Akibat Pandemi, 49 Persen Penderita Depresi Berpikir Mengakhiri Hidup

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jatim menggelar pelantikan pengurus dan webinar Transformasi Pelayanan Kesehatan Jiwa Dalam Menghadapi Pandemi dan Pasca Pandemi Covid-19.
Hadir sebagai pemateri, Kepala Bidang P2P Dinkes Provinsi Jatim drg Inna Mahanani mewakili Kadinkes Jatim Dr Erwin Astha Triyono, Kepala Program Studi Spesialis Anak dan Remaja FK Universitas Airlangga Dr dr Yunias Setiawati, SpKJ(K) dan Tim Teknis Penanganan Masalah Kesehatan Jiwa Dinkes Jatim, Dr. Ns. Heni Dwi Windarti.
Advertisement
Kepala Bidang P2P Dinkes Provinsi Jatim drg Inna Mahanani mewakili Kadinkes Jatim Dr Erwin Astha Triyono saat agenda tersebut mengatakan, kebijakan pelayanan kesehatan jiwa menjadi prioritas dalam menghadapi pandemi Covid-19 di Jatim.
Inna berharap IAKMI Jatim dapat turut berperan dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan jiwa sebagai dampak pandemi.
Dia mengatakan, beberapa penelitian Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyebutkan jika pandemi telah menimbulkan dampak psikologis (69%). Antara lain kecemasan, depresi dan trauma psikologis.
Survei itu mengambil responden dari berbagai provinsi dengan angka responden 72% atau mayoritas wanita.
"Dan memang ada orang-orang depresi tersebut ini 49% berpikir tentang kematian. Terutama dampak pada permasalahan ekonomi yang menghimpit sehingga mereka sempat berpikiran untuk mengakhiri kehidupannya," kata dia.
Sementara Data Riskesdes Situasi Kesehatan Jiwa di Jatim pada 2018 menyebutkan bahwa dari total 39.872.395 penduduk, terdapat penderita gangguan mental emosional (GME) sebesar 6,8% dengan rentang usia lebih dari 15 tahun atau sejumlah 1.897.926 jiwa.
Penderita depresi 45% dengan rentang usia lebih dari 15 tahun atau sekitar 1.256.890. Kemudian Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Berat meliputi skozoprenia, gangguan psikotik dan bipolar sebesar 75.758 jiwa. Sedangkan orang dengan riwayat pasung sebesar 14,9% atau sejumlah 11.267 jiwa dan sedang mengalami pasung sebanyak 3.555 jiwa.
Sedangkan Kasus kesehatan jiwa di Jatim berdasarkan data Kohort kota maupun kabupaten di Jatim sampai dengan Desember 2021 terdapat ODGJ non pasung 82.762 jiwa, ODGJ pasung ditemukan 2.815 jiwa (35,02%) dan ODGJ masih di pasungan atau mendapat perawatan sebesar 889 jiwa (42,64%) serta SPM (Skizoprenia dan Psikotik Akut) 69.187 jiwa (88,86%).
"Harusnya ini nanti diupdate lagi, tapi paling tidak ini dapat memberi gambaran bahwa situasi kesehatan jiwa di Jatim ini harus kita dampingi. Bagaimana masyarakat tidak hanya sehat fisik tapi juga jiwanya," jelasnya.
Inna menambahkan, target pelayanan kesehatan jiwa di masa pandemi Covid-19 ada tiga. Yaitu sehat jiwa tetap sehat, risiko gangguan jiwa jadi sehat jiwa, dan gangguan jiwa jadi mandiri dan produktif.
"Jangan sampai di situasi pandemi ini karena berbagai aspek permasalahan ini menjadi terganggu kesehatan jiwanya. Dengan tiga prioritas yang harus kita kejar ini harapannya memang Jawa Timur sehat jiwa," ujarnya.
Dasar hukum yang melandasi pelayanan kesehatan jiwa adalah UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, UU No. 19 tahun 2011 tentang Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas, UU No. 38 tahun 2014 tentang keperawatan, UU No. 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, UU No. 23 tahun 2014, PMK No. 39 tahun 2016 dan PMK No. 4 tahun 2019.
Peraturan tersebut menjelaskan tentang tindakan promotif (mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan secara optimal, menghilangkan stigma pelanggaran HAM ODGJ, meningkatkan pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap kesehatan jiwa), preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Kepala Program Studi Spesialis Anak dan Remaja FK Universitas Airlangga Dr dr Yunias Setiawati, SpKJ(K) menambahkan, pandemi telah memicu hormon stres. Mayoritas penderita stres akan merasa sulit tidur, nyeri kepala dan tidak bisa konsentrasi. Ternyata hal ini bukan hanya berdampak pada orang dewasa saja, namun juga pada anak-anak karena pembatasan interaksi sekolah.
"Kondisi ini menyebabkan kecemasan di anak-anak khususnya remaja," ucap dr Yunias.
Secara umum, kondisi pandemi memang meningkatkan kecemasan, ketakutan dan hilang harapan hidup atau putus asa. Bahkan meningkatkan resiko terjadinya depresi, bunuh diri dan PTSD.
Bencana non alam ini sudah memberikan dampak pada kesehatan jiwa dan psikososial masyarakat. Oleh karena itu perlu penanganan secara komprehensif lintas sektor.
Melansir data WHO pada tahun 2020, depresi bahkan menjadi penyebab kematian kedua setelah penyakit jantung dan 2030 diperkirakan depresi menjadi peringkat pertama penyebab kematian.
"Ternyata saat ini depresi menduduki tempat tertinggi setelah kecemasan," katanya.
Dalam acara IAKMI Jatim tersebut, Dr Yusnia juga menjabarkan, bahwa stressor pandemi berlangsung secara berkepanjangan yang akhirnya mengganggu keseimbangan biological dalam tubuh seseorang. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dody Bayu Prasetyo |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |