Dikelola BUMDes, Pengelolaan Tambang di Sekapuk Justru Untungkan Masyarakat

TIMESINDONESIA, GRESIK – Sejak dahulu Desa Sekapuk, Kecamatan Ujungpangkah Gresik dikenal penghasil tambang batu bata putih. Baru pada 2018 dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) terkait lahan serkel (Produksi bata). Nah, pengelolaan itu justru menguntungkan masyarakat.
Kepala Desa Sekapuk Abdul Halim mengatakan saat ini ada 80 petak lahan tambang yang semuanya dikerjakan oleh masyarakat asli desa. Satu petak lahan serkel berukuran sekitar 15x25 meter, dikerjakan 5 orang karyawan (Perajin bata).
Advertisement
Upaya ini, kata Halim merupakan upaya peningkatan sumber pendapatan asli desa (PADes) serta pemaksimalan sumber daya alam (SDA) desa untuk mengentaskan pengangguran.
"Justru saya ini ingin adanya nilai keadilan ke seluruh masyarakat kami. Salah satu tujuannya mengentaskan pengangguran," katanya, Minggu (3/10/2021) petang.
Saat pertama kali menjabat, ujar Halim pengangguran di desanya sangat tinggi. Tidak semua orang bisa bekerja di tambang karena dikuasai kurang lebih 12 pemilik modal.
Atas latarbelakang tersebut, desa membangun komunikasi dengan perusahaan sebagai stakeholder. Kemudian dipekati untuk membuka lapangan kerja baru di area tambang.
"Kemudian bersama perusahaan disepakati pembukaan lahan. Ada 80 lahan baru serta 400 masyarakat yang ikut serta berkerja, mengais rupiah dari menambang batu disana," ujarnya.
Selain tambang, secara bersamaan juga pemerintah desa menggagas Wisata Selo Tirto Giri (Setigi). Saat ini, kata Halim, desanya juga menggarap Agrowisata Pak Inggih. Wisata kedua berkonsep edukasi pertanian peternakan.
Dikelola BUMDes Membukukan Pendapatan Rp 1,4 Miliar Per Tahun
Jika sebelumnya lahan dikuasi perseorangan yang mempunyai modal, pada 2018 silam pihak desa ikut andil dalam pengelolaan. Tentu dibawah komando Pengurus BUMDes.
Saat tambang hanya dikuasai 12 orang pemilik modal. Para perajin batu bata harus membayar Rp300 ribu per 1 ritase truck yang berisi 2.000 bata putih.
Kemudian ketika BUMDes ambil peran, Halim menyatakan perajin batu bata itu hanya membayar Rp150 ribu per 1 ritase truck (2.000 bata putih). Hal itu pun sudah ada kesepakatan sebelumnya.
"Jadi perbandingannya sangat jauh, jika perajin bata dulu bayar ke perorangan (pemilik modal) sebesar 300 ribu per RIT, setelah dikelola BUMDes hanya bayar kompensasi 150 ribu per RIT, jadi sangat jelas selisih 50 penurunan kompensasi setelah dikelola BUMDes," tambahnya.
Dari hasil pengelola tersebut, setidaknya desa mempekerjakan 400 warga. Dari hasil kompensasi tambang, BUMDes mendapatkan suntikan dana 1,4 Miliar/Th.
"Nah, dari sana dikembalikan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat," tutupnya.
Selain produksi bata, kurang lebih ada 60 warga yang mengais limbah dari proses sirkel karena memiliki nilai jual karena dipakai bahan baku dolomit.
"Setelah dikumpulkan ini kami jual untuk bahan dolomit," kata Kunafah, salah satu pengais limbah tambang. Diungkapkan Kunafah, dalam seminggu dirinya bisa mendapatkan Rp 750 ribu tiap minggu. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Irfan Anshori |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |