Saksi Hidup Pertempuran Patirana Bondowoso, Bekas Peluru di Kepalanya Masih Ada

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Dor! Bunyi tembakan Belanda itu masih terngiang-ngiang di telinga Abdul Karim. Warga Dusun Patirana, Desa Wonosari Kecamatan Grujugan, Kabupaten Bondowoso ini terlihat bergidik saat memulai bercerita.
Abdul Karim adalah salah satu dari sekian warga atau sipil yang membantu tentara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam pertempuran gerilya di Patirana pada Tahun 1949 silam. Abdul Karim bersama warga lainnya bertugas mengantarkan makanan ke hutan, mengantarkan surat dan sebagai kurir senjata.
Advertisement
Patirana berlokasi di bawah kaki Pegunungan Argopuro. Pegunungan tersebut juga berbatasan dengan Jember di selatan, Lumajang dan Probolinggo di sebelah barat.
Dengan menggunakan bahasa Madura, Abdul Karim menceritakan, bahwa saat itu Patirana merupakan hutan dan hanya ada tujuh rumah warga. Saat Belanda datang ke Patirana, langsung melepaskan tembakan ke arah tentara Indonesia. Saat itu dirinya tengah berkumpul dengan prajurit pejuang. Melihat arah tembakan dari utara, dia berlari di belakang tentara Indonesia untuk ikut menjauh dan masuk ke hutan.
Di satu sisi, Abdul Karim melihat senapan tentara Indonesia juga mengarah ke arah tentara lawan. Dia berada di tengah-tengah sengitnya peperangan. Akhirnya dia memilih bersembunyi di semak-semak. "Guleh masok ke rombuh (saya masuk semak-semak)," Karim mengenang masa-masa menegangkan itu.
Setelah kontak senjata berlangsung lama, tentara Indonesia mengangkat tangan karena kehabisan peluru. Bukan berhenti, kenang dia, tentara Belanda semakin menggila melepaskan tembakan. "Guleh ecapok e cetak (saya kenak di kepala)," akunya.
Kepada TIMES Indonesia, Abdul Karim membuka songkoknya dan menunjukkan bekas luka di kepala bagian kanan. Betul, ada bekas luka akibat diserempet peluru Belanda.
"Anekah anekah (ini, ini)," katanya sambil menunjuk kepalanya dengan menggunakan Bahasa Madura halus.
Dia mengingat kembali bagaimana peluru itu melesat, dan menembus kulit kepala bagian samping. Beruntung peluru hanya menyerempet.
Darah kemudian mengalir deras dan Abdul Karim mengaku pusing seperti orang mabuk perjalanan. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa.
"Tak oning serah se nolongih guleh (tidak tahu siapa yang menolong saya," jelasnya, mengenang masa-masa menegangkan saat itu.
Waktu kejadian, dia mengaku tengah mengantarkan makanan untuk tentara nasional. Namun tiba-tiba ada serangan Belanda.
Abdul Karim lupa berapa usianya saat ini, tetapi keterlibatannya saat perang gerilya masih abadi diingatannya meskipun tak lagi muda.
Sebanyak 48 Gugur dalam Pertempuran Patirana
Warga sipil lainnya yang juga jadi kurir tentara Indonesia, Budi Santoso mengatakan, kejadian perang gerilya di Patirana tepatnya Februari 1949.
Tanggal 5 Februari 1949 tentara Indonesia datang dari Blitar, berjalan kaki melewati sejumlah wilayah dan masuk ke Patirana melalui Gunung Argopuro.
"Tentara Indonesia sampai ke sini ada yang pukul 4 dan pukul 5 sore. Ada yang sampai sini Isya. Laki-laki dan perempuan," terangnya.
Kemudian malamnya tentara Indonesia bermalam di Patirana. Paginya, tepatnya Tanggal 6 Februari 1949 para prajurit berkumpul bersama warga di sebuah langgar. Saat lagi berkumpul bersama beberapa warga dan mengobrol santai. Kemudian datang mata-mata tentara Indonesia membawa kabar bahwa ada pergerakan tentara Belanda dari arah timur.
"Setelah teman-teman pejuang keluar, akhirnya Patirana sudah tertapal kuda atau terkepung," terangnya.
Karena sudah terkepung dan belum ada persiapan, tentara Indonesia ada yang menyelamatkan diri ke hutan dan ada pula yang memberikan perlawanan.
"Gugurlah 48 tentara, dua diantaranya adalah warga asal Wonosari. Sisanya tidak dikenal mana alamat dan namanya, karena baru semalam di sini," jelasnya.
Dua warga Wonosari yang meninggal itu adalah sipil dan lagi memanen jagung di ladang. "Apa tertembak atau sengaja ditembak. Tapi sepertinya sengaja ditembak Belanda," imbuhnya.
Saat perang gerilya selesai, Belanda menguasai wilayah Patirana. Kemudian warga dijadikan tameng oleh Belanda saat kembali ke markas mereka di kota, tepatnya di Nangkaan.
"Diselang-seling. Depan sipil, belakangnya tentara Belanda, petani, Belanda lagi. Terus berjejer begitu," jelasnya mengenang masa menyedihkan itu.
Trik itu dilakukan karena sudah ada tentara Indonesia yang mencegat. Ketika melihat ada warga sipil di tengah-tengah Belanda, tentara Indonesia pun tidak melakukan serangan.
"Kami bermalam semalam di markas, besoknya warga boleh pulang lagi ke Patirana," jelasnya.
Sementara tentara Indonesia yang meninggal dalam pertempuran Patirana Kabupaten Bondowoso ada yang dikuburkan di lokasi perang, "Dipendam di tegalan ini, yang jelas tegalan penuh. Sebagian diangkat ke Taman Makam Pahlawan," jelasnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |