Begini Suasana Prosesi Labuhan Gunung Merapi Peringati Sri Sultan HB X Naik Tahta

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Belasan abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tampak antusias menaiki jalan yang menanjak menuju puncak Gunung Merapi. Dengan mengenakan pakaian adat khas keraton, peranakan dan sebagian tak memakai alas kaki, para abdi dalem itu naik ke Gunung Merapi untuk melakukan Prosesi Hajad Dalem Labuhan Alit dalam rangka memperingati Tingalan Jumenengan Dalem (peringatan naik tahta) Sri Sultan Hamengku Buwono X, Sabtu (5/3/2022).
Prosesi adat labuhan dimulai dari Pendopo Kinahrejo yang merupakan petilasan rumah Pribadi Juru Kunci Gunung Merapi almarhum Mas Panewu Surakso Hargo atau yang popular dengan panggilan Mbah Maridjan. Setelah menginap semalem, para abdi dalem yang dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi Mas Wedana Suraksa Harga atau akrab disapa Mas Asih yang membawa uba rampe labuhan kemudian menuju tempat bernama Sri Manganti melalui jalur pendakian Gunung Merapi. Jarak antara Pendopo Kinahrejo dengan Sri Manganti sejauh sekitar 3 kilo meter. Setiba di lokasi, para abdi dalem tersebut berdoa.
Advertisement
Karena situasi masih pandemi Covid-19, suasana labuhan tentu berbeda dari tahun sebelumnya saat situasi nomal. Tak begitu banyak warga yang mengikuti prosesi labuhan termasuk wisatawan. Sebab, panitia sendiri memang membatasi peserta labuhan.
Selain pandemi Covid-19, pembatasan itu karena status aktifitas Gunung Merapi masih siaga atau level 3 sejak 5 November 2020.
“Dua atau tepatnya tiga kali labuhan ini. Suasananya memang sangat berbeda dari labuhan sebelumnya. Selain dilaksanakan secara sederhana, tak ada pengunjung yang datang untuk menyaksikan. Sepi, apalagi labuhan tanggal 26 Maret 2020 lalu, pada awal merebak Covid-19,” tutur Panut, putri almarhum Mbah Maridjan kepada TIMES Indonesia, Senin (7/3/2022).
Panut mengaku senang labuhan tahun ini tampak semarak dibandingkan 2 tahun sebelumnya. Selain ada yang boleh mengikuti labuhan, masyarakat dapat menikmati hiburan kesenian tradisional yaitu pertunjukan wayang kulit. Dalam pagelaran yang dipusatkan di Pendapa Kalurahan Umbulharjo, Cangkringan, Sleman ini sang dalang adalah Ki Wiyono.
Kemudian, ada pula kesenian musik tradisional Jawa Karawitan seusai acara kenduri bertempat di Pendapa Kinahreja. Dilanjutkan tahlil dan doa-doa tepat pukul 12 malam.
Meski masih digelar secara terbatas, namun mulai terlihat semarak. Selain abdi dalem Keraton Ngayogkarto, aparat TNI / Polri/ Polhut maupun para relawan potensi SAR DIY juga terlihat peningkatan antusias masyarakat untuk mengikutinya. Terutama, para pecinta alam yang dulu biasa ngecamp di desa tertinggi di Gunung Merapi sisi selatan ini.
Kepala Dinas Kebudayaan (Kundo Kabudayan) Pemkab Sleman, Edy Winarya mengatakan, setiap tahun Keraton Yogyakarta memperingati Ulang Tahun Kenaikan Tahta (Tingalan Jumenengan Dalem) Sri Sultan Hamengku Buwono X. Peringatan tersebut dilakukan setiap tanggal 29 Rejeb.
“Penobatan Ngarso Dalem Sri Sultan HB X sebagai raja ke 10 dan GKR Hemas sebagai permaisuri Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dilakukan 29 Rejeb 1921 (penanggalan Jawa) atau 7 Maret 1989 silam,” jelas Edy kepada TIMES Indonesia.
Edy menerangkan, istilah labuhan berasal dari kata labuh. Artinya, membuang, meletakkan, atau menghanyutkan. Tujuannya dalah doa dan pengharapan untuk membuang segala macam sifat buruk.
Ia sebutkan, Keraton Yogyakarta melabuh sejumlah benda tertentu (ubarampe labuhan) seperti benda-benda milik Sultan yang bertahta. Uborampe labuhan dilabuh di titik yang disebut petilasan.
Kegiatan yang rutin dilaksanakan tiap tanggal 30 Rejeb (penanggalan Jawa) Labuhan kali ini termasuk Labuhan Alit (kecil). Sebab, labuhan tidak berbarengan dengan tahun Dal ataupun tahun Wawu. Sehingga, cukup dilaksanakan di tiga tempat yakni Parangkusumo, Gunung Merapi dan Gunung Lawu. Sementara pada pelaksanaan Labuhan Ageng (besar), ditambah satu lokasi lagi yakni di Kahyangan, hutan Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri.
Sejak adanya pandemi Covid-19, seluruh rangkaian acara digelar dengan pembatasan, baik jumlah personel yang terlibat berikut tata cara pelaksanaannya. Meski terdapat penyesuaian, namun makna dan esensi dari labuhan memperingati kenaikan tahta Sri Sultan Hamengku Buwono X oleh para Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Gunung Merapi tersebut tidak lah hilang. Hal itu merupakan wujud konsistensi Keraton Yogyakarta melaksanakan tradisi dalam situasi apa pun. Kegiatan Labuhan Gunung Merapi tersebut dibiayai dengan BKK Dana Keistimewaan tahun 2022. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |