Miris, Mahasiswa Banyuwangi Terlantar di China Karena Uang Beasiswa Raib

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Sungguh tragis nasib sejumlah siswa lulusan sekolah di Banyuwangi Jawa Timur yang hendak melanjutkan kuliah di negara China. Bukannya memperoleh pendidikan, nasib mereka justru terlantar dan nyaris diusir. Gara-garanya, uang beasiswa yang menjadi harapan mereka raib digerogoti oleh oknum tak bertanggung jawab.
Diberitakan sebelumnya, kasus ini sekarang sudah dalam proses hukum di Polresta Banyuwangi. Ialah PA, seorang wanita pengusaha jasa transportasi yang melaporkan AS atas dugaan penggelapan uang senilai Rp185 juta lebih.
Advertisement
Kepada TIMES Indonesia, PA mengaku telah mengenal lama sosok AS yang merupakan warga Desa Kenjo, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. AS disebut-sebut pernah kuliah di China dan mengaku sempat menempati posisi asisten dosen. Informasinya, AS juga sering memberangkatkan siswa yang ingin kuliah di China.
Menurut PA, kesempatan kuliah seperti yang dijanjikan AS ini adalah program gratis. Sebelum berangkat, para calon mahasiswa harus menjalani serangkaian tes dan lulus tes tersebut. Namun, mereka harus membayar sejumlah uang untuk keperluan administrasi. Semua uang yang dibayarkan sepenuhnya mengalir ke AS melalui rekening istrinya.
Adapun uang yang harus dibayar ini, nantinya dipakai untuk biaya kursus Bahasa, membuat visa, biaya translate dokumen, tiket penerbangan dan beberapa keperluan lainnya. Rencananya, kuliah memakan waktu total 5 tahun, 1 tahun untuk sekolah Bahasa dan 4 tahun untuk kuliah penjurusan.
Berawal di tahun 2019 lalu, sedikitnya ada sekitar 11 siswa dari Banyuwangi yang berminat untuk kuliah di China ini. Dijanjikan AS, segala urusan akan dia tangani. Mulai dari pendaftaran hingga penempatan di kampus yang dituju. Para wali siswa pun tergiur, dengan biaya menyicil berupaya mewujudkan mimpi sang anak untuk belajar ke luar negeri.
Sesuai jadwal, para siswa ini seharunya berangkat ke China pada bulan September 2019. Namun hingga November, tak juga ada kejelasan. Ketika ditanyai, AS selalu berkilah kesana-kemari. Ragam dalih dan alibi AS sampaikan. Dari sinilah kecurigaan PA dan wali siswa mulai muncul.
“Ternyata tidak ada keberangkatan, saya terus mendesak karena tidak ada kejelasan. Uang juga sudah ditransferkan semuanya,” kata PA dalam wawancaranya, Jumat (11/2/2022).
Hingga akhirnya pada Desember 2019, 3 orang siswa asal Banyuwangi beserta 4 orang siswa dari luar daerah berangkat dari bandara di Surabaya menuju Kota Guangzhou China. Keberangkatan mereka langsung ditemani oleh PA. Sedangkan siswa dari Banyuwangi lainnya belum berangkat.
Sesampainya di China, PA berjumpa dengan beberapa orang dari Indonesia. PA pun begitu terkejut dengan pernyatan yang disampaikan para siswa Indonesia yang sudah tiba di China. Dalam sebuah obrolah, PA kemudian mencoba untuk bertanya-tanya kepada mereka.
“Halo kamu ini korbannya AS juga ya,” kata PA menirukan kalimat pertama yang dilontarkan salah satu siswa di China.
“Lah saya kaget dong, kok tiba-tiba mereka langsung berkata seperti itu. Loh ada apa ini sebenarnya, saya terus bertanya-tanya,” tegas PA melanjutkan sesi wawancara.
Obrolan pun berlanjut, dari percakapan tersebut PA mengetahui sebuah fakta. Yakni apa yang dialami oleh PA juga banyak terjadi pada orang lain. Tidak hanya dari Banyuwangi, banyak juga pengusaha dari berbagai kota besar di Jawa yang juga tertipu oleh AS.
“Ternyata saya tidak mengalami sendirian. Banyak juga disana yang mengalami hal serupa. Mungkin ada puluhan disana,” ujar PA.
Saking banyaknya, menurut PA bahkan ada sebuah grup WhatsApp yang dihuni oleh para korban AS. Grup tersebut kemudian diberikan nama ‘GUGATAN”. Di dalam grup tersebut, PA tidak semuanya mengenal siapa saja anggotanya. Namun yang jelas, mereka semua adalah korban dari AS.
“Isinya adalah orang-orang yang menjadi korban AS. Saya tidak kenal siapa saja itu, tapi itu ada yang dari Jakarta, Surabaya, Kalimantan, Bondowoso, Probolinggo dan banyak lainnya,” ungkap PA.
Di China tersebut, PA juga sempat berbicara dengan salah satu siswa asal Banyuwangi yang juga berangkat kuliah lewat jasa AS. Siswa tersebut mengaku tidak bisa mendapatkan kampus yang sudah dijanjikan oleh AS. Hingga akhirnya, siswa tersebut memutuskan untuk mengambil kuliah dengan jalur mandiri.
“Di sana ada mahasiswa dari Banyuwangi yang cerita juga berangkat ke China lewat AS. Tapi dia bisa kuliah dengan usaha sendiri dengan biaya sendiri tanpa jasa dari AS,” katanya.
Setelah pulang ke Banyuwangi, PA selanjutnya mendapati sejumlah polemik di rumah. Sejumlah siswa yang dia damping untuk berangkat ke China didera sebuah permasalahan. Mereka diminta untuk membayar biaya asrama yang ditempatinya. Padahal sesuai janji AS, itu semua gratis tanpa biaya.
“Katanya gratis, kok suruh bayar. Padahal AS bilang itu gratis. Saya kan jadi bertanya-tanya,” katanya.
Mirisnya, para siswa tersebut terancam akan diusir dan dikeluarkan jika biaya asrama tidak segera dibayarkan. Sontak, para siswa ini pun kebingungan. Mereka ketakutan karena tidak mengenal siapapun di negara asing tersebut. Mereka tidak tahu harus kemana tinggal dan mengadu nasib jika sampai diusir.
“Sempat saya paksa AS untuk membayar. Namun ujungnya tidak dibayar dan anak-anak sudah mau dikeluarkan. Akhirnya saya dan suami membayarnya dari kantong pribadi, senilai 50 juta,” terang PA.
Singkat cerita, kurang lebih selama dua bulan para siswa tersebut tinggal dan belajar bahasa di China. Hingga pada awal bulan Februari wabah Covid-19 melanda. Saat itu bahkan pemerintah China menerapkan kebijakan lockdown total. Karena alasan keselamatan, Kedutaan Besar Republik Indonesia meminta agar para siswa tersebut pulang ke Indonesia.
“Sampai dengan Covid yang sudah berjalan berjilid-jilid seperti ini, tidak ada juga tuh kelanjutan soal biaya yang ada di AS,” sesal PA.
Bahkan, saat semuanya sudah dipulangkan ke Indonesia, tidak satupun dari mereka yang mengantongi keterangan dari pihak kampus. Instruksi untuk melangsungkan perkuliahan via online atau daring pun tidak mereka dapatkan. Padahal, mahasiswa lainnya mendapatkan pemberitahuan tersebut.
“Kalau memang sudah terdaftar, paling tidak harus ada surat dari kampus untuk sementara kuliah online atau bagaimana. Tidak ada kepastian sampai sekarang bahwa mereka kuliah di kampus A, kampus B atau apalah itu,” beber PA.
PA lebih merasa heran, ketika ada anak yang pulang ke Indonesia dan melakukan pendaftaran melalui agen lain selain AS. Benar saja, anak tersebut langsung diterima dan masuk di salah satu kampus di China.
“Kemudian ada anak yang pulang dan daftar di orang lain, justru berhasil masuk. Ada surat dari China yang menyebut mereka masuk ke kampus A atau B. Lah sedangkan yang diberangkatkan melalui AS ini kok sampai sekarang tidak ada kejelasan?” keluh PA.
Ketika ditanyai, AS kerapkali menggunakan alasan-alasan yang tidak jelas. AS beralibi, dia sudah tertipu agen di China, uang sudah di bawa pihak kampus dan bukti-buktinya dia simpan di akun virtual.
“Saya minta bukti bahwa pembayaran sudah dilakukan dan selalu alasan bla bla bla. Apa yang dia janjikan selalu luput. Terus akhirnya dia membuat bukti pembayaran palsu,” jelasnya.
“Setelah saya kejar, akhirnya dia mengakui kalau uang sedang dia pakai sementara. Setelah itu memang dia sempat mengembalikan beberapa, tapi setelahnya tidak jelas. Berkali-kali saya datangi rumahnya atau di kantor dinasnya. Tidak juga ada hasil,” imbuh PA.
Segala upaya kekeluargaan sudah PA tempuh. Berkali-kali PA hanya diminta oleh AS menelan janji palsu. Hingga akhirnya, PA membawa persoalan tersebut ke ranah hukum. Didampingi pengacaranya, PA melaporkan AS ke Polresta Banyuwangi atas dugaan penggelapan uang beasiswa kuliah ke salah satu kampus di China. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |