Melihat Ikhtiar Para Seniman Lestarikan Wayang Golek Tasikmalaya

TIMESINDONESIA, TASIKMALAYA – Beragam alat musik tradisional memenuhi setiap sudut sebuah ruangan di Padepokan Seni Rangga Setra Tasikmalaya, Jalan Bebedahan, Kelurahan Lengkongsari, Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sebagian besar alat musik di sana adalah pengiring pementasan wayang golek dalang Andri Candiaman, pemimpin Padepokan Seni Rangga Setra Tasikmalaya.
Advertisement
Usai menyeragamkan komposisi musik, Andri mengajak empat lelaki muda yang ada di sana untuk duduk membentuk setengah lingkaran. Fariz Robiyansyah, mengeluarkan beberapa wayang golek tokoh ksatria dari kotak besar yang disimpan di samping gong.
Andri Candiaman memamerkan tokoh ksatria pewayangan di Padepokan Seni Rangga Setra Tasikmalaya, Jalan Bebedahan, Kelurahan Lengkongsari, Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Senin (7/3/22). (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
Kang Andri--sapaan akrab Andri Candiaman--memegang tokoh Gatot Kaca, lalu memeragakan gerak ibing ksatria pewayangan. Mulai dari gerakan "sembah" sebagai gerakan pembuka sebelum melakukan 'murwa', hingga gerak 'sabetan' ibing wayang.
Keempat orang itu juga dibimbing menyuarakan karakter tokoh wayang yang disebut 'nyora'. Yang dilakukan Kang Andri, merupakan satu dari sekian banyak ikhtiar mengenalkan seni tradisi dan wayang golek kepada generasi muda.
"Minat generasi muda untuk belajar kesenian wayang golek saya rasa masih terbilang tinggi. Sayangnya, tidak ada yang mengarahkan dengan optimal," ungkap Kang Andri, kepada TIMES Indonesia Senin (7/3/2022).
Meski kepengurusan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Tasikmalaya, nyaris mati suri, Kang Andri tak pernah menyerah mengenalkan kesenian yang diakui sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) atau Intangible Culture Heritage (ICH) oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB atau UNESCO pada 2008 ini.
Di Tasikmalaya sendiri, para tokoh pedalangan hingga kini makin berkurang. Dalam sepuluh tahun terakhir, beberapa dalang sepuh meninggal karena faktor usia. Tersisa sekitar 20 dalang di Kabupaten dan Kota Tasikmalaya, namun eksistensinya memudar lantaran semakin jarangnya pementasan.
Dalang Muda Tasikmalaya, Cevi Whiesa Manunggaling Hurip mementaskan wayang golek semi-modern dalam acara Syukur Waktu 9 di Gedung Kesenian, Kelurahan Nagarawangi, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, beberapa bulan lalu. (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
Komunitas pecinta wayang di Tasikmalaya tidak begitu banyak, padepokan yang masih eksis menjaga kelestarian kesenian wayang juga tersisa sekitar 20. Tapi, setiap padepokan juga membawahi kepesindenan, karawitan, dan kesenian-kesenian yang berkaitan dengan pelaku pertunjukan wayang golek.
Menurut alumnus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Jurusan Karawitan tahun 2001 ini, jumlahnya bisa puluhan setiap padepokan. Ia mengakui belum memanfaatkan media sosial dan platform digital untuk mengenalkan kesenian wayang.
"Antusiasme masyarakat pada pementasan wayang kian berkurang karena tergerus zaman. Apalagi kalangan anak muda sekarang lebih memilih menggandrungi kesenian modern. Ini terbukti dari minimnya undangan pementasan wayang golek dari masyarakat," terangnya.
Salah satunya, masyarakat yang menggelar hajatan pernikahan atau khitanan, sekarang lebih banyak memilih mengundang kesenian yang lebih populer karena dari sisi biaya, dianggap lebih murah. Begitu juga dengan jumlah personel yang lebih sedikit.
"Pementasan wayang personelnya banyak, bisa mencapai 30 orang. Butuh panggung besar dan tentunya ongkos juga mahal. Kalau hiburan musik biasa, hanya dua sampai tiga orang dengan ongkos lebih ekonomis," paparnya.
Namun sepinya undangan pementasan wayang tak membuat Kang Andri putus asa. Ia terus mensosialisasikan kesenian tradisi ini dengan rutin menggelar pelatihan di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi di Tasikmalaya.
Sebelum pandemi Covid-19, dihelat pagelaran langsung yang mengundang apresiator pelajar SMP-SMA di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Menurut Kang Andri, minat anak-anak remaja itu mengenal wayang terbilang tinggi.
Itu terlihat saat setelah pertunjukan, para pelajar itu tidak langsung bubar. Mereka banyak yang bertanyak kepada para 'nayaga'--pemain musik pengiring-- dan dalang, ihwal nama-nama tokoh wayang hingga alat musik yang menjadi pengiring.
Melihat antusiasme kalangan remaja itu, di padepokannya yang tak jauh dari pusat keramaian Kota Tasikmalaya, ayah empat anak ini akhirnya membuka latihan rutin garapan wayang golek setiap pekan.
"Kita memang tidak bisa menyalahkan generasi muda yang dianggap tidak menyukai kesenian wayang ini. Salah kita juga yang eksistensi pementasannya makin berkurang," ujar Kang Andri.
Kebangkitan wayang golek kembali menggeliat pada tahun 2000-an dengan adanya pementasan wayang 'bobodoran' di beberapa wilayah di Jawa Barat. Pertunjukan itu dikemas berbeda dengan wayang yang berpegang teguh pada pakem tradisi.
Bahkan pertunjukan yang lebih menonjolkan karakter "Cepot" itu disiarkan di sejumlah televisi swasta lokal dan nasional. Mementaskan wayang 'bobodoran' dengan konsep semi-modern diterapkan seorang dalang muda Tasikmalaya, Cevi Whiesa Manunggaling Hurip.
Untuk menarik minat generasi muda, Cevi bahkan mengolaborasikan musik pengiring wayang, gamelan dengan alat musik modern. Dalang berusia 20 tahun ini, juga memodifikasi gamelan dengan bilah bambu yang disebut "gamelan awi".
Mengenalkan kesenian wayang golek kepada generasi muda juga ia lakukan dengan memanfaatkan beberapa platform media sosial. Mulai dari YouTube, Facebook, Instagram, hingga Tiktok. Dalam platform Tiktok, Cevi berusaha menggarap video-video pendek berdurasi 1-3 menit yang menampilkan sejumlah tokoh wayang parodi.
"Tokoh wayang parodi ini sengaja dibuat sesuai isu yang sedang banyak dibicarakan. Musim pilpres misalnya, saya sengaja membuat dua tokoh capres yang menjadi bahan perdebatan semua kalangan masyarakat," Cevi menceritakan, Jumat, 4 Maret 2022 malam.
Meski dianggap menabrak pakem tradisi, Cevi tetap percaya diri memainkan wayang semi-modern yang menonjolkan tokoh-tokoh punakawan. Bahkan tak ragu memainkan lakon yang berisi isu terkini. Lelaki berperawakan kurus ini berencana mementaskan wayang berbahasa Inggris untuk dijadikan konten media sosial.
Pemerhati kesenian Kota Tasikmalaya Andy Kusmayadi mengkritisi pementasan wayang "bobodoran" atau parodi yang digeluti para dalang anom atau muda di sejumlah daerah di Jawa Barat. Menurutnya, pementasan wayang tetap mesti berpegang teguh pada pakem seni tradisi wayang golek agar kaidah-kaidah pertunjukannya tidak hilang.
Alumnus magister Pengkajian Seni Pertunjukan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung--kini menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung--menegaskan, sajian pertunjukkan sebetulnya bisa diperkaya oleh kreativitas dan wawasan dari seorang dalang wayang golek, begitu juga dengan pesan moral yang disampaikan.
"Bukan hanya sekadar tontonan, tapi mesti menjadi tuntunan," tandas Andy, Sabtu, 5 Maret 2022.
Ia juga menyarankan para pegiat seni wayang golek agar sering menggelar pertunjukan dan workshop yang mengenalkan seni tradisi ini kepada generasi muda dari kalangan pelajar hingga mahasiswa, termasuk masyarakat luas sebagai penikmat seni. Termasuk memanfaatkan teknologi digital untuk menyebarkannya.
Wakil Ketua Daya Mahasiswa Sunda Cabang Tasikmalaya, ini juga mengimbau pemerintah agar memberikan perhatian khusus dalam pelestarian kesenian-kesenian tradisi yang nyaris punah. Apalagi payung hukumnya sudah jelas.
"Kita punya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mendorong upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan nasional. Kenapa pemerintah daerah tidak mengimplementasikannya?" tegas pemerhati kesenian Kota Tasikmalaya itu. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |