Peristiwa Daerah

Asal Usul Desa Aliyan Banyuwangi, Kisah Heroik Hingga Tradisi Mistis Keboan

Senin, 11 Juli 2022 - 13:51 | 275.03k
Masyarakat Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, kerasukan roh leluhur saat perayaan tradisi Keboan. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)
Masyarakat Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, kerasukan roh leluhur saat perayaan tradisi Keboan. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Nama Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, cukup populer di Banyuwangi, Jawa Timur. Tanahnya subur dan masyarakatnya kaya akan seni dan budaya khas suku Osing, suku asli Banyuwangi.

Kini, nama Desa Aliyan, makin top seiring terpilihnya sang Kepala Desa (Kades) Anton Sujarwo SE, menjadi Ketua Asosiasi Kepala Desa Kabupaten Banyuwangi (Askab).

Advertisement

Nama besar Desa Aliyan ternyata tak lepas dari sejarah panjang. Sebagai salah satu desa tua, kisahnya berkaitan erat dengan era kejayaan kerajaan Blambangan.

Menurut sejarawan muda Banyuwangi, Hidayat Aji Ramawidi, Desa Aliyan menyimpan jejak-jejak sejarah abad kejayan Blambangan. Yakni ketika dibawah kepemimpinan raja terbesarnya, Susuhunan Prabu Tawangalun II, yang bergelar Pangeran Macanputih (1655-1691).

Dalam Babad Tawangalun, tercatat bahwa Prabu Tawangalun II, yang kala itu merupakan Pangeran Kedhawung (ke-V), memilih mengalah dari adiknya. Kemudian membuka pemukiman baru di Hutan Bayu bersama 40 orang pengikutnya.

Setelah itu dia bertapa di Pangabekten. Hingga akhirnya bertemu dengan sosok harimau putih atau Macan Putih yang selanjutnya mengantar ke hutan Sudimara. Selama 5 tahun 10 bulan Prabu Tawangalun II, bersama penduduk Bayu mambangun pemukiman baru (antara tahun 1655-1661). 

Ibukota Balambangan kemudian dipindahkan ke Macan Putih. Penduduk dari Kutha Dawung (di Paleran Umbulsari Jember), di barat Gunung Raung, ikut pindah ke Macan Putih. Semakin lama jumlah penduduk yang ikut berpindah samakin banyak, hingga lebih dari 2.000 jiwa.

“Begitulah mereka membangun desa-desa baru. Beberapa diberi nama sama dengan nama kutha yang lama, Dawung. Maka muncullah Kedhawung Sraten, Kedhawung Aliyan dan Kedhawung lainnya. Itu semua terjadi antara tahun 1655-1665,” ucap Hidayat Aji Ramawidi, Senin (11/7/2022).

Nama Aliyan atau Alihan, lanjutnya, bermakna pindah atau dipindahkan. Yakni berpindahnya penduduk Kutha Dawung ke Macan Putih dan sekitarnya. Dengan demikian perpindahan ini terjadi sekitar tahun 1655. Lalu siapa yang memimpin pembabatan hutan di Aliyan, tidak ada catatan tentang itu.

Ketua Komunitas Blambangan Royal Volunteer (Bravo) ini menyebut bahwa terkait sosok sesepuh Desa Aliyan, hanya ditemui dalam cerita rakyat. Yakni Ki Wiradigdaya. Tokoh ini diperkirakan hidup sezaman dengan Susuhunan Prabu Tawangalun II.

Jika dari nama, mirip dengan Senapati Blambangan, Widigdaya Siding Betawi, nama lain dari Menak Luput, saudara dari Prabu Menak Lumpat (1575-1639). Artinya, Ki Wiradigdaya bisa jadi masih keturunan dari Senapati Widigdaya Siding Betawi.

Dalam buku Perebutan Hegemoni Blambangan, karya Sri Margana, mengutip catatan ANRI Arsip Daerah Residensi Banyuwangi no.7, menjabarkan bahwa di Kemantren Ragajampi, terdapat sebuah desa bernama Kulik Alian. Kata Kulik secara toponimi mirip dengan kata Kulih. Merujuk Kamus Bahasa Using Hasan Ali kata Kulih berarti “kembali seperti semula”. 

Catatan kompeni tersebut dibuat pada masa kekuasaan Residen Lodewijk Uittermoole dan Gezaghebber Surabaya, R. Fl. Van der Niepoort (1772-1784) atau sezaman dengan Mas Alit. Tentu kata kulih ini menunjukkan bahwa di Alihan pernah terjadi sesuatu yang membuatnya rusak dan kemudian dibangun kembali sehingga pulih seperti sedia kala. Kejadian apakah itu?

Guna penelusuran, pemuda asal Dusun Perangan, Desa Kradenan, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi, ini mengajak untuk menyimak Babad Bayu. Di situ memuat daftar kepala desa yang terlibat dalam Perang Bayu tahun 1771-1772 bersama Mas Rempeg.

Diantaranya, terdapat nama kepala desa Alihan saat itu, yaitu Ki Kidang Garingsing. Nama Ki Kidang Garingsing, jika dihubungkan dengan salah satu ksatria Macan Putih era Prabu Danuningrat (1736-1764). Jadi Ki Kidang Garingsing hidup sezaman dengan Agung Wilis dan Rempeg Jagapati (1705-1774).

“Karena dahulu kekuasaan selalu diwariskan turun temurun, maka Ki Kidang Garingsing alias Arya Girisena kemungkinan adalah cucu dari pembabat desa yakni Ki Wiradigdaya yang hidup era Susuhunan Prabu Tawangalun II,” jelasnya.

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa penduduk Alihan memiliki jiwa heroik. Mereka terlibat penuh dalam Perang Bayu guna mempertahankan kemerdekaan Blambangan dari serbuan tentara penjajah. Yaitu kompeni Belanda dan sekutunya. Hingga akibatnya penduduk Alihan dibantai dan wilayah desanya dibumi hanguskan.

Lalu siapa yang membangkitkan kembali Alihan pasca di bumi hangus oleh kompeni Belanda dan sekutunya hingga menjadi seperti sediakala?.

Dalam Suluk Balumbung disebutkan bahwa beberapa trah Bhumi Wongso yakni abdi dalem (pejabat istana) di Keraton Lateng selamat dari perang di Nusabarong tahun 1777. Kemudian kembali ke desa mereka. Diantara mereka memakai nama dengan unsur kata Wangsa pada namanya seperti Wangsa Taruna, Wangsa Karya, Wangsa Mranggi, Wangsa Nyarawedi, Wangsa Gardji, Wangsa Ngapus, Wangsa Gending, Wangsa Kenanga dan sebagainya.

“Apakah Buyut Wangsa Kenanga yang makamnya berada di Alihan adalah orang yang sama dengan Ki Wangsa Kenanga salah satu dari trah Bhumi Wangsa, Kami menduga begitu,” ujarnya.

Akademisi muda yang akrab disapa Mas Aji Wirabhumi ini meyakini bahwa Buyut Wangsa Kenanga atau Ki Wangsa Kenanga adalah orang yang membangun kembali Desa Alihan. Karena dimasa itu Residen Lodewijk Uittermoole, melakukan pendataan jumlah penduduk. Dan Desa Alihan telah berbenah serta pulih seperti sedia kala.

Orang luar desa menyebutnya Kulih Alihan atau Kuli Kalian. Sedang penduduk setempat menyebut nama desa mereka Desa Alihan yang kemudian kini dikenal sebagai Desa Aliyan.

Tentang bagaimana nasib Ki Kidang Garingsing, masih Aji, tidak ditemukan sumber penjelasan lebih lanjut. Apakan dia ikut gugur di medan laga, ataukah ikut tertangkap dan dibawa ke Teluk Pampang kemudian dieksekusi. Atau selamat dan ikut mengungsi ke Pulau Nusabarong. Tidak diketahui pasti.

Demikian pula tentang bagaimana nasib Buyut Wangsa Kenanga selanjutnya? Tidak ada yang tahu. Yang jelas, kedua puteranya, Pekik dan Rangga atau Pringga telah mewariskan adat Keboan Aliyan bagi masyarakatnya. Sebuah tradisi yang sarat dengan nuansa mistis. Di mana secara serentak puluhan warga kesurupan roh leluhur lalu bertingkah selayak binatang kerbau.

Tradisi keboan di Desa Aliyan ini dirayakan setiap bulan Suro, penanggalan Jawa. Ribuan warga tumpah ruah menyaksikan budaya warisan nenek moyang Blambangan tersebut. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES