Peristiwa Daerah

Kepahlawanan Kakek Suwandi, Serdadu Lembah Raung Banyuwangi di Era Kolonial Belanda

Kamis, 11 November 2021 - 14:11 | 106.29k
Kakek Suwandi. Veteran perang dari masa kolonial Belanda asal Banyuwangi, Jawa Timur, yang masih hidup hingga berumur 100 tahun lebih. (FOTO: Agung Sedana/ TIMES Indonesia)
Kakek Suwandi. Veteran perang dari masa kolonial Belanda asal Banyuwangi, Jawa Timur, yang masih hidup hingga berumur 100 tahun lebih. (FOTO: Agung Sedana/ TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Negara Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Tak terhitung sudah berapa banyak nyawa penduduk dan pahlawan yang terenggut. Di balik kemerdekaan itu, banyak tersimpan kisah heroik yang luput dari catatan sejarah, termasuk di Kabupaten Banyuwangi.

Di Banyuwangi, ada seorang kakek yang menjadi saksi hidup kejadian masa itu. Dialah kakek Suwandi. Pejuang veteran lembah Gunung Raung asal Dusun Sidomulyo, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Advertisement

Di usia kemerdekaan Indonesia ke-76 ini, Suwandi sudah berusia lebih dari 100 tahun. Namun, dia dengan jelas masih menyimpan memori ingatan mengenai agresi militer Belanda di Pulau Jawa. Kala itu, dia sudah memasuki usia dewasa.

"Tahun berapa persisnya saya lupa," kata Suwandi membuka ceritanya, Kamis (11/11/2021).

Mengawali ceritanya, Suwandi menyebutkan sejak Ia remaja sudah menjadi serdadu perang di berbagai tempat. Diantaranya, perang di Surabaya, perang di Jember dan terakhir perang melawan penjajah Belanda di Banyuwangi.

Berdasarkan sumber buku sejarah lokal ‘Peranan Rakyat Besuki (Jawa Timur) pada Masa Perang Kemerdekaan’, agresi militer Belanda kedua dimulai pada tahun 1947. Selanjutnya di tahun 1948, tentara Indonesia dipaksa untuk meninggalkan kota dan terdesak hingga ke pedesaan.

Militer Belanda Mendarat di Banyuwangi

Kondisi terdesak ini juga terjadi di Banyuwangi. Kala itu, Suwandi bersama veteran lainnya sedang berjuang untuk mengusir militer Belanda yang mendarat di pesisir Banyuwangi. Regu perlawanan Suwandi dipukul mundur hingga nyaris tak tersisa.

"Belanda datang kami berperang. Karena kalah jumlah dan senjata akhirnya terpaksa mundur," kenang Suwandi.

Suwandi sendiri tidak mengingat secara pasti berapa jarak yang Ia tempuh hingga sampai di kaki gunung. Bersama anggota regu yang masih hidup, Suwandi berusaha menyelamatkan diri.

Regu Suwandi berniat untuk kembali menyusun strategi penyerangan dengan melarikan diri ke arah hutan. Beberapa pasukan lainnya berupaya masuk ke dalam air laut untuk melarikan diri juga.

"Biyuh, tidak kuat saya kalau harus berenang di lautan. Ya akhirnya saya memilih untuk bertahan di pinggiran laut saja," ujarnya.

Akan tetapi, militer Belanda terus melakukan pengejaran. Regu perlawanan Suwandi menjadi buron. Selama masa pengejaran ini, banyak pribumi yang ikut menjadi korban. Bersembunyi dengan masuk ke sungai, menenggelamkan diri ke lumpur, sembunyi di semak-semak bahkan di bawah batu sudah mereka lakoni agar bisa hidup.

Suwandi dan regunya, harus bertahan hidup dengan memakan dedaunan dan minum air sungai atau kubangan. Siang ataupun malam, semuanya mencekam. Tidak lagi ingat keluarga ataupun saudara. Hanya hidup atau mati setiap harinya.

"Pokoknya lari. Ada yang ke Purwo (Alas Purwo) ada yang ke arah gunung Raung," katanya.

Semua Tewas, Hanya Tersisa 3 Pejuang

Setelah berhari-hari di masa pelarian, regu perlawanan Suwandi hanya menyisakan 6 orang. Belasan rekannya sudah gugur terlebih dahulu. Regu ini dipimpin oleh Darmin dan Broto, dua orang tentara yang Suwandi sendiri tidak mengetahui darimana asalanya.

"Tinggal enam orang saja. Saya, pak Darmin dan pak Broto. Terus ada juga Slamet Cokro, Jendul dan Sukri Ilyas," ucap Suwandi sembari mengenang wajah rekannya dulu.

Sesampainya di sebuah perkampungan, enam orang yang berhasil selamat ini kemudian memutuskan untuk beristirahat. Belum pulih stamina mereka, lagi-lagi militer Belanda berhasil melacak keberadaan mereka.

Di perkampungan ini (saat ini bernama Dusun Sidomulyo), Suwandi menyaksikan rekan-rekannya dieksekusi mati oleh militer Belanda. Tidak hanya itu, pribumi setempat juga menjadi sasaran kebrutalan penjajahan.

"Teman saya Jendul ditangkap. Sudah saya bilang jangan pulang, malah keluar. Akhirnya ditangkap. Pagi-pagi langsung ditembak. Sedangkan saya lari," kata Suwandi sambil menunjuk arah utara di mana rekannya mati.

Jendul gugur dengan kondisi bersimbah darah penuh luka tembakan. Sedangkan rekan lainya, Sukri bersembunyi di tempat kerumunan orang yang sedang kerja bakti membangun rumah. Disini, Sukri juga dieksekusi mati bersama beberapa pribumi lainnya.

"Saya lihat teman saya ditembak, duaaarr! Waduh kalau ini saya mendekat saya juga ikut ditembak. Akhirnya saya lari ke utara, ke Watu Gedhek. Lebih masuk ke dalam hutan" ucapnya.

"Duh gimana ya, ini kan orang-orang sedang kerja bakti akan membenahi rumah, kok malah ditembaki loh. Ya mati semua. Wah edan beneran ini tentara Londo (belanda)," imbuh Suwandi.

Sedangkan Slamet Cokro, mendengar suara tembakan langsung melarikan diri ke arah timur. Tak disangka, Slamet Cokro justru berpapasan dengan regu militer Belanda lainnya di arah yang Ia tuju.

"Slamet ini terjebak. Dia lari terus ketemu Belanda dan sembunyi di sungai. Setelah ketahuan langsung ditembak. Saya dengar suara tembakannya. Waduh ada tembakan lagi. Temanku Slamet mati itu," batin Suwandi saat mendengar sumber tembakan dari arah Slamet Cokro bersembunyi.

Setelah merasa aman, Suwandi kemudian keluar dari persembunyian. Dia mencoba melihat bagaimana situasi kala itu. Suwandi pun kaget, banyak teman dan penduduk sekitar yang mati. Dia menyaksikan begitu banyak mayat bergelempangan di hari itu.

Sedangkan dua rekan lainnya, Broto dan Darmin memutuskan untuk melanjutkan pelarian mereka. Darmin berlari ke arah selatan, sedangkan Broto masuk ke arah utara memasuki hutan kaki gunung Raung.

Suwandi sendiri, memilih untuk bertahan bersama penduduk kampung setempat dan menetap hingga tahun 2021 sekarang.

"Pak Darmin katanya mau pulang, arahnya ke Jember. Tiga rekan saya lainnya yang mati dikubur disini, di Dusun Sidomulyo," jelasnya.

Untuk mencegah kedatangan militer Belanda kembali memasuki perkampungan, pribumi setempat kemudian memutus akses masuk dengan merobohkan jembatan. Kebetulan, akses utama memasuki perkampungan tersebut harus melewati sungai yang sangat curam.

Hingga saat ini, Suwandi sendiri tidak tahu bagaimana nasib dari dua orang rekannya yang berhasil selamat dan melarikan diri tersebut.

"Sama orang-orang jembatan di utara rumah ini lalu dirobohkan. Tentara Belanda tidak lagi kesini lagi. Kalau pak Darmin dan pak Broto saya tidak tahu lagi bagaimana," katanya dengan mata berlinang.

Generasi Milenial di Mata Veteran Asli

Menurut Suwandi, perjuangan yang dilakoninya kala itu adalah perang suci. Karena bangsa Indonesia benar-benar harus memperjuangkan kemerdekaannya dari jajahan bangsa asing. Rekan, keluarga semuanya mati. Setiap harinya, masyarakat harus hidup dalam belenggu kecemasan.

"Kami benar-benar berjuang sungguhan itu. Ramai sekali waktu itu. Ini benar kalau perjuangan sekarang tidak tau lagi saya seperti apa. Setiap hari saya cuman di rumah saja," tegasnya.

Berbanding terbalik dengan perjuangan waktu masa penjajahan dahulu, Suwandi merasa sedikit kecewa dengan perilaku generasi masa kini. Menurutnya, generasi saat ini lebih mengedepankan sikap cuek dan tidak peduli dengan sejarah.

"Saya tidak begitu ngurusin. Anak jaman sekarang sibuk dengan urusannya sendiri," sesalnya.

Melalui TIMES Indonesia, Suwandi menitipkan pesan kepada anak muda di Banyuwangi. Menurutnya, perjuangan yang harus di lakukan bangsa Indonesia belumlah selesai. Ini karena, masih banyak potensi-potensi yang dapat menjajah dan memecah belah kesatuan bangsa.

"Salah! Kalau ngomong sudah aman. Sekarang masih belum, jangan sembrono. Maka bantulah tentara, bantulah pemerintah mempertahankan Indonesia," kata Suwandi menasehati.

"Untuk anak cucuku, teruntuk generasi-generasi penerus kami jagalah negara ini. Supaya tidak sia-sia perjuangan dan nyawa yang hilang sebelum kamu dulu," cetus Suwandi, veteran lembah Gunung Raung Kabupaten Banyuwangi dari masa kolonial Belanda ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES