Indonesia).
Petani kopi Bondowoso yang juga Purnawirawan Polisi, Suyitno saat mengecek kebun kopi miliknya sebelum panen (FOTO: Yit for TIMES Indonesia).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Dari sekian banyak petani kopi Ijen-Raung Bondowoso yang sukses, pensiunan perwira polisi Suyitno adalah salah satunya. Buah manis jadi petani kopi yang ia nikmati saat ini, merupakan hasil perjalanan panjang membabat lahan di lahan Perhutani KPH Bondowoso.

Awal Mula Bertani

Advertisement

Pada TIMES Indonesia, Suyitno mengaku mulai belajar menanam kopi sejak masih aktif sebagai perwira polisi, tepatnya pada tahun 1986 atau sekitar 35 tahun lalu.

"Saya mulai dinas di Polres Bondowoso bulan Oktober tahun 1978, dan Mei tahun 2019 saya mutasi di Polsek Sukosari dan menetap di sini. Yaitu sebelum pemekaran Sukosari," paparnya saat dikonfirmasi.

Saat itu kata dia, di Sukosari sudah banyak yang menanam Kopi Robusta di lahan Perhutani KPH Bondowoso. Bahkan awal pertama dia juga menanam Robusta.

Petani-kopi-Bondowoso-2.jpg

"Saat itu pengetahuan petani tentang kopi tidak banyak. Bahkan kopi tidak sebuming sekarang. Tanpa pengetahuan tata niaga, tata kelola tentang perkopian," paparnya.

Di masa pemerintahan Bupati Amin Said Husni, Pemkab Bondowoso mewujudkan klaster Kopi Arabika dan bekerjasama dengan 7 pihak yang direalisasikan pada tanggal 21 Maret 2011 lalu.

Tujuh pihak dimaksud yaitu: 1) Pemerintah Kabupaten Bondowoso; 2) Bank Indonesia Kantor Perwakilan Jember; 3) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia; 4) Bank Jatim Cabang Bondowoso; 5) Perum Perhutani KPH Bondowoso; 6) PT Indokom Citra Persada; 7) Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI) Kabupaten Bondowoso.

"Setelah buming Kopi Arabika, pada tahun 2013 saya juga tanam Arabika. Apalagi waktu itu kelompok petani kopi sudah dibina oleh 7 pihak tadi. Apalagi Ijen-Raung sudah memiliki Indikasi Geografis (IG)," katanya.

Dengan dibina oleh 7 pihak terutama keseriusan Pemkab Bondowoso, petani kopi tidak lagi menjual kopi gelondongan. Selain itu, pengetahuan tentang pengelolaan kopi juga semakin meningkat. 

"Yakni tidak lagi petik hijau. Petani menunggu biji kopi merah untuk dipanen. Sehingga dengan begitu harganya tinggi dan saat itu petani kopi mulai sejahtera," paparnya.

Bahkan saat ini, pria yang akrab Pak Yit ini, tidak hanya menjual kopi dalam bentuk biji kering alias green bean. Tetapi dia juga punya produk hingga hilir. 

Sementara rata-rata perhektarnya menghasilkan kopi Green been 500 kilogram. Kalau dikalikan Rp 60.000 (harga Arabika saat ini), maka hasilnya Rp 30.000.000 per hektarnya.

"Kami menjual kopi bubuk hasil dari kebun kami, dan juga kami kemas dengan menarik. Brandnya bernama Dako Julie," jelasnya.

Tetap Jaga Fungsi Hutan

Bagi Suyitno, jadi petani kopi bukan semerta-merta karena urusan laba belaka. Tetapi yang selalu dia jaga adalah agar tetap mempertahankan kondisi lingkungan.

"Termasuk dampak keamanan, dampak sosial dan ekonomi masyarakat sekitar hutan dan dampak kesehatan, kerena banyaknya tumbuhan kopi, oksigen yang dikeluarkan dari daun kopi sangat menunjang kesehatan masyarakat. Terpenting menjaga fungsi hutan sebagai hutan konservasi," paparnya. 

Sementara dampak ekonominya, Suyitno juga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi buruh tani. Penghasilannya pekerja kopi masih di atas UMK Bondowoso.

"Dengan kopi, kami berharap Bondowoso juga bisa terkenal di tingkat nasional dan internasional. Itulah yang memotivasi kami, itu pun memang selaras dengan jiwa saya sebagai pensiunan polisi," tegasnya, Minggu (4/4/2021).

Mandiri Meski Tak Lagi Diperhatikan Pemkab

Meskipun saat ini kurang perhatian Pemkab Bondowoso, tidak menjadi masalah bagi petani kopi seperti Suyitno. Dia juga mengaku tidak akan melupakan perjuangan para instansi yang mempunyai andil besar dalam memproklamirkan Kopi Java Ijen-Raung.

"Sehingga Kopi Java Ijen-Raung bisa dikenal di berbagai daerah, dengan ciri hasnya atau cita rasanya yang tidak kalah dengan cita rasa kopi dari negara-negara lain," jelasnya.

Sekalipun ke depan, lanjut dia, tidak ada perhatian dari pihak pemerintah, pihaknya tetap akan bekerja dan berusaha menjaga kualitas kopi seperti petunjuk dan arahan dari Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao) Jember

"Baik dalam proses tata kelola di hulu  maupun di hilirnya. Apalagi sampai saat ini dari Puslitkoka masih tetap mendampingi. Kadang dari Dinas Perkebunan Provinsi dan Dinas Pertanian bidang  perkebun masih memantaunya," jelasnya.

Jadi pada intinya kata dia, sebagai petani tetap akan eksis, karea kalau kita tidak maka dia sendiri yang rugi. 

"Mungkin diumpamakan seperti dalam keluarga. Kalau masih kecil dirawat, digendong, dikudang dan disayang. Namun setelah dewasa dilepas dalam arti dididik untuk mandiri," paparnya.

Dua Bulan Lagi Panen

Lebih lanjut Pak Yit menambahkan, produksi kopi Arabika Ijen-Raung dalam dua musim panen terakhir (2019 dan 2020) lumayan bagus. Tetapi karena Pandemi Covid-19, harganya turun drastis."Itupun secara kuantitas penjualan juga menurun, apalagi untuk pasar lokalnya," imbuhnya.

Ketika harga kopi turun, maka berdampak pada perawatan di hulunya, karena tidak bisa merawat dengan maksimal. Sebab perawatan butuh biaya.

"Karena kendala biaya rawat, dan pastinya untuk panen bisa diprediksi turun hasil panennya atau hasil produksinya," jelasnya.

Sementara untuk penen Kopi Arabika Ijen-Raung musim ini, baru berlangsung dua bulan lagi. Menunggu biji kopi betul-betul siap dipetik. "Semoga tahu ini penjualan kopi milik petani kopi Bondowoso meningkat," harap pria yang terakhir berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) itu. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES