Mencari Titik Terang Masalah dan Solusi Pengeboran Ilegal

TIMESINDONESIA, PALEMBANG – Pengeboran ilegal (Illegal Drilling) masih saja terjadi di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) terutama wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi.
Illegal Drilling merupakan penambangan ilegal dengan mengolah minyak dari sumur tua dan sumur ilegal tanpa izin. Apa yang menjadi akar persoalan ini menjadi sorotan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Advertisement
"Sentralisasi kewenangan izin sektor pertambangan migas yang berkaitan dengan tata ruang dan lingkungan ikut memperparah permasalahan Illegal drilling,"ungkap Dekan Manajemen Pemerintahan IPDN (Institute Pemerintahan Dalam Negeri) Halilul Khairi dalam Local Media Briefing SKK Migas yang juga diikuti TIMES Indonesia Palembang, Jumat (5/11/2021) secara daring.
Dengan sentralisasi perizinan ini dikatakan Halilul, secara otomatis pengawasan dan penindakan setiap pelanggaran juga harus dilakukan pemerintah pusat. "Pemerintah daerah tidak punya kewenangan kecuali menyangkut pelanggaran Izin Mendirikan Bangunan (IMB),"tegasnya.
Dijelaskan Halilul, Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, persetujuan tata ruang menjadi kewenangan pemerintah pusat, hal ini menjadi masalah terkait pengawasan pertambangan migas itu sendiri karena pada akhirnya pengawasan menjadi kewajiban pusat.
"Sebelumnya berdasarkan PP No 15 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang serta UU No. 23 Tahun 2014, tentang pemerintahan daerah, kewenangan tersebut ada di kabupaten/kota," ujarnya.
Kemudian lanjutnya, juga soal izin pemanfaatan ruang laut, berdasarkan UU Cipta Kerja sampai 12 mil juga menjadi kewenangan pemerintah pusat, terjadi perubahan sebelumnya di mana kewenangan ada di Provinsi.
"Persoalan yang sama juga terkait persetujuan lingkungan berdasarkan Pasal 12 ayat (2) PP Nomor 22 Tahun 2021, menjadi kewenangan pemerintah pusat,"terang Dia.
Sentralisasi kewenangan ini diungkap Halilul membuat pengawasan dan penindakan sangat lemah karena jika terjadi persoalan Illegal drilling daerah tidak punya kewenangan sementara pengawasan pusat begitu luas.
"Inilah langkah kemunduran tersebut. Daerah dapat ikut dalam penertiban Illegal drilling melalui tugas pembantuan namun tidak menggunakan perangkat peraturan daerah atau peraturan kepala daerah,"kata Halilul Khairi.
Pandangan Senanda disampaikan Tenaga Ahli SKK Migas Ngatijan, UU Migas dan UU Cipta kerja menjadi dasar hukum usaha hulu migas. Sektor ini tidak bisa dikelola oleh perorangan dan menjadi kewenangan penuh negara.
"SKK Migas sebagai pelaksana dan KKKS sebagai pemborong usaha hulu migas yang hasilnya menjadi milik negara,"ujarnya.
Ngatijan menjelaskan masyarakat bisa mengelola sumur tua melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Koperasi Unit Desa (KUD) dengan perjanjian kerjasama dengan KKKS. "Namun ini juga tidak mudah karena usaha migas ini membutuhkan permodalan tidak sedikit, belum lagi resiko yang tinggi,"ungkapnya dalam penjelasan via daring ini.
Sebagai solusi menurutnya, aspirasi masyarakat sekitar tambang harus diakomodasi untuk mengelola namun membutuhkan terobosan yang dilakukan yakni Peraturan Presiden dan Peraturan Kementrian ESDM karena regulasi persoalan migas selama ini tidak bisa dikelola oleh perorangan.
"Solusi selanjutnya untuk mengatasi illegal drilling yakni dibentuk tim gabungan Lintas sektoral yang dikomandoi Kementrian Polhukam serta ada pembantuan kepada pemerintah daerah yang saat ini minim kewenangan," terang Dia.
Dan yang terpenting dikatakannya, bisnis hilir ilegal seperti pengangkutan, penampungan dan penyulingan minyak ilegal harus dilarang. "Kemudian, perlu edukasi masyarakat terkait dampak kerusakan lingkungan akibat Illegal drilling sehingga masyarakat sadar bahwa dampak Illegal drilling jangka panjang sangat merugikan,"terang Halilul Khairi.
Sementara itu, Kepala Perwakilan SKK Migas Sumbagsel Anggono Mahendrawan dalam opening session menggambarkan Illegal drilling sebagai masalah serius. Dampak yang terjadi seperti pencemaran lingkungan, kecelakaan pekerja, dan tidak adanya pemasukan untuk pendapatan daerah.
"Kejadian baru - baru menyebabkan dampak kerusakan yang luar biasa baik korban jiwa maupun lingkungan. Ternyata tidak juga menyurutkan menghentikan kegiatan tersebut,"terang Anggono.
Berdasarkan data SKK Migas yang dihimpun TIMES Indonesia, Sabtu (6/11/2021) sumur ilegal di Indonesia sekitar 4500 sumur atau setara dengan produksi 2500 BPOD. Sementara sumur tua ada sekitar 1416 sumur. Dari jumlah tersebut yang diusakan oleh BUMD dan KUD ada sekitar 8 sumur.
Sedangkan data illegal drilling dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), jumlah aksi pengeboran minyak ilegal pada 2020, angkanya mencapai 314 kegiatan naik 119 kasus dibandingkan 2019 diangkat 195 kegiatan. Sedangkan pada tahun 2018 mencapai 137 kegiatan.
Titik utama pengeboran ilegal tersebar di delapan provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Timur, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |