Relokasi Berbasis Komunitas Pasca Gempa ala Arkom Indonesia Raih Penghargaan

TIMESINDONESIA, PALU – World Habitat Awards menobatkan pemulihan, rekonstruksi dan relokasi berbasis komunitas yang dilakukan Arkom Indonesia bersama warga terdampak gempa 28 September 2018 di Mamboro Perikanan, Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), sebagai Bronze Winner 2021.
Penobatan yang bekerja sama dengan UN-Habitat itu dilakukan Kamis, 16 Desember 2021.
Advertisement
Direktur Yayasan Arkom Indonesia Yuli Kusworo mengatakan, penghargaan dari World Habitat Awards ini merupakan pencapaian luar biasa atas kerja-kerja Arkom Indonesia di Sulawesi Tengah (Sulteng).
Menurut Yuli, proses yang dilalui tidaklah mudah mulai dari mengidentifikasi GAP kebutuhan penyintas dan kebijakan pemerintah, menemukan simpul dan membangun kolaborasi bersama adalah bagian penting dari proyek ini.
“Saya salut dengan kesabaran dan semangat masyarakat Mamboro Perikanan, yang akhirnya dapat menunjukkan bahwa mereka mampu bangkit, membangun kerjasama jangka panjang, tidak sekedar membangun rumah secara fisik,” kata Yuli via WhatsApp, Jumat, (17/12/2021).
Yuli mengungkapkan, Pemerintah Kota Palu, khususnya BPBD Kota Palu merupakan aktor paling penting atas kesuksesan proyek ini. Ia berterimakasih atas terobosan yang telah dilakukan bersama untuk masyarakat Mamboro Perikanan.
Proyek pemulihan, rekonstruksi dan relokasi berbasis komunitas ini kata dia, bertujuan untuk memberdayakan masyarakat agar mampu mandiri mengelola fase rehabilitasi dan rekonstruksi setelah tsunami dahsyat di Teluk Palu.
Pada bulan September 2018, lanjut Yuli, gempa bumi yang kuat memicu tsunami yang menghancurkan Teluk Palu di Sulawesi Tengah, Indonesia. Lebih dari 4.000 orang tewas dan ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal.
Setelah bencana, pemerintah menyusun program relokasi masyarakat pesisir yang paling berisiko, termasuk warga Kampung Mamboro Perikanan. Namun, letak lahan relokasi tersebut berada 5 km dari bibir pantai yang terlalu jauh dari sumber pendapatan utama warga kampung.
Untuk itu, warga bekerjasama dengan Arkom Indonesia untuk mencari dan mengusulkan lokasi alternatif di zona aman yang masih memungkinkan mereka tetap bekerja menangkap ikan, mengeringkan ikan dan menjual ikan.
Usulan pembangunan pemukiman kolektif untuk habitat yang lebih baik ini kemudian diterima oleh Pemerintah Kota Palu dan para penyintas secara aktif terlibat dalam proses site planning, desain rumah dan pembangunan 38 rumah panggung dan rumah tapak tahan gempa.
"Rumah-rumah baru selesai dibangun pada Desember 2020," bebernya.
Ia menyebutkan, total biaya proyek ini sekitar Rp 8,4 miliar ($586.516 USD) yang didanai melalui sumbangan dan dana hibah dari AirAsia Foundation, Pemerintah Kota Palu, Program KOTAKU Kota Palu, Yayasan Sheep Indonesia, dan Litbang Kementerian PUPR.
Warga mengadakan kelompok tabungan yang disebut DPK (Dana Pembangunan Komunitas) dimana tiap kepala keluarga melakukan iuran bulanan untuk kebutuhan komunitas jangka panjang dibidang ekonomi dan perumahan.
Keberhasilan proyek ini telah mendorong perubahan kebijakan di level nasional yang memberi kesempatan ribuan orang untuk memutuskan bagaimana dan dimana mereka membangun kembali kehidupannya.
Ibu Emilia dan keluarganya kehilangan rumah dan mata pencahariannya setelah bencana gempa dan tsunami pada September 2018. Awalnya mereka bingung harus berbuat apa.
Namun, dia segera bangkit mengajak para penyintas lainnya dan terlibat penuh dalam pengambilan keputusan dan proses pembangunan kampung kembali.
Emilia adalah bagian dari komunitas yang membangun 38 rumah. Dia memiliki kesan, “Dalam proses kami mendapat tempat ini (lokasi relokasi), kami tidak sendiri, kami saling menguatkan, saling membantu, bekerja sama dengan baik, makanya kami sampai di titik ini,” ujarnya.
David Ireland, Chief Executive World Habitat, mengatakan, darurat iklim mendorong adanya kenaikan permukaan laut dan menyebabkan badai dan tsunami yang lebih kuat.
Situasi tersebut menempatkan masyarakat pesisir semakin rentan dan memiliki risiko yang jauh lebih besar. Tak pelak beberapa daerah pesisir akan menjadi area berbahaya untuk dihuni.
Relokasi masyarakat yang terkena dampak di tempat yang jauh dari mata pencaharian mereka bukanlah jawabannya.
Proyek ini telah memberikan solusi dengan membantu masyarakat pindah ke zona aman dengan tetap hidup dekat dengan laut.
Hal ini menurut dia, memungkinkan mereka untuk melanjutkan pekerjaan mereka dibidang perikanan dan industri lainnya yang terkait dengan laut.
“Ini telah memungkinkan mereka untuk membangun kembali kehidupan yang lebih aman tanpa tercerabut dari apa yang menjadi dasar seluruh komunitas mereka,” terangnya.
Panel juri World Habitat Awards Advisory Group mengungkapkan, yang sangat menarik dari proyek ini adalah bagaimana pendekatan dalam menangani masalah tanah.
Proyek Arkom Indonesia di Palu ini memecahkan masalah itu dan hanya sedikit contoh tersebut dalam penyediaan pemukiman pasca bencana. Mereka memiliki rencana kolaboratif untuk perlindungan lingkungan alam tempat mereka bergantung untuk mata pencaharian mereka. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Sholihin Nur |