MTI Jatim Tolak Pembatasan BBM Subsidi Lewat Aplikasi My-Pertamina, ini Alasannya

TIMESINDONESIA, SIDOARJO – Ketua Harian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur, Ir Bambang Haryo Soekartono menolak keras rencana Pertamina yang akan mengatur pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi menggunakan aplikasi My Pertamina di alat komunikasi ponsel pintar.
Menurut pria yang akrab di sapa BHS ini, kebijakan baru Pertamina tersebut tidak efektif dan malah akan mempersulit masyarakat serta akan menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi.
Advertisement
"Kebijakan Pertamina terkait penggunaan aplikasi MyPertamina hanya akan mempersulit masyarakat. Masih banyak masyarakat yang belum mempunyai alat komunikasi (ponsel) yang canggih seperti HP Android, apalagi masyarakat di perdesaan," kata BHS kepada TIMES Indonesia saat ditemui di Sidoarjo, Sabtu (9/7/2022).
Terkait keamanan, pria yang juga menjabat sebagai Dewan Pakar DPP Partai Gerindra ini, melihat jika penggunaan MyPertamina juga dapat membahayakan keselamatan pengendara saat penggunaan ponsel di lokasi SPBU. Belum lagi jika aplikasi atau jaringan sedang terganggu akan menimbulkan antrean panjang dan macet di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU)
"Dan lagi masyarakat harus mengeluarkan biaya untuk membeli atau top-up pulsa, tentu kebijakan ini sangat membebani keuangan wong cilik," ungkap BHS.
Petugas SPBU saat melayani warga yang mengisi BBM di Sidoarjo. (foto: Rudi Mulya/TIMES Indonesia)
"Seharusnya Pertamina fokus menjamin ketersediaan BBM dan memastikan kelancaran distribusinya, sebab BBM merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak," imbuh Founder BHS Peduli ini.
Selain itu, terbatasnya tenaga kerja di SPBU untuk melakukan pemantauan aplikasi sekaligus pelayanan pengisian BBM juga akan menjadi kendala penerapan kebijakan ini.
"Saya melihat sampai saat ini, pihak Pertamina masih belum ada sosialisasi aplikasi tersebut secara menyeluruh kepada masyarakat," papar BHS.
Anggota DPR-RI periode 2014-2019 ini mengungkapkan, jika masyarakat berhak untuk mendapatkan BBM bersubsidi baik premium RON 88 maupun solar, karena transportasi publik di Indonesia belum terkoneksi dengan baik dari point ke point, serta tidak terjadwal dan tarifnya mahal.
"Saat ini, masyarakat masih harus menggunakan kendaraan pribadi baik mobil maupun motor. Hal ini karena jika menggunakan angkutan publik, pengeluaran warga menjadi lebih mahal, belum lagi masalah jadwal angkutan publik yang tidak pasti," ungkapnya
"Bila masyarakat menggunakan transportasi publik di Indonesia menjadi sangat mahal, bisa jauh lebih mahal daripada menggunakan transportasi pribadi. Maka tentunya masyarakat akan memilih menggunakan kendaraan pribadi yang mereka miliki," imbuh alumnus ITS Surabaya ini.
BHS mencontohkan kenapa harga BBM di Malaysia bisa jauh lebih murah dibanding Indonesia yang juga sama-sama penghasil minyak mentah dan membeli BBM dari sebagian besar negara yang sama dengan Indonesia, misalnya Saudi Arabia, Singapura.
“Saat ini Pertamina mengalami kerugian besar sebesar Rp100 triliun tahun 2021 karena menjual BBM non subsudi, sedangkan Petronas di Malaysia yang menjual BBM subsidi maupun non subsidi yang jauh lebih murah dari Pertamina, tahun 2021 malah mendapatkan keuntungan sangat besar yaitu 48,6 miliar ringgit atau setara Rp159,7 triliun. Maka kerugian Pertamina adalah tidak masuk akal. Oleh sebab itu Pertamina harus diaudit. Kami menolak keras pertalite yang dianggap BBM subsidi dibatasi, serta menolak pemberlakuan aplikasi My Pertamina dalam penjualan pertalite” kata BHS. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |